Ekspedisi Rante Mario, ya begitulah judul kegiatan kami kali ini. Kegiatan ini merupakan bagian dari pendidikan lanjut angkatan ke-XXVI Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (MAPAGAMA) “Haystack”. Judul tersebut diambil berdasarkan nama tempat yang menjadi lokasi petualangan kami, yaitu pendakian ke Puncak rante Mario yang menjadi bagian dari Pegunungan Latimojong. Secara geografis Rante Mario masuk ke kecamatan Baraka, namun setelah adanya pemekaran wilayah Rante Mario masuk ke kecamatan Buntu Batu kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan. Tidak hanya Pendakian, rangkaian kegiatan ini juga terdiri atas Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang Juga merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan tinggi yang mengambil lokasi di Desa bebas rokok Bone-bone.

Diawali dengan perjalanan Jogja-Wanakrama dengan kereta api Sri Tanjung pada tanggal 12 Juli 2011, kami menyeberang dengan menggunakan KM Dempo dari Pelabuhan Tanjung Perak- Pelabuhan Makassar pada tanggal 16 Juli 2011. Pagi itu jarum jam tangan menunjukkan pukul 06.00 WITA, kami pun segera menuju sekretariat KORPALA (Korps Pencinta Alam) Universitas Hassanudin dengan menaiki sebuah ankutan yang dicarikan oleh dua orang kenalan di kapal yang merupakan anggota Mapala UVRI Makassar. Sesampainya disana kami disambut oleh Ade yang langsung mempertemukan kami dengan Baso selaku Ketua Umum KORPALA. Sambutan hangat dari teman-teman KORPALA membuat suasana menjadi seperti di sekretariat sendiri. Seorang anggota KORPALA bernama Nanang diutus untuk menjadi guide dalam kegiatan kami ini. Selain menjadi pendaping selama kami berkegiatan disana, Nanang juga sangat membantu dalam hal berkomunikasi dengan penduduk setempat yang belum bisa berbahasa Indonesia.

Cerita pun dimulai di hari ketiga terhitung semenjak kedatangan kami ke Makassaar, kami berangkat menuju kecamatan Baraka untuk mengurus perizinan dan memasang instalasi komunikasi. Tujuh jam bukan perjalanan yang singkat, mengingat kondisi yang harus kami hadapi. Coba bayangkan, Mobil Kijang kapsul yang kami tumpangi diisi oleh sepuluh orang dengan Sembilan tas carrier plus isinya yang tidak sedikit serta daypack dari tiap-tiap orang, hanya satu kata yang bisa menggambarkannya, sesak. Namun hal ini terbayar dengan pemandangan yang menemani di sepanjang perjalanan. Mulai dari sawah, tebing karst, perkampungan, hingga kuburan gantung. Hingga tak terasa mobil berhenti di depan kantor Polisi Sektor Kecamatan Baraka. Malam ini kami singgah di sekretariat sebuah KPA bernama Lembayung yang diketuai oleh Pak Dadang dan berlokasi di sebuah Sekolah Dasar.

Hari kelima, perjalanan dilanjutkan dari Kecamatan Baraka menuju Dusun Karangan yang merupakan desa terakhir menuju Puncak Rante Mario. Sebuah angkutan kota mengantarkan kami ke Kantor Camat dan Puskesmas Buntu Batu untuk keperluan perijinan. Di tengah perjalanan kami harus turun dari angkutan karena tidak kuat membawa barang-barang. Bahkan carrier-carrier yang kami ikat di atas mobil pun terjatuh hingga dua kali. Dikarenakan sedang ada perbaikan jalan yang tidak memungkinkan angkutan ini untuk lewat, selanjutnya akses menuju Dusun Karangan dapat kami jangkau dengan menggunakan mobil jenis Hardtop yang telah berjajar tidak jauh dari perbaikan  jalan. Sarana transportasi menuju desa ini memang lumayan susah, ditambah kendaraan yang hanya ada di hari senin dan kamis saja sesuai dengan hari pasar. Setelah istirahat siang kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Karangan, dan disinilah pengalaman tak terlupakan itu terjadi. Jalan menanjak dilalui dengan mudah oleh mobil jenis ini, namun kondisi mobil yang sudah tidak muda ini membuat kami harus memegangi atapnya dari dalam. Setelah naik turun bukit, melewati bebatuan dan genangan air, tiba-tiba mobil ini berhenti padahal Dusun Karangan masih belum tampak. Apa yang terjadi ? ternyata ban depan sebelah kiri mobil ini lepas dari tempatnya, sontak kami pun turun untuk melihat langsung. Dan benar saja, ban mobil lepas dari murnya ini benar-benar hal yang di luar kepala kami. Namun dengan santainya sopir hardtop ini mengambil peralatan otomotifnya dan berkata “ini sudah biasa terjadi”. Kami yang mendengar perkataan itu hanya bisa saling pandang keheranan sekaligus takjub. Setelah 20 menit dalam perbaikan, mobil siap melanjutkan perjalanan kembali. Kurang lebih pukul 15.00 WITA kami tiba di tempat tujuan, disambut warga yang menatap asing kepada kami. Dusun ini dihuni kurang lebih oleh seratus kepala keluarga dengan jumlah anak-anak yang tidak sedikit. Warga disini masih jarang yang bisa menggunakan bahasa Indonesia sehingga Pak Kadus-lah yang menjadi informan dan penghubung komunikasi selama disini.

Setelah bermalam di Karangan, keesokan paginya kami memulai pendakian ke Puncak Rante Mario. Inilah awal dari kegiatan yang telah lama kami rencanakan. Setibanya di Pos II kami mendirikan camp disana dan berencana melanjutkan pendakian keesokan paginya menuju Puncak Rante Mario lalu mendirikan camp di Pos 7. Hari ketiga pendakian kami mulai turun meninggalkan Latimojong menuju ke Karangan lagi. Kurang lebih pukul satu siang kami tiba di Desa Karangan, sulitnya mendapatkan transportasi membuat kami mengambil keputusan untuk kembali bermalam disini. Dengan dibantu Pak Kadus Karangan kami dijemput oleh sebuah Hardtop keesokan paginya. Hardtop ini pun tidak datang dengan sendirinya, Pak Kadus harus turun dan berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan mobil ini. Jarak sejauh itu hanya ditempuh Pak Kadus dalam satu jam saja, karena beliau sudah terbiasa naik-turun ke dusun bawah sana.

Kami mulai meninggalkan Karangan pukul 11.00 WITA menuju Desa Anginangin dimana desa ini adalah penghubung menuju Desa Bone-bone yang akan menjadi next destination. Hardtop yang kami tumpangi kali ini dapat dikatakan sempurna, perjalanan off-road pun terasa menyenangkan. Ditambah ketika mobil ini melewati sungai kecil yang membentang di depan kami dengan sukses, benar-benar menantang adrenalin. Namun, sedikit accident terjadi di tengah jalan, ban mobil selip di antara gundukan tanah yang tepat dalam posisi menanjak. Kami pun reflek melompat turun dari mobil dan membantu menahan ban mobildengan melempar batu ke arah ban belakang agar mobil tidak mundur. Sopir hardtop ini hanya memerlukan sedikit waktu sampai akhirnya berhasil melewati gundukan tanah dengan mulus. Tidak berapa lama setelah melanjutkan perjalanan, kami pun tiba di perbatasan yang tidak bisa lagi dilewati oleh kendaraan. Perjalanan off-road dengan hardtop pun berakhir, itu tandanya kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Setelah empat jam berjalan, kami pun tiba di Desa Bone-bone. Desa ini merupakan desa bebas rokok nomor satu di Indonesia. Keberhasilan penerapan larangan anti merokok ini dimotori oleh Pak Idris yang sekarang menjabat sebagai Kepala desa. Desa Bone-bone dipilih sebagai objek Penelitian dan Pengabdian tim kami demi melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi acuan kegiatan. Rasa lelah setelah berjalan jauh hilang begitu saja ketika mendengar seorang Ibu yang kami sapa berkata “ini yang dari jogja itu ya ?? Sudah ditunggu oleh Pak Idris”. Ternyata rencana kedatangan yang telah kami beritahukan sejak lama ke Pak Idris, telah diketahui oleh warga Bone-bone. Selama disana kami tinggal dirumah Pak Idris dan istri yang sangat ramah dan kekeluargaan. Pak Idris mempunyai 4 orang anak perempuan yang masih kecil-kecil dan lucu, hal ini membuat kami betah dan merasa berada di tengah-tengah keluarga sendiri. Empat hari di Desa Bone-bone benar-benar kami manfaatkan untuk memaksimalkan penelitian dekkriptif mengenai desa bebas rokok ini. Penelitian ini kami lakukan lewat wawancara terhadap beberapa warga dari bermacam usia dan jenis kelamin secara tidak langsung.

Hari pertama di desa ini kami lewati dengan membagi tim jadi dua, tim satu mengurus perijinan ke SDN 159 yang nantinya akan menjadi sasaran pengabdian kami. Sedangkan tim yang satunya terdiri atas tim penelitian yang ikut terjun langsung membantu gotong royong bersih desa. Hari kedua, kami berkunjung ke ladang padi warga yang sedang panen. Mulai dari ani-ani hingga makan siang kami habiskan bersama warga di ladang. Walaupun terik matahari menyengat kulit namun sangat menyenangkan berada di tengah-tengah keramahan mereka hingga tidak terasa langit mulai senja, kami pun berpamitan untuk kembali ke rumah Pak Idris. Setelah beristirahat dan makan malam, kami briefing untuk pelaksanaan pengabdian besok pagi di SDN 159 Bone-bone. Inilah rangkaian terakhir dari kegiatan kali ini, sekaligus hari terakhir kami singgah disini. Pengabdian masyarakat yang akan kami lakukan berupa penyuluhan dan praktek sikat gigi dan cuci tangan yang benar.

Semangat tim untuk melaksanakan pengabdian mewarnai pagi yang cerah di Desa Bone-bone. Dalam pelaksanaan pengabdian, tim dibagi menjadi dua yaitu tim penyuluhan dan tim praktek sikat gigi&cuci tangan. Kesulitan yang kami hadapi adalah ketika berinteraksi dengan anak-anak kelas 1,2 dan 3 yang masih malu-malu dan belum bisa berbahasa Indonesia. Berbeda dengan anak-anak kelas 4,5,dan 6 yang lebih komunikatif dan lebih mudah diajak bekerja sama. Bukan hal yang mudah bagi kami untuk terjun langsung ke dunia anak-anak, namun berkat hari ini kami mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman baru melalui anak Bone-bone. Berat rasanya mengingat siang ini juga kami akan kembali ke Makassar.

Begitu kembali ke rumah Pak Idris, kami langsung bersiap dan packing sembari menantikan kedatangan truk sayur yang akan mengantar kami ke kota. Pukul 15.00 WITA truk yang ditunggu pun datang, kami segera menaikkan semua barang bawaan. Rasa sedih pun timbul ketika akan meninggalkan desa ramah tanpa asap rokok ini. Kepergian kami diantarkan oleh anak-anak kecil disana yang melambaikan tangan. Sungguh hari-hari yang sangat luar biasa dan tak akan pernah terlupakan. Perlahan truk pun semakin jauh meninggalkan Desa Bone-bone.

Hari-hari setelah selesainya semua rangkaian kegiatan, kami manfaatkan untuk mengelilingi kota Makassar sembari menunggu jadwal keberangkatan kapal. 29 Juli 2011 kami bertolak dari Makassar menuju Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Dengan menggunakan KM Sirimau, lima puluh jam kami habiskan bersama di tengah lautan. Selamat tinggal tanah Sulawesi, selamat tinggal kota Angin Mamirri. Terima kasih atas pelajaran, pengalaman, dan petualangan yang kami dapatkan. Sampai jumpa di petualangan selanjutnya, Viva MAPAGAMA so..so..so.. (Tanti)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.