Bulan April kemarin, saya dan teman-teman sedang giat belajar caving. Kami memutuskan untuk pergi ke Sibodak seharian, untuk belajar rigging dan mapping.
Saya sudah lama bergabung dengan MAPAGAMA. Kegiatan yang biasa kami lakukan berkisar di empat divisi yaitu Gunung Hutan, Climbing, Caving, dan ORAD. Dari keempat divisi tadi, saya paling jarang menelusur gua alias caving. SRT-an di Jembatan Babarsari sih sudah beberapa kali, tetapi di gua betulan? Hmm…nanti dulu. Seumur hidup saya baru pernah ber-caving-ria di Jomblang dan Jlamprong-Semuluh. Itupun karena pendidikan di MAPAGAMA mengharuskan saya masuk kesana.
Minggu sebelumnya, teman-teman sudah belajar di Kayu Ares, Gunung Kidul sementara saya tidak ikut. Karena itu, kali ini saya harus ikut.
Gua Sibodak terletak di Perbukitan Menoreh dan termasuk dalam wilayah Kabupaten Purworejo. Sebelum berangkat ke Purworejo, kami makan di sekretariat dahulu dan mengecek ulang logistik yang akan dibawa. Dengan empat motor, kami bertujuh berdoa terlebih dahulu sebelum berangkat berkegiatan. Langit cerah dan belum terlalu panas. Jam 8 pagi kami menggeber motor ke arah Jl. Godean, ke barat, menuju Perbukitan Menoreh. Berbekal ancer-ancer via SMS dari Ayu, kami sempat nyasar sebentar sebelum sampai di Basecamp Mbah Cokro.
Rumah Mbah Cokro terletak di Purworejo, dekat Gua Seplawan. Dari Yogyakarta terus ke arah Purworejo, arah Gua Maria Lawaningsih. Ketika ada plang belok untuk ke Gua Maria Lawaningsih, lurus terus ke arah Gua Seplawan. Sebelum Gua Seplawan ada pertigaan yang belum diaspal, belok kanan lalu di pertigaan pertama belok kiri, tanya saja rumah Mbah Cokro.
Kami sempat bingung arah di persimpangan hingga akhirnya bertanya ke warga, dan seorang bapak dengan sukarela membantu kami menuju rumah Mbah Cokro. Di sana, beberapa anggota Gegama sudah datang lebih dulu dengan alat-alat caving. Mereka mengadakan bersih gua di Gua Nguik.
Dari rumah Mbah Cokro, kita tinggal jalan menaiki bukit kemudian belok kiri di pertigaan pertama. Ikuti jalan setapaknya, dan sampailah kita di mulut Gua Sibodak. Gua ini vertikal lurus ke bawah sedalam kurang lebih 27 meter. Iyut melakukan rigging—pembuatan lintasan, sedang yang lain menunggu sambil menjaga alat. Tanti dan Kukuh membantu Iyut menemukan anchors—tambatan, untuk membuat lintasan tali.
Hujan sempat turun deras, kemudian berhenti. Saya mencium bau tanah sehabis hujan, membuat saya tenang. Agak lama menunggu, saya, Tami dan Hanifa sedikit bosan hingga nyaris tertidur. Kami mengobrol dan menghidupkan MP3. Saya membaca buku sampai ngantuk. Saya memutuskan mendekat ke Iyut dan Tanti untuk melihat proses rigging. Tidak lupa saya buat tambatan yang lumayan aman untuk jaga-jaga. Maklum newbie, jadi saya bertanya ini-itu tentang anchor untuk caving.
“Ini yang emas yang mana Mpok?” tanya saya pada Tanti.
Tanti menunjuk ke pohon besar beberapa meter di samping kami, “Itu emasnya, disimpul butterfly. Nah ini sekarang Iyut lagi bikin yang perak ama perunggu,”
“Ooo…” saya manggut-manggut. Sambil mencerna perkataannya.
“Ngerti kagak lu?” canda Tanti.
“Iye iye ngerti Mpok,” saya balas.
Saya terus chit-chat dengan Tanti sementara Hanifa dan Tami sepertinya sudah tertidur. Kukuh mengamati dari jauh, sesekali menimpali candaan kami. Iyut masih berkonsentrasi membuat simpul-simpul dan memasang padding pada tali yang membentur tebing. Friksi, bahasa kerennya. Pada dasarnya memasang tambatan harus mencari yang kuat. Yang paling kuat disebut anchor emas, selanjutnya adalah anchor perak dan anchor perunggu. Anchor emas yang dipakai Iyut adalah sebuah pohon besar berdiameter sekitar 50 cm, anchor perak dan perunggu masing-masing lubang tembus di bentukan batuan di mulut gua.
Saya mencoba menyesuaikan diri dengan “gaya” caving begini. Coverall yang saya pakai berwarna merah berukuran L. Di sakunya terdapat peluit dan senter kecil. Helm merah dan lampu yang saya kaitkan membuat saya terlihat seperti alien berkulit merah hitam.
Setelah peluit Iyut terdengar dari kejauhan, Tanti bersiap turun dan memperbaiki lintasan sebagai secondman. Peluit terdengar dari bawah kemudian berturut-turut Hanifa, Tami dan saya menuruni tali menuju kegelapan di bawah sana. Hari sudah menjelang malam. Sayup azan magrib terdengar ketika saya pelan-pelan turun meninggalkan Kukuh di mulut gua.
Saya orang terakhir yang turun ke gua. Karena sudah gelap di luar, kami memutuskan hanya akan eksplor Gua Sibodak dan foto-foto. Hanifa bersemangat sekali menanyakan elemen-elemen gua. Ia masih “baru” di MAPAGAMA dan rencananya akan mengambil pendidikan divisi caving.
“Mbak kalo itu masuk stalaktit atau stalagmit?” tanyanya.
“Nah kalau stalaktit sama stalagmit ketemu, namanya jadi pillar.”
“Ooh…aduh!”
Saking semangatnya, berkali-kali ia jatuh di lumpur gua. Coverall yang semula berwarna ungu kini menjadi coklat sampai pinggang.
“Aku harus bangkit, aku harus move on,” celetuk Hanifa seraya berdiri lagi. Kami semua tertawa geli.
Di dalam Gua Sibodak terdapat lorong dengan elemen gua seperti goursdam, pillar, drapperies, soda straw, stalaktit dan stalagmit. Kami melihat sekumpulan kelelawar menggantung terbalik dan segera mengalihkan senter ke arah lain. Mereka membuat suara seperti mencicit ketika senter saya tidak sengaja menyinari muka kelelawar-kelelawar Sibodak.
Selesai eksplor, satu per satu kami ascending di tali statis tadi. Saya adalah orang terakhir yang harus cleaning lintasan. Ditinggal Tanti, saya sendirian di dalam gua. Sendirian itu ternyata seram juga. Sayup-sayup saya dengar suara mereka di atas. Saya menyanyi lagu-lagu Petualangan Sherina untuk membunuh sepi.
Setelah peluit terdengar, saya bersiap dengan tas wadah tali dan SRT set terpasang lengkap. Saya meniup peluit, tanda akan berangkat cleaning lintasan. Cleaning lintasan cukup simpel, dan pastinya perlu tenaga dan pikiran tenang agar tidak panik. Ngeri juga lho ternyata, sendirian di seutas tali yang tertambat pada sebuah tambatan bermeter-meter jauhnya di atas kita. Pelan-pelan saya gerakkan jummar dan menjejak foot loop. Setiap sekitar 5 meter naik saya berhenti, memasukkan tali lintasan ke dalam wadahnya. Saya deg-degan.
Di dalam gua yang gelap dan sunyi saya mengerti pentingnya ada teman. Paling tidak kita tidak akan merasa sendirian. Berkali-kali saya panggil nama Tanti. Untungnya ada jawaban. Saya kira saya lebih senang sendirian selama ini. Saya tidak suka keramaian. Tapi malam itu, betapa senangnya saya mendengar suara-suara yang familiar milik Iyut, Tami dan Hanifa mengobrol seru di kejauhan.
Sampai di atas Kukuh dan Tanti sudah menunggu dengan senter mereka. Saya lega sekali. Seperti biasa kami istirahat sejenak sambil packing alat, kembali ke Mbah Cokro untuk ramah tamah, dan pulang ke Gelanggang di Jogja. Ah, saya mau caving lagi!
Oleh: Chairumi Tyas Satiti/ Gladimula 27
Catatan:
Caving: Penelusuran Gua
Mapping: Pemetaan
Climbing: Panjat Tebing
ORAD: Olah Raga Arus Deras
SRT: Single-Rope Technique (teknik penelusuran gua vertikal menggunakan satu tali)
Jembatan Babarsari: jembatan yang sering digunakan untuk latihan SRT
Ancer-ancer: petunjuk arah
Riggingman: orang yang membuat lintasan
Secondman: orang kedua, orang yang mengecek lintasan yang dibuatkan riggingman
Simpul butterfly: nama salah satu simpul
Padding: bantalan yang digunakan untuk mencegah gesekan tali dengan tebing
Friksi: friction, gesekan
Coverall: pakaian khusus untuk menelusur gua
Ascending: naik
Cleaning: membereskan lintasan
Jummar: alat untuk ascending
Foot loop: loop/lingkaran untuk pijakan kaki, dibuat dari tali statis pendek atau webbing
0 Comments