“Ai tidak bisa berenang kak..,” Ucapku jujur, bahkan di hari pertama diklat malam di Ruang Judo Gelanggang Mahasiswa UGM lantai 2 (dua). Saya pribadi pada awalnya selalu panik ketika berhadapan dengan air yang menggenang dengan kedalaman lebih dari 1 meter, namun dengan persiapan yang cukup panjang telah kami siapkan selaku peserta Gladimula XXXIII mulai dari latihan fisik tiap hari tertentu dalam seminggu, persiapan mental, materi ruang yang diisi langsung oleh kakak tingkat Mapagama, pretest dan posttest dan simulasi selama 3 hari yakni 21-22 dan 26 Oktober 2016 selepas dhuhur hingga isya’ di danau buatan lembah UGM untuk menghadapi Diksar ORAD membuatku berani menantang ketakutanku akan kedalaman air dan bertaruh akan sejauh mana diri ini dapat bertahan melalui kegiatan ORAD. Materi ruang yang berlokasi di Ruang Judo Gelanggang Mahasiswa lantai 2 (dua) dititikberatkan pada materi ORAD (Olahraga arus deras) yang mana telah dilaksanakan pada 29-30 Oktober 2016 di Sungai Progo Atas, Puri Tuk Songo, Kota Magelang Jawa Tengah. Sumber bacaan pun tidak terbatas pada Diktat Mapagama mengingat hingga saat ini belum terdapat batasan materi mengenai Arung Jeram di skala internasional dan hanya sebatas pengetahuan secara umum di kalangan penggiat ORAD. Melalui simulasi, kami dapat belajar bahwa percaya dengan teman dan peralatan yang ada baik pengaman maupun perlengkapan ORAD itu penting. Karena tanpa keduanya, kami tidak akan selamat sampai garis akhir dalam pengarungan nantinya. Teknik yang benar seperti mendayung dengan prinsip dasar PDL (Panjang-dalam-lurus), kuda-kuda ketika duduk di atas tube, cara merescue dengan throwing bag atau rescue by ourself dan rescue by tim, renang jeram dan aktif, posisi tubuh ketika mendayung dan memakai pengaman dengan benar, serta selalu berhati-hati. Praktek sketsa jeram pun  harus benar-benar dipahami karena pemahaman dasar tentang karakteristik sungai, faktor pembentuk jeram, bagian sungai dan lain-lain berkorelasi dengan penalaran spontan ketika mendayung di atas air.

Pada Sabtu, 29 Oktober 2016 seluruh peserta wajib datang datang pada pukul 13.00 WIB di halaman rumput tengah Gelanggang Mahasiswa meski terdapat satu-dua peserta yang terlambat. Aku pun berjalan kaki menuju Gelanggang Mahasiswa meski memakan 25 menit perjalanan dari kos.  Sweeping/pengecekan  perlengkapan dipimpin langsung oleh Mas Doy (lelaki berambut keriting dengan raut wajah menyenangkan) guna persiapan selama kegiatan berlangsung. Ketika pengecekan, banyak dari kami yang masih tidak membawa perlengkapan yang diwajibkan dan pada akhirnya bersama-sama kami pun menanggung beban sebanyak 7 (tujuh) set atas kesalahan tersebut. Satu set terdiri dari 10 kali pushup, sit up dan back up. Saya pribadi menerima dengan senang, toh tidak masalah bila ditanggung bersama. Kasihan kan, bila Rainhard-yang mendapat 5 (lima) set melakukannya seorang diri. Dan sweeping diakhiri dengan langkah-langkah bersemangat sembari mengangkut perlengkapan kegiatan ke dalam truk yang berada di sebelah barat DSSDI UGM setelah terlebih dahulu penjelasan panjang lebar dari panitia mengenai teknis di lapangan.

Sebelumnya, aku sudah pernah naik truk. Namun kali ini berbeda, bersama-sama teman baru dan memakai atribut dan baju putih memang membuat kami mencolok dan truk besar pun muat terisi 31 orang. Layaknya kondisi buruh migran, tetapi menyenangkan. Perjalanan dengan truk memakan waktu 2 (dua) jam di darat. Melewati Sleman, Muntilan, Mungkid, Mertoyudan dan terakhir sampai di daerah Puri Tuk Songo. Udara sejuk menyelimuti kawasan yang memiliki panorama pegunungan ini, membuat sore menjadi dingin tanpa jaket membalut badan. Lampu-lampu di halaman rumah warga telah dinyalakan begitu pula di lapangan tennis tempat kami memasang tenda dan nantinya beristirahat. Jalanan paving dan semi aspal memanjang sepanjang jalanan mengindikasikan bahwa lokasi ORAD kali ini berada di kota, tepatnya berjarak ± 5 (lima) menit menggunakan sepeda motor dari alun-alun Kota Magelang.  Diksar ini membuatku semakin gugup, meski yang terlihat dari mukaku hanyalah ekspresi konyol.

Waktu ishoma (istirahat, sholat dan makan) pun kami manfaatkan dengan baik, mulai dari shalat berjamaah dan makan bersama dengan posisi duduk melingkar di tengah lapangan tenis. Suasana menjadi lebih hangat ketika mulai memasuki jadwal refresh materi dan sharing caring. Gelak tawa namun tetap beretika memenuhi langit malam, hingga saya pun mendapat panggilan “Si Diktat” karena berhasil menjawab pertanyaan panjang lebar berkat belajar. Mas Doy pun hingga “nyeletuk” kalau tahun depan saya dapat merevisi diktat yang langsung kuamini dalam hati. Entah karena memang ingin atau tertarik dengan divisi ini yang berhasil mengobati ketakutanku akan genangan air. Jam tidur pun harus 6 (enam) jam sebelum kegiatan dimulai berdasarkan SOP (Standart Operasional Prosedur) sehingga tepat pukul 10 malam kami harus tidur. Baik memaksakan mata untuk sekedar menutup atau lainnya.

Aku yang terbangun pada pukul 02.50 WIB keesokan harinya, segera berjalan keluar dari tenda dengan membawa serta peralatan shalat-hendak ke Masjid. Yang membuatku terkaget adalah kemunculan sesosok kepala dari pembatas lapangan tenis! Kukira hantu dan sebelum sempat menjerit, dia hanya berkata “Ada apa?” ah, ternyata manusia hehe. Hingga adzan shubuh berkumandang, aku pun bergegas membangunkan seluruh peserta termasuk menendang-nendang kaki Kresna selaku koorlap yang masih tidur nyenyak. Pagi berjalan cepat. Tanpa babibu setelah shalat, kami pun membereskan tenda dan makan pagi lantas jogging bersama-sama. Detik-detik pengarungan semakin dekat.

Pembagian kelompok dilakukan dengan cepat. Kami terbagi menjadi 6 (enam) tim kecil, di mana 3 (tiga) tim melakukan pengarungan pertama dan setengahnya menekuni sketsa jeram. Doaku terkabul-dengan masuknya aku ke dalam tim pertama yang mengarung pagi itu. Apalah daya, aku bersemangat terutama karena selama mengarung didampingi Mas Afro dan Mas Shiddiq-salah satu tokoh favoritku di antara panitia ORAD pada Diksar ini. Kami pun bergegas menuju truk untuk mengambil perahu serta peralatan lainnya termasuk memasang dan memakai pengaman seperti pelampung dan helm ke bagian tubuh. Perahu yang kunaiki bersama enam orang lainnya berwana merah menyala-hasil dari meminjam ke progo rafting, sebuah agensi yang khusus bekerja dalam ranah olahraga arus deras di Sungai Progo Magelang.

Setelah mengangkat perahu di atas kepala dari truk dan menambatkannya di atas pinggiran gundukan tanah berpasir, kami semua kembali dibagi menjadi dua tim. Tim pertama melakukan rescue dengan throwing bag dan tim kedua mempraktekkan renang jeram dan renang aktif. Kemudian, setelah semua selesai kami kembali kepada tim awal-tim perahu. Sebelum mengarungi sungai, terlebih dahulu kami melakukan pemanasan berupa melatih dayungan selama 15 menit lantas dimulailah pengarungan sungai.

Pengarungan dilakukan pada badan sungai sepanjang kurang lebih 8 km di mana Jembatan Babrik sebagai titik finish. Kekompakan, ritme, konsentrasi penuh serta mematuhi perintah skeeper harus dilakukan bersama-sama. Jika salah seorang lemah maka akan mempengaruhi anggota lainnya. Kunci dayungan agar tetap sama dipegang oleh anggota kiri bagian depan. Hal tersebut menjadi patokan agar menjaga laju perahu tetap lurus melalui keseragaman dayungan dan bergerak sesuai aba-aba dari skeeper.

“Nisah! Kresna! Merapat!!..,” teriakan Mas Jalu membuat kami semua kaget, di antara jeram yang lumayan besar tampak kedua temanku itu terseret arus. Pada saat itulah aku mengerti dengan jelas bagaimana caranya rescue by boat. Semua berjalan cepat, kami mendayung cepat menuju Nisah yang hanyut di samping kanan perahu. Memanggil namanya dan segera menarik pelampung dan badannya dari deru air. Hal yang sama kami lakukan kepada Kresna. Perahu kami pun merapat ke tepi sungai bagian kiri. Dari kejauhan, kulihat perahu kedua temanku melaju perlahan setelah terjebak di sebuah batu yang mengharuskan semua awak turun dan bertahan di atas bebatuan. Wajah mereka pucat, teori bahwa tempat teraman ketika mengarungi sungai adalah daratan dan perahu itu memang benar. Wajahku pias membayangkan diriku sendiri terjebak dalam arus deras. Maha Besar Tuhan dengan segala kejadian yang membuat kami semua belajar-bahwa kami harus lebih mawas diri.

Kami melanjutkan mendayung dan tibalah saat ujicoba flip flop. Perahu kembali mengarah ke sebuah eddies yang tenang dengan banyak material sampah menggenang. Dinamakan flip apabila posisi perahu terbalik dengan lantai dasar perahu menghadap ke atas. Kami pun harus berjuang untuk naik dengan cepat atau memilih berjibaku dengan sampah. Setelah semuanya berhasil menaiki perahu, kami segera melakukan flop yaitu membalik badan perahu ke posisi awal. Dengan bantuan webbing aku pun dapat menaikinya dengan lancar meski salah seorang dari kami tidak dapat kembali ke perahu, terpaksa kami pun mendayung perahu dengan temanku itu yang berpegangan di flipline dan mengarahkan perahu ke tepian sungai.

Setelah beristirahat, berhenti sejenak di arus tenang dan beberapa kali melakukan scouting atau pengamatan dengan lining (dari daratan/pinggiran sungai) dan read and run (dari atas perahu) tidak terasa kami sampai di finish dan bergegas mengangkat perahu, lantas membawanya kembali ke basecamp di mana teman-temanku selaku kloter kedua menunggu untuk mengarungi sungai.

Kami- yang telah “berarung ria” dapat menikmati ishoma yang cukup lama hingga gerimis datang dan kami semua mengangkut semua barang ke atas truk. Bersiap pulang dan menuju lokasi sketsa jeram. Sketsa jeram pertama kami lakukan dari bawah jembatan dan pinggiran sungai dengan area menggambar yang lumayan luas, yang didampingi Mbak Dedut dan Mas Danang.  Kami kembali menaiki truk untuk menuju lokasi finish dan sekali lagi menggambar sketsa jeram dengan didampingi Mas Danang dan Mas Mike. Setelah cukup lama menggambar di log book, tampak perahu kloter kedua akan mencapai garis akhir dari posisiku berdiri. Kupegang kamera dengan eni sebagai back upku dan klik! Klik! Klik! Aku memfoto perahu-perahu yang mulai berdatangan dengan kamera temanku dari atas bebatuan yang aman untuk kunaiki.

Dan begitulah sore hari sekali lagi berjalan sangat cepat. Perahu-perahu di angkat melewati jalanan sawah. Kami semua berjalan beriringan sembari tetap melangkah hati-hati. Perahu-perahu di tata sedemikian rupa dengan segala perlengkapan yang ada di atas pick up dan kami semua peserta Gladimula XXXIII menaiki truk-pulang.

Perjalanan malam kuhabiskan dengan satu jam duduk dan selebihnya berdiri untuk melihat jalanan dari celah truk bagian depan dan belakang truk. Aku bersyukur kami semua-termasuk peserta dan panitia dapat menginjak tanah UGM dengan selamat pada pukul sekitar 20.00 WIB. Kami pun segera membersihkan peralatan dan melakukan evaluasi kegiatan. Pada akhir kegiatan, satu kalimat yang membuatku terenyuh adalah “Ya, divisi ORAD Mapagama itu seperti ini. Jadi kalau ada yang tertarik bisa memilih divisi ini kedepannya,” kata-kata Mas Afro pun diteruskan oleh Mas Doy dengan penutupan dan doa. Tak lupa kami mengecek logistik kami sekali lagi, meskipun webbing dan galonku entah di mana. Haha.

 

 

Ditulis Oleh:

Farah Aida Ilmiatul Kulsum/Ai

Fakultas Ilmu Budaya (16/399599/SA/18507)

Peserta GLADIMULA XXXIII “Beyond Wanderlust”

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.