Putting a story into words is much harder than I thought. Selama ini, aku selalu bercerita dengan puisi, tidak dengan artikel. Menulis sebuah cerita, bagiku itu lebih sulit dari menulis puisi. Tetapi, sebuah cerita yang berkesan selalu pantas untuk diukir dalam ribuan, bahkan jutaan kata sebelum pena diangkat, tinta mengering, dan halaman berganti. Maka, izinkan aku untuk mencoba menceritakan perjalanan dari kacamataku. Semoga menyukainya.
***
Deg. Deg. Ritme jantungku berdenyut agak terlalu lambat dan tidak nyaman. Mataku mulai melihat benda dengan pandangan yang agak glossy dan berbayang. Beberapa hari terakhir, tidurku kurang dan tidak teratur karena habis oleh deadline pembuatan poster, tugas kuliah, kegiatan panitia, dan rangkaian kegiatan MAPAGAMA. Aku ingin istirahat, tetapi sekarang bukan saat yang tepat. Aku masih harus menahannya lebih lama. Setelah UAS, aku akan membalas dendam pada tidurku yang berkurang dengan hibernasi dan piknik.
Aku dan anggota GLADIMULA XXXIII yang sebelumnya mengikuti ORAD lebih dulu akan menjalani kegiatan lapangan Susur Gua dan Panjat Tebing (Caving-Climbing in english) pada tanggal 11-13 November 2016. Untuk menyiapkannya, aku sudah mendaftar barang-barang yang sudah dimiliki dan belum dimiliki. Aku menata barang-barang yang sudah kumiliki dan mulai membeli atau meminjam barang-barang yang belum dimiliki setiap pulang kuliah.
Hari demi hari berlalu. Pena selalu diangkat setiap lembar hendak berganti dan segera diisi untuk menulisi lembar selanjutnya. Hari Jumat yang dinantikan tiba. Semoga malam ini aku baik-baik saja, batinku. Sepulang kuliah, aku segera melengkapi barang-barang yang tersisa. Pukul lima sore, aku segera berangkat ke kampus untuk mengambil galon air, kemudian berangkat ke N30 setelah shalat berjamaah di mushala kampus.
Rupanya, aku menjadi orang pertama yang datang di N30. Teman-teman yang lain mulai berdatangan sekitar sepuluh menit setelah kedatanganku. Pukul tujuh malam kami melakukan sweeping tidak jauh dari N30. Awalnya ku sempat panik ketika mencari slayer. Kupikir aku lupa memasukkannya setelah dilipat rapi. Ternyata, slayerku ditemukan saat sweeping tengah berlangsung. Terselip, rupanya. Lain kali, aku harus lebih hati-hati saat menata barang, kataku pada diri sendiri.
Ketika sweeping tengah berlangsung, hujan mulai turun. Kami pun buru-buru kembali ke N30 untuk melanjutkan sweeping. Di N30, barang-barangku yang sudah ditaruh di atas ponco tidak terlihat lagi bentukannya. Duh, gimana nih..pikirku. Aku sampai mengumpat pada diri sendiri dalam hati. Pasti nanti bakal kena sesuatu. Benar saja. Waktu Mas Manto menginstruksikan kami untuk segera memasukkan barang-barang kami ke dalam tas, aku kesulitan memasukkan barang-barangku. Tyas dan Risman coba membantu, tapi malah tidak efektif. Alhasil, gara-gara aku, kami semua harus mendapat 10 set sebagai permulaan. Sudah kena set sebanyak 10 kali, aku kena ‘marah’ Mas Manto. Asem tenan. Apalagi, style ‘marah’nya Mas Manto mengingatkanku pada Bu Barimbing, guru sejarah SMA-ku yang cukup santer kehororannya saat mengajar di kalangan siswa. Untungnya, karena aku sudah biasa menghadapi gejolak api Bu Barimbing ketika kami tidak bisa menjawab pertanyaannya atau ketika mood-nya sedang jelek, aku tidak kaget.
Malam itu, setelah kami diberi waktu untuk melengkapi kelengkapan logistik bagi yang logistiknya belum lengkap.Selama menunggu teman-teman kami membawakan dan membelikan logistik, aku duduk di ujung ruangan dekat pintu dan memandang jendela. Rintik hujan masih menari-nari ringan. Mereka tidak pernah jatuh dengan ragu. Aku berandai-andai, apa yang akan mungkin terjadi pada hari Sabtu dan Minggu.
Sekembalinya teman-teman kami ke N30 dan pelaksanaan sweeping untuk yang kedua kali, kami harus membayar set. Kupikir kami akan membayar seluruhnya malam itu, ternyata tidak. Kami hanya membayar setengah dari seluruh set yang akhirnya kami dapat malam itu. Kau tahu? Dalam satu malam kami sudah mendapat sekitar 16 set. Belum kegiatan saja sudah dapat pemanasan cantik secara cuma-cuma karena kesalahan kami bersama—dengan aku sebagai penyumbang terbesar, memecahkan rekor Reinhard di kegiatan sebelumnya (sepertinya). Maafkan aku, ya, teman-teman, sudah khilaf di malam Sabtu kita yang seharusnya baik-baik saja.
Kelar membayar set dan mendapat instruksi dari panitia, kami diminta untuk segera tidur agar bisa melakukan kegiatan dengan jasmani dan ruhani yang mantap jiwa keesokan harinya. Aku mencoba untuk tidur, tetapi hasilnya mengecewakan. Mataku terpejam, tetapi aku masih sadar. Telingaku masih mampu mendengar percakapan di dalam ruangan maupun lagu yang diputar—entah di ponsel atau laptop—semalaman. Aku juga mendengar suara alarm dari salah satu ponsel—aku yakin milik panitia—yang berbunyi berulang kali. Ingin sekali kubangunkan salah satu panitia untuk menanyakan pemilik ponsel dan mematikan alarm ponselnya, tapi aku mengurungkan niat. Aku masih ingin mengistirahatkan diri lebih lama, walau usahaku mengistirahatkan diri sia-sia.
Kira-kira pukul tiga subuh—paling tidak begitu kata panitia—kami dibangunkan dan disuruh segera bersiap-siap.Kami segera meraih tas dan logistik tim, lalu berbaris di depan N30. Kemudian, kami pergi ke Gelanggang dengan berjalan cepat, dipandu oleh Mbak Isma.
Sesampainya di Gelanggang, kami berbaris di belakang truk yang sudah menunggu. Ada beberapa orang—semuanya laki-laki—yang diminta untuk mengambil peralatan milik MAPAGAMA. Sementara mereka mengambil peralatan, bak truk dibuka dan sebagian dari kami naik untuk memasukkan barang dan menatanya dengan rapi. Usai menata barang, kami menaiki truk dan menata posisi duduk. Aku menjadi orang yang pertama masuk dan duduk sedikit bersender pada logistik. Selama perjalanan, aku tidak bisa tidur dan mengumpat dalam hati karena kaki kananku kesemutan akibat posisi duduk yang tidak nyaman dan tergencet oleh Ardi.
Perjalanan dari Gelanggang ke Bedoyo adalah neraka. Sudah kesemutan, aku juga masih belum bisa tidur—padahal anginnya sejuk. Penderitaan kakiku berakhir ketika kami tiba di lokasi. Begitu turun, kakiku tidak begitu kuat menahan raga saat menjejak tanah Bedoyo, sehingga aku harus sedikit idle agar bisa melangkah.
Well, let’s move on to what happens next. Kami segera menurunkan logistik dan menatanya di dekat pagar yang ‘melingkari’ tanah lapang di samping tempat kami berdiri. Kemudian, kami melakukan stretching yang dilanjutkan dengan jogging. Aku terbawa dengan gaya menghitung saat masih mengajar Taekwondo saat sedang stretching dan malah digoda oleh teman-teman satu tim, terutama Lutfi dan Ardi, teman satu kelompok. Mereka berdua juga berkata agar aku tidak perlu menghitung keras-keras. Aku ingin membela diri, tapi tidak berkutik menghadapi mereka berdua. Tidak ada pilihan selain menertawakan diri sendiri. Mungkin mereka benar, aku sebaiknya tidak usah full power saat menghitung.Jogging menyambut setelah stretching selesai dilakukan. Sayang, aku kurang begitu kuat untuk lari kecil PP dari starting point sampai kembali lagi, karena kakiku masih agak kesemutan. Aku jadi orang terakhir yang sampai di tempat kami stretching.
Setibaku, teman-teman sudah duduk manis sambil minum. Sambil istirahat, menyelonjorkan kaki, memasang tali pada helm, dan menunggu Jenny dan Risman mengambil makan dan membawa galon yang diisi air, kami semua bercanda. Once again, aku menjadi salah satu objek bercandaan, terutama Lutfi dan Ardi. Biar begitu, di sela-sela bercandaan, kami sepakat untuk membayar set segera setelah Jenny dan Risman kembali.
Sembari mendengarkan bercandaan, mataku lekat memperhatikan setiap orang yang ada di tempat. Tanpa sadar, senyum terukir di wajahku. Setelah selama ini ‘melarikan diri’, aku akhirnya mampu ‘berhenti’ untuk menertawakan diri sendiri. Menertawakan diri sendiri adalah sesuatu yang tidak pernah kulakukan selama beberapa tahun terakhir. Mereka menjadi orang yang berhasil membuatku melakukannya.Thank God for giving me such a medication to heal the burden I’ve always bear all this time. Mungkin, jika ada hujan turun saat itu, bulir-bulir embun akan luruh bersama rinai hujan yang menari-nari di atas raga Ibu Pertiwi dan kemudian akan tumbuh menjadi kubangan-kubangan tempat detik menghitung berapa banyak kata yang hilang. Oke, maaf aku jadi ngawur dan mendadak sentimental.
Jenny dan Risman kembali. Kami duduk melingkar dan makanan dibagikan. Tak kusangka, porsi makanan yang diberi lebih banyak dibanding porsi makanku yang biasa. Oh iya, kami juga dibagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama susur gua lebih dulu dan satunya lagi panjat tebing lebih dulu. Setelah makan, kami segera berbaris kembali sesuai dengan kelompok kami. Kelompokku agak terhambat ketika mengambil logistik kelompok yang digunakan untuk susur gua, jadi kami terkena tiga set. Utang set yang sudah berkurang jadi banyak lagi karena kami lambat.
Kami yang susur gua lebih dulu pergi ke truk yang sudah menunggu. Di dalam, kami ngobrol-ngobrol seperti biasanya. Di lokasi tujuan, kami melihat sudah ada Mbak Hajar dan Mbak Eva. Kesan pertamaku ketika melihat tempat ini adalah indah, membuatku rindu rumah. Sejauh mata memandang, aku hanya melihat tumbuhan yang kadang terlihat hijau keemasan karena dibelai oleh cahaya lembut Apollo. Langit juga berawan, tapi terlihat menyenangkan. Angin semilir menerpa wajah kami dengan lembut. Bagaimana suasana seperti ini tidak membuatmu rindu?
Tentu saja, kami tidak serta merta menuju gua. Kami mendengarkan penjelasan tentang endokarst dan detail-detail kecil dari Mbak Hajar dan Mbak Eva. Seperti biasa, Ai adalah satu-satunya anak yang benar-benar bisa menjelaskan karena dia pernah ikut olimpiade Geografi dan dia juga mendapat predikat “Anak Diktat” seperti Ahmed sejak ORAD kemarin. Sungguh kontras denganku yang sangat praktikal. Kami diminta untuk mencari gua yang akan disusuri di akhir sesi, meniup peluit saat menemukannya, dan mengambil gambar. We made it, of course, and went back to show it off to them.
Acara selanjutnya adalah susur gua dan praktik SRT. Kelompok kami dibagi lagi menjadi dua kloter. Aku, Jenny, Rainhard, Ai, dan Tyas susur gua lebih dulu, sementara Lutfi, Ardi, Deswita, dan Suryo SRT lebih dulu. Aku dan keempat rekan sekloter segera menggunakan tali webbing sebagai… sabuk, menggunakan helm dan boots, dan menali dua jerigen untuk menjadi pelampung. Tidak lupa kami membawa senter, baterai cadangan, lilin, dan korek. Karena boots-ku ukurannya kebesaran dan aku tidak menali jerigen proportionally, aku jadi agak tertinggal di awal.
“Kamu kenapa?” tanya mas-mas yang berjalan di belakangku ketika aku tertinggal.
“Boots-ku lepas dan tali jerigennya belum dipendekin lagi, Mas,” jawabku.
“Buruan ya, kamu dah ketinggalan, lho.”
“Siap.” Aku segera memasang boot kembali dan memendekkan tali, lalu mengejar mereka.
Gua yang tadinya masih terlihat permukaannya di awal perjalanan mulai kehilangan cahaya, hingga lama-kelamaan menjadi gelap. Dari penjelasan Mas Manto yang kudengarkan dengan susah payah karena juga harus menjaga langkah agar tidak tersandung atau jatuh, aku mengerti sedikit demi sedikit tentang gua dan karakteristiknya. Selama perjalanan, aku tidak benar-benar melontarkan pertanyaan yang bermutu karena aku bingung mau tanya apa. Aku jadi merasa sangat bodoh.
Ketika kita berhenti di salah satu titik dalam gua, Mas Manto meminta mas-mas yang ada di belakang kami untuk pergi ke ujung gua dan meminta kami untuk mematikan seluruh alat penerangan dan memasukannya dalam dry bag. Satu-satunya penerangan yang menyala hanya headlamp milik Mas Manto. Bodohnya, Ai iseng untuk memainkan headlamp-nya hingga membuat headlamp menyala dan membuat kami mendapat satu set tambahan.
Sebelum kami disuruh menyusur gua dalam gelap, kami diminta untuk membuat urutan, siapa yang menyusur duluan. Rainhard menjadi penyusur pertama, aku kedua, dilanjutkan dengan Tyas, Ai, dan Jenny. Rainhard menyusur dengan sangat tenang sampai aku berpikir, mungkin ada sesuatu terjadi padanya. Mana dia agak lama pula. Untungnya, teman-temanku mengobrol selama kami menunggu Rainhard, jadi aku tidak bosan. Aku tidak berpartisipasi dalam obrolan itu karena pikiranku berkecamuk. Ada banyak hal yang hinggap di kepala.
Setelah penantian konyol, giliranku tiba. Tidak seperti Rainhard yang terdengar begitu kalem saat berjalan, aku berjalan dengan gegabah, hingga langkahku berisik dan sering jatuh. Selama menyusur, aku pun tak berhenti bicara sendiri dan mengumpat dalam hati. Sebelum aku berjalan, kupikir aku akan tersesat dan mati konyol di gua karena gegabah, tidak punya penerangan, makanan, dan alat komunikasi. Ternyata, prasangkaku salah. Aku masih bisa melihat, karena jarak antara tempat kami berdiri dengan jarak finish tidak terlalu jauh.
Ketika aku melihat mulut gua, aku terpukau. Pemandangannya sungguh indah. Cahaya surya masuk dengan lembut. Selain itu, tanaman yang tumbuh di depan mulut gua membuatnya semakin cantik. I’ve never seen a sincerity like this before. Selama ini aku hanya melihat pemandangan seperti ini di film. Sekarang, untuk pertama kalinya, aku melihatnya sendiri. Aku pun melangkahkan kaki ke sana. Surprisingly, aku mendengar ada seseorang men-ssst.
“Ssssht.” Sebuah suara terdengar di sebelah kiriku.
“Apa?” tanyaku, menoleh pada asal suara. Tidak ada apapun selain kegelapan.
Hening. Aku hendak melangkahkan kaki lagi ketika suara itu terdengar lagi. “Sssht. Sini.”
Duh. Suara gaib dari mana sih ini? Menyebalkan sekali, merusak momen solilokuiku.
Tidak lama setelah suara gaib itu muncul, ada sinar dari headlamp. Oh, ternyata mas-mas yang tadi ada di belakangku. Aku pun merunduk dan ke tempat mas-masnya. Aku jadi ragu dan berprasangka, jangan-jangan maksudnya sini itu mulut guanya bukan jalan yang benar dan aku diarahkan untuk melalui jalan tempat mas-masnya duduk. Lalu aku akan mati konyol, membusuk di gua dan akan ditemukan sebagai fosil yang tidak berharga.
Sekali lagi, prasangkaku terbukti salah. Masnya—aku tidak tahu siapa—memintaku duduk dan me-review apa saja yang sudah kudapat. Aku menjawab sekenanya saja. Di akhir sesi review, aku diminta untuk menutup mata. Kalau aku sampai membuka mata, kami akan dihadiahi satu set lagi. Buset dah, pikirku, dari awal sampe sekarang kayaknya mainannya set mulu dah. Gini dikit set, gitu dikit set. Becandaannya berat juga. Pada mereka, aku tidak berkata apapun.
“Coba kamu rasakan. Menurutmu, suasana gua ini gimana?” tanya si mas yang aku tidak tahu siapa namanya.
“Tenang, indah, menyenangkan. Pokoknya seru,” jawabku (sepertinya jawabanku begitu).
“Kalo kamu nanti masuk MAPA, kamu mau pilih divisi apa?”
“Yang pertama ORAD, terus yang kedua Susur Gua.”
“Oke. Masih tutup mata yak, jangan dibuka.”
“Iyak.”
“Serius lho.”
“Serius.”
Tiba-tiba, sepasang tangan menjarah wajahku dengan lumpur. Asem tenan. “Selamat datang di divisi caving!” ujarnya. Aku speechless, tidak tahu harus menjawab apa. Usai melumuri wajahku dengan lumpur, mas-masnya melumuri lengan bajuku. Terima kasih sekali, Mas. I thank you so much.
Setelah sesi pelumuran wajah dengan lumpur, aku dipersilakan untuk keluar lewat jalan tadi dan menunggu teman-teman di gubuk yang terletak di atas gua. Belum jauh aku naik, aku melihat Rainhard duduk menunggu kami. Dia menertawakan wajahku yang aku yakin pasti konyol karena terlihat seperti orang maskeran. Aku juga menertawakan wajahnya yang terlihat penuh dengan lumpur. Dia sempat bertanya padaku dimana gubuk yang dituju. Aku menjawab tidak tahu. Kami memutuskan untuk menunggu yang lainnya, baru pergi ke gubuk bersama.Tyas keluar kemudian. Kami menertawakannya lebih keras dibanding aku dan Rainhard menertawakan wajah kami masing-masing. Dibanding kami, lumpur di wajah Tyas sangat rata, membuatnya benar-benar seperti menggunakan masker alami. Perutku sampai sakit karena terlalu banyak tertawa.
Ai adalah orang ketiga yang keluar dari gua. Saat kami melihat wajah Ai, kami tidak menertawakannya, karena lumpur di wajah Ai tidak sebanyak lupur di wajah kami bertiga. Berhubung karena kami mulai bosan menunggu di situ, akhirnya kami berempat naik untuk mencari gubuk. Oh, gubuknya ada agak di atas lagi rupanya.
Kupikir tadinya Jenny akan menjadi orang yang ke gubuk lebih dulu dibanding Mas Manto dan mas-mas yang mengatakan selamat datang di Indomaret, eh, maksudku, di divisi caving, ternyata malah Mas Manto dulu, lalu Jenny dan kedua mas-mas yang berjalan di belakangku. Setelah duduk sebentar, kami kembali ke starting point. Kami istirahat dan makan.
Di sesi selanjutnya, kloter kami bertukar posisi. Aku, Tyas, Rainhard, Ai, dan Jenny melakukan SRT dan prusikking, sementara kloter satunya melakukan penelusuran gua. Well, everything goes well, aku hanya agak lupa di simpul bowline. Aku juga menyumbang satu set—lagi—karena footloop tidak sengaja lepas saat aku hendak memijak.
Sepulang kami dari lokasi susur gua, kami harus segera membuat bivak yang aman. Aku satu tim dengan Sheila dan Yeta. Ternyata, bivak kami bermasalah dan… menyumbang dua set. Bagus sekali. Sudah kurang sehat, penyumbang terbesar set, kena lagi aku sama Mas Manto pas aku duduk karena tumbang. Aku tidak punya hak untuk membela diri, karena semuanya memang kesalahanku.
Ada satu hal bodoh saat aku menyaksikan yang lain membayar set. Awalnya, ada satu orang yang bertanggungjawab menghitung set, tetapi kemudian hitungan diambil alih oleh Mas Manto. Di salah satu set, Mas Manto menyebut angka enam beberapa kali karena ada yang gerakannya belum betul. Tetapi, Kresna nyeletuk angka tujuh, sehingga dia kena amuk. Aku tidak takut dengan suasana malam itu atau ketika Mas Manto marah, tapi aku jadi agak sedih ketika melihatnya begitu, karena aku jadi teringat Bu Barimbing (guru sejarah SMA-ku), yang sekarang entah apa kabarnya setelah kabar burung bahwa beliau sakit. Kelompok bivak-ku memperbaiki tenda ponco kami setelah makan, evaluasi, dan ibadah. Kami dibantu Suryo saat memperbaikinya. Kali ini, aku menatap langit malam dengan pandangan kosong. Setelah itu, aku tidur.
Esok harinya, kami segera merapikan peralatan yang digunakan untuk bivak setelah berganti baju. Seperti hari sebelumnya, kami melakukan pemanasan dan dilanjutkan dengan jogging. Bedanya, jogging kami di hari kedua melalui arah yang berlawanan. Setelah jogging, kami membayar tiga dari sebelas set yang tersisa di malam sebelumnya.
Di hari terakhir, ada sebuah tawaran menarik dari panitia. Jika kelompok yang hari ini panjat tebing mampu mencapai puncak, maka setiap orang yang berhasil akan dianggap mengurangi satu set. Pokoknya begitu. Begitu juga dengan yang susur gua. Jika banyak yang mampu menyelesaikan sembilan simpul dasar dengan tantangan tertentu, maka set-nya akan berkurang sesuai dengan jumlah orang yang berhasil. Ada syarat yang diajukan: tidak boleh sampai ada yang menjatuhkan atau menginjak alat. Mendengar ini, kami semua semangat untuk membayar set dengan cara seperti itu. Siapa yang tidak tergiur?
Kelompok kami—yang sudah susur gua kemarin—dibagi menjadi tiga kelompok kecil di panjat tebing: kelompok pertama mencoba pemanjatan tipe runner to runner lebih dulu, yang kedua mencoba top roof lebih dulu, dan yang terakhir mencoba prusikking. Aku masuk ke kelompok dua. Kelompokku terdiri dari Suryo, aku, Tyas, dan Ai. Di antara semuanya, aku adalah satu-satunya yang bahkan memanjatnya tidak sampai seperempat. Keseimbangan badanku (masih) jelek. Aku hanya bisa belaying dan prusikking. Walau begitu, aku tetap senang, karena teman-teman sekelompok besar banyak yang berhasil sampai atas. Tentu saja, aku senang karena itu artinya utang set kita habis dan karena mereka lebih seimbang dari aku.
Sialnya, ketika aku mencoba memanjat dengan tipe runner to runner, tangan dan kakiku tidak kuat. Gara-gara itu, aku ‘jatuh’ dan tulang kering kaki kiriku kepentok tebing. Jadi, kakiku agak nyeri ketika berdiri. Aduh. Untungnya, kelompok kecil kita adalah kelompok terakhir. Setelah itu, kami semua—bersama dengan kelompok yang habis susur gua—segera merapikan barang untuk pulang.
Saat kami duduk dalam tiga shaf sambil menunggu panitia selesa merapikan peralatan, hujan turun. Setengah dari kami mengeluarkan ponco—termasuk aku—dan melebarkannya agar bisa dipakai dua orang. Kuperhatikan setiap orang yang ada di dalam barisan. Sebagian besar ngobrol kecil dan bercanda, tapi Tyas—yang duduk di sampingku—dan Lutfi—yang duduk di belakang Tyas—malah asyik karaoke berdua, sampai di-cie-in oleh kami semua. Selain mereka, Ai dan beberapa anak malah menyanyikan jingle PPSMB 2016. Ah… sungguh indah melihat semua orang tersenyum dan tertawa.
Kupikir, selama ini hujan yang menari itu lebih gelap dari malam dan lebih kejam dan dingin dari langit, ternyata aku salah. Hujan yang menari masih lebih terang dari gelapnya gua dan lebih lembut dan baik hati dibanding terjal dan kerasnya tebing.However, di balik hujan yang menari, gelapnya gua, dan terjalnya tebing, selalu ada pelangi yang muncul, pelukan cahaya Surya di ujung gua, dan pemandangan indah yang aku yakin ada di atas tebing.
***
Hujan yang Menari
/1/
Malam ini kulihat langit sedang kelabu.
Kupikir hujan yang akan menari-nari di jalan
akan menangisi purnama yang ditinggal pergi kunang-kunang.
Ternyata, mereka hanya menari untuk menertawakanku untuk sesuatu
yang tidak kutahu dan jejak-jejak mimpi yang ditelan gelap.
/2/
Hari ini langit sedang baik hatinya. Tidak ada sosok yang sedang ditangisi seperti malam lalu,
sehingga Surya mampu memeluk Pertiwi dan tiada tarian hujan yang menggoda berpasang mata
saat mereka jatuh menginjak Pertiwi. Tetapi, Surya yang mendarat tidak mampu memeluk
ragaku yang dipeluk kegelapan abadi. Hujan juga tidak menari untuk menggodaku.
/3/
Sore ini, hujan menari lagi, namun aku tidak melihat ekspresi
kesedihan terpancar di langit saat menguras rintik yang ber-
gelayut di awan-awan kelabu. Aku melihat ada pelangi
di mata-mata yang tersenyum dan tawa di bibir-bibir
yang berceloteh.
Ditulis Oleh :
Herdina Primasanti
Fakultas Ilmu Budaya
Peserta Gladimula XXXIII ‘Beyond Wanderlust’
0 Comments