Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik Nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada hanyalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.”
-Agustinus Wibowo
TAMBORA. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa dahulu gunung setinggi 2.851 meter ini dikenal dengan sebutan Gunung Aram. Catatan mengenai hal itu dicantumkan dalam sebuah peta kuno yang dimuat pada buku Suma Oriental. Buku tersebut ditulis oleh seorang apoteker keturunan Portugis, Tome Pires. Tome Pires memberikan banyak informasi mengenai keadaan nusantara pada abad ke-15.
Letusan Gunung Aram sempat menggemparkan dunia pada tahun 1815. Indeks letusan vulkaniknya mencapai skala 7 dan dikabarkan mengubur 3 kerajaan saat itu yakni Kerajaan Pekat, Sanggar dan Tambora. Letusan ini bahkan menimbulkan hujan abu dan menimbulkan perubahan iklim drastis yang menyebabkan Eropa dan Amerika Utara mengalami tahun tanpa musim panas pada 1816. Efek lainnya adalah berubahnya tinggi Gunung Aram yang tadinya diperkirakan sekitar 4.200 mdpl menjadi 2.851 mdpl.
Hal inilah yang melatarbelakangi ekspedisi kami diberi nama “Gladimadya Gunung Aram”. Mengambil sebutan lama untuk Gunung Tambora. Aram sebenarnya memiliki arti tempat yang tinggi, sedangkan Gladimadya merupakan tahapan pendidikan lanjutan di MAPAGAMA sebagai syarat untuk mendapatkan nomor anggota.
Berbulan-bulan lamanya persiapan yang kami lakukan sebelum bertandang ke Tanah Samawa. Latihan fisik sebanyak tiga kali dalam seminggu, yoga, ditambah dengan tes VO2 max kami lakoni sebagai langkah mempersiapkan diri untuk pendakian ini. Terkesan berlebihan? Tidak. Fisik merupakan salah satu hal yang harus menjadi perhatian utama saat berkegiatan di alam bebas.
Gambar 1. Simpang Doropeke, salah satu persimpangan yang harus dilewati saat melalui jalur Doropeti
Di antara sekian banyak jalur yang ada, kami memilih jalur Doropeti. Ada beberapa alasan kenapa kami memilih jalur ini. Jalur ini jarang menjadi pilihan para pendaki dan bukan merupakan jalur resmi serta merupakan jalur terpanjang untuk mencapai puncak Tambora.
Tak puas hanya menjejakkan kaki sampai di puncak, kami juga merencanakan akan turun untuk menjelajah sampai ke dasar kawah Tambora yang memiliki kedalaman hingga 1.250 meter. Di dalamnya terdapat dua Gunung Api kecil yakni Doro Afi To’i dan Doro Afi Bo’u. Gunung kecil ini masih boleh didekati oleh manusia di atas pukul sebelas siang karena biasanya gas beracun yang dihasilkan sudah menguap.
Di samping itu, kami juga melakukan interpretasi jalur, mengeksplorasi keanekaragaman hayati sepanjang jalur pendakian Doropeti Taman Nasional Gunung Tambora (TNGT). Taman Nasional Gunung Tambora secara administratif berada pada dua wilayah Kabupaten yakni Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Taman Nasional Gunung Tambora diresmikan pada 11 April 2015 atau bertepatan dengan peringatan seabad letusan dahsyatnya. Luas total dari kawasan TNGT mencapai 71.645 hektar. Taman nasional ini memiliki potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa. Tipe vegetasinya juga beragam, mulai dari hutan sekunder yang didominasi jenis-jenis semak dan perdu, hutan musim selalu hijau, dan vegetasi savana. Selain itu, kawasan TNGT juga rumah bagi berbagai jenis satwa antaranya dari kelas mamalia, reptil, primata dan burung. Terdapat delapan jenis burung yang dilindungi, satu jenis diantaraya merupakan spesies prioritas terancam punah dan dua jenis burung endemik NTB.
Tak dapat dipungkiri, kegiatan alam bebas yang satu ini selain menuntut kemampuan fisik yang baik, manajemen logistik dan perjalanan yang efektif juga diperlukan kemampuan navigasi. Tak mau mati konyol di gunung kan karena tak ada persiapan?
Selain menyiapkan fisik, kami juga mengasah kemampuan dan pengetahuan dengan mengadakan serangkaian materi dan try out. Tak tanggung-tanggung kami juga mencari data sekunder dari pihak TNGT dan melakukan survei terlebih dahulu dengan mengirimkan dua orang sebagai tim advance.
Tak seorang pun dari kami bertujuh yang pernah mendaki Gunung Tambora, sehingga kami mencari informasi sebanyak mungkin. Kami berusaha melakukan persiapan sebaik yang kami bisa sehingga untuk mengantisipasi medan-medan sulit kami membawa hauling set yang terdiri atas tali statis, webbing, carabiner, dan pulley beserta peralatan yang dibutuhkan untuk menuruni kaldera. Konsumsi selama beberapa hari disana juga kami rencanakan bersama dengan makanan cadangannya. Tak lupa kami juga membawa peralatan navigasi seperti peta, kompas, GPS, dan protaktor.
AH! 22 Agustus 2016 mungkin tanggal yang akan kami ingat sampai bertahun-tahun ke depan. Hari ini tim kami berangkat menuju Nusa Tenggara Barat. Kami menempuh perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya dengan menggunakan kereta. Lalu dilanjutkan dengan naik pesawat menuju Lombok. Sesampainya di Lombok kami harus menunggu sekitar 9 jam untuk transit ke Bima.
Menunggu 9 jam lamanya tentu sangat membosankan, tapi semua itu terbayar dengan keindahan bentang alam yang kami saksikan dari kabin pesawat. Decakan kagum muncul tatkala matahari pagi menyapa dari atas awan, dilengkapi bonus pemandangan Gunung Tambora dari ketinggian.
KEESOKAN HARINYA, kami langsung memulai pendakian setelah beristirahat selama sehari di barak pangkalan Doropeti. Pendakian diawali dari ketinggian 15 mdpl. Canda tawa kami menambah semangat saat memulai pendakian.
Menjelang tengah hari, sekitar pukul 10.00 WITA kami sampai di simpang Doropeke. Tak terlihat adanya papan penunjuk sehingga beberapa kali kami harus menerabas.
Masuk ke dalam hutan lebih dalam, vegetasi cukup rapat dan kanopi hutan tertutup. Banyak terlihat log kayu hasil Illegal logging yang masih belum diangkut oleh para penebang. Dilihat lebih dekat, kayu-kayu yang ditebang didominasi Pohon Kalanggo (Duobanga molucana).
Gambar 2. Log kayu hasil Illegal logging yang belum diangkut penebang
Saat berjalan ke arah tanjakan yang dihalangi kayu besar, kami kehilangan jalur akibat tertutupi paku-pakuan. Cukup lama kami mencari, namun tak jua menemukannya.
Akhirnya kami sepakat untuk mencari daerah yang datar untuk berkemah karena hari mulai gelap. Setelah menemukan tempat yang cocok kami bergegas mendirikan tenda, memasak lalu beristirahat.
PAGI-PAGI SEKALI, Alief (koordinator lapangan) membangunkan kami. Segera saja kami menyiapkan sarapan dan mulai berkemas. Sekitar 475 meter dari tempat berkemah, akhirnya kami menemukan jalur pendakian berupa tanda police line dan papan petunjuk dari seng kecil.
Di ketinggian 1.533 mdpl kami tiba di batas vegetasi terbuka, di sana kami berusaha mencari sumber air namun tidak ada. Lalu memasuki ketinggian 1.685 mdpl, vegetasi didominasi oleh tanaman jelatang (Toxicodendron radicans). Bila mengenai kulit jelatang menyebabkan rasa panas dan gatal, namun hanya beberapa saat saja dan akan hilang dengan sendirinya. Hari beranjak sore, pukul 17.05 WITA kami sepakat untuk berkemah. Mengingat kami belum menemukan sumber air, untuk antisipasi kami menghemat penggunaan air.
Gambar 3. Vegetasi Jelatang di titik pohon cemara
MEMASUKI HARI KETIGA kami melakukan rutinitas pagi seperti biasa, menyiapkan sarapan, berkemas, lalu melanjutkan pendakian. Perjalanan cukup melelahkan karena kami terus dihadapkan pada medan yang menanjak selepas meninggalkan kemah kedua. Setibanya di puncak punggungan, kami mencari sumber air berdasarkan informasi yang kami peroleh dari salah seorang pegawai Badan Geologi & Vulkanologi. Malang nian nasib kami, daerah yang dijelaskan ternyata kering.
Memasuki ketinggian 2.403 mdpl, cuaca berkabut kemudian turun hujan yang cukup deras. Pergerakan tim menjadi lambat hingga kami memutuskan untuk berhenti dan menampung air. Lumayan. Tak lama sesudah hujan reda, kami dikejutkan oleh cuaca yang berubah cerah. Cakrawala pemandangan di depan kami menampakkan tebing puncak sejati yang sangat terjal dan tinggi. Tak masalah. Dengan penuh semangat kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Doropeti yang berada pada ketinggian 2.584 mdpl.
Karena hari menjelang sore, kami pun berkemah di jalur menuju puncak sejati. Malam harinya, saat berdiskusi, kami dilanda kegamangan apakah harus melanjutkan niat menuruni kawah atau tidak mengingat persediaan air yang terbatas. Akhirnya diputuskan bila kami tak bertemu kawan-kawan dari Calabai yang mendaki dari jalur Pancasila maka terpaksa keinginan untuk turun ke kawah harus kami pendam.
ESOKNYA KAMI melanjutkan perjalanan menuju puncak sejati. Medan menuju puncak berupa tanah dan batuan dengan tekstur lepas-lepas. Kami harus melangkah dengan hati-hati, namun sekaligus harus cepat agar tidak terpeleset. Trek sebelum puncak sangat terjal, bahkan beberapa ada yang membutuhkan bantuan webbing untuk naik. Setibanya di puncak sejati, rasa lelah dan haus yang mendera seakan terobati untuk sementara.
Kami mulai resah, sudah pukul 11 siang tapi belum terlihat juga tanda-tanda kehadiran tiga orang kawan dari Calabai. Akhirnya sesuai kesepakatan, terpaksa kami memendam niat untuk menuruni kaldera Tambora yang terkenal itu. Setelah mengambil beberapa gambar dan video di puncak, kami turun lewat jalur Pancasila. Teriknya sinar matahari membuat rasa haus yang kami rasakan menjadi semakin tak tertahankan. Keinginan untuk memuaskan dahaga dengan seteguk air yang segar harus kami tahan.
Tiba – tiba dari kejauhan kami mendengar suara teriakan. “Hai kalian yang di sana! Amankah?”. Suara itu langsung membangkitkan harapan kami yang sebelumnya sempat padam. Kawah Tambora dalam genggaman!
Tiga orang kawan pendaki dari Calabai yaitu Egil, Dalih dan Yusuf langsung menghampiri kami yang duduk makan siang di bawah pohon Cemara. Langsung saja kami minta air yang mereka bawa dan mengatur ulang rencana kegiatan. Ditemani Yusuf kami bergegas menuju Pos 5.
Keputusannya, empat orang dari kami akan naik lagi ke puncak sejati dan menuruni kawah sementara tiga orang lainnya menunggu di Pos 5.
Setelah mengisi air, tim kaldera segera melanjutkan perjalanan. Menjelang gelap, kami sampai di puncak sejati. Kami mendirikan tenda di bibir kawah yang merupakan pintu masuk menuju kaldera.
ESOKNYA, kami terbangun pagi sekali. Petualangan besar menanti. Hari ini kami bersama kawan-kawan dari Calabai akan mencoba menuruni kawah candra dimuka Gunung Tambora yang dinobatkan sebagai kawah terbesar di dunia yang diameternya sepanjang 7 kilometer dan keliling kawahnya mencapai 16 kilometer. Gerbang pintu masuk untuk turun ke dasar kawah ditumbuhi bunga-bunga edelweiss dan sepertinya ini lembahan yang paling landai dan lebar sejauh yang kami lihat dari bibir kaldera. Dari sini terlihat kawah menganga nan lebar, ditambah dengan eksotiknya sebuah anak gunung api yang muncul dari dalam kawah.
Adzan di kumandangkan oleh Egil. Ini pertanda izin dan sopan santun kami pada makhluk yang telah mendiami kawah lebih dahulu sebelum manusia menapakinya.
Dari hasil diskusi semalam, formasi dimulai dari Dewi, Manto, David lalu diikuti Alief dengan jarak maksimal 5 meter. Lembahan pertama yang kami lewati masih cukup landai dengan tekstur tanah yang keras. Lalu kami dihadapkan pada tebing-tebing curam dengan kemiringan ekstrem hampir 50o. Setelah melewati sebuah cekungan, kami memasang main anchor dengan total panjang 50 meter sebagai tali pegangan untuk mulai turun. Saat berjalan menuju sebuah lembahan yang ditutupi oleh bebatuan besar, di situ kami menemukan sebuah mata air. Inilah pos 1. Tim beristirahat sejenak untuk makan siang.
Gambar 4.Salah satu anggota tim (Alief) sedang berusaha menuruni batuan untuk mencapai dasar kaldera
Selanjutnya kami memotong ke arah timur laut melewati bebatuan, bongkahan demi bongkahan kami lompati. Kami melewati sekitar 3 punggungan dan 2 teras landaian untuk sampai di tebing terakhir. Di depan kami terpampang begitu luas dan megahnya kaldera Tambora nan agung. Kami terdiam sejenak. Senang rasanya bisa menyaksikan sendiri kemegahan kaldera Tambora yang termasyhur sampai ke negeri orang itu.
Di tebing terakhir ini kami harus scrambling ke utara sekitar 20 meter dengan pijakan yang teramat kecil. Salah pijakan bisa berakibat fatal. Jatuh dari ketinggian 50 meter tentu dapat menyebabkan patah tulang, lebih-lebih lagi dapat mengundang maut. Seram sekali.
Melewati turunan terakhir, akhirnya kami berdiri di atas kaldera. Hilang seluruh umpatan dalam hati. Kami mendirikan tenda di tepi sebuah sungai kecil beralaskan bebatuan di selimuti hangatnya langit Sumbawa.
FAJAR PUN TIBA, sinar mentari memantulkan cahayanya di tebing-tebing kaldera. Kami dan Yusuf memutuskan untuk berkeliling menjelajah kawah Tambora. Kami bertiga berjalan menuju anakan Gunung Tambora yakni Doro Afi To’i (gunung api kecil). Setelahnya kami mencari keberadaan sumber air lainnya, yakni danau.
Berjalan dan terus mencari, itulah yang kami lakukan.. Kami pun berpencar. Tapi apa daya, tak ada genangan air yang terlihat. Kami sempat melewati “hutan ilalang”. Ilalang yang begitu kecil ketika terlihat dari puncak gunung ternyata begitu tinggi dan besar ketika dilihat secara langsung, bahkan dengan melompat pun kami masih belum bisa melihat pemandangan dari balik ilalang. Tinggi ilalang-ilalang itu mencapai 2,5 sampai 3 meter.
Lumayan jauh juga ternyata jarak yang kami tempuh selama melakukan eksplorasi. Sesampainya di tempat berkemah, kami segera berkemas untuk kembali ke pos 5 jalur Pancasila.
Perjalanan kembali ke puncak Gunung Tambora cukup berat. Kami berjalan sedikit demi sedikit, tak jarang waktu beristirahat lebih lama daripada waktu kami berjalan. Keberadaan tali-tali yang kami pasang sebelumnya memudahkan kami dalam melakukan pendakian.
Akhirnya perjalanan panjang kami pun terbayar sudah, puncak Tambora yang kami harap-harapkan dapat kembali kami pijak. Senang, bangga dan haru itulah yang kami rasakan. Indahnya matahari terbenam menyambut kedatangan kami di puncak Tambora. Namun perjalanan belumlah usai, kami harus segera kembali ke pos 5 menemui kawan-kawan lainnya.
Sesampainya di pos 5 kami disambut dengan coklat panas, puding dan makan malam yang sudah disiapkan sedari sore. Malam harinya kami isi dengan perbincangan hangat seputar eksplorasi kami di kawah Tambora.
Semua target lapangan berhasil kami penuhi, ini membuat langkah kaki kami sepanjang perjalanan turun terasa sangat ringan. Aih! Tambora benar-benar membangkitkan gelora berpetualang di dalam dada. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan. Suatu saat kaki-kaki ini pasti akan merindu untuk menapakimu kembali.
-Tim Gladimadya Gunung Aram.
(Manto Sitindaon, Alief Fahmil U., Devi Astuti, David Sabatian Dompas, Andoyo Respati, M. Reza Khairurahman dan Dewi Sekar Kartini)
0 Comments