Selembut Kabut, Semempesona Sabana
Oleh : L. Riyan Setyadi dan Endang Sri Nugroho
Gunung Merbabu adalah sebuah gunung api berbentuk strato. Gunung ini terletak di Jawa Tengah dan memiliki lima jalur pendakian: Cunthel, Selo, Suwanting, Thekelan, dan Wekas. Sebagai gunung yang cukup populer, gunung ini sering dijadikan tempat pendakian. Menurut Wikipedia, nama Merbabu berasal dari kata “meru” yang artinya gunung dan kata “abu”. Walau demikian, gunung ini tidak memiliki banyak sumber air dan hutan yang vegetasinya homogen.
Pada tanggal 3-5 Maret 2017 lalu, calon anggota angkatan Ambu Udan melakukan kegiatan Wajib Gunung di Gunung Merbabu dan dibagi menjadi empat kelompok, sesuai dengan jalur yang tersedia dan ini adalah cerita perjalanan dari kelompok Jalur Selo.
Jum’at, 3 Maret 2016
Cerahnya hari itu cukup jadi bekal bagi waktu menuju keberangkatan tim kami. Gelanggang UGM sempat jadi pilihan berkumpul sebelum bertolak ke Merbabu, tempat tujuan dari rangkaian acara tersebut.Kegiatan yang beralokasi dari tanggal 3-5 Maret tersebut merupakan acara resmi MAPAGAMA (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada) yang diselenggarakan teruntuk calon anggota muda angkatan Ambu Udan yang akan menempuh wajib gunung. Berbagai tahapan menuju calon anggota muda terus berjalan dan berkesinambungan hingga sampai menginjak hari keberangkatan.
Telah lewat beberapa jam seusai waktu ibadah sholat Jumat, tim wonderful Selo (panggilan khusus bagi timku) mulai berkumpul untuk bersiap-siap. Beberapa waktu berselang, kami mulai sibuk melakukan packing logistik di carrier masing-masing yang dipandu oleh Najam, pemegang penanggung jawab logistik. Persiapan terus berjalan hingga waktu mulai menginjak sore. Tepat pukul 15.30 WIB, Lana sebagai koorlap mulai melakukan improvisasi waktu karena dirasa keberangkatan kami dianggap terlalu molor. Koorlap mulai melakukan intruksi untuk segera berkumpul di lapangan serta memimpin briefing skenario selanjutnya. Cukup beberapa menit setelah itu, kami memantapkan perjalanan dengan berdo’a untuk keselamatan kami dan segera berjalan menuju halte bus transjogja depan Kopma UGM.
Sore itu, padatnya lalu lintas kendaraan di Jalan Kaliurang menjadi tontonan mata sembari menunggu kedatangan bus jurusan Stasiun Tugu, Yogyakarta. Warna langit yang mulai merona jingga tampak mengalirkan rasa sayup mengharapkan kedatangan bus yang tampaknya tak segera kunjung datang. Hening pikiran perlahan mulai berubah kala suasana perut menginginkan bakso tusuk yang dijual tukang bakso di samping halte.Pikiran jenuh yang sempat melanda mendadak terbius oleh rasa nikmat bakso yang panasnya masih tersisa sesaat setelah kami berpatungan untuk membelinya. Beralih dari itu, teman-teman yang tadinya duduk manis di dalam halte langsung turun menghampiri kami yang sedang bergantian tusuk lidi menikmati bakso. Mereka keluar halte bukan untuk meminta bakso, namun berterus terang mengajak tim ke rencana B yaitu berjalan kaki ke stasiun. Hal itu tidak lain karena bus harapan kami tak kunjung datang.
Lewat 40 menit lamanya telah terbuang hilang tak kembali semenjak penantian kami pada bus transjogja. “Bang, gimana kalo kita jalan kaki?”, sahut Lana bertanya pada mas Doy (pendamping tim). Akhirnya, dengan pertimbangan waktu yang cukup singkat karena kami harus bisa tiba di stasiun sebelum keberangkatan kereta pukul 18.00 WIB.Sementara, kulihat jarum jam tanganku sudah menunjuk tepat angka 5 yang seolah memberi peringatan untuk bergegas cepat menuju stasiun.Terlihat semua teman-temanku terburu-buru menyusuri jalanan yang begitu ramai. Tiap-tiap persimpangan jalan terlewati hingga terbesit dalam pikiranku tampak banyak pengguna jalan yang memperhatikan barisan rombongan kami.
Tidak terasa lama semenjak permulaan awal kaki kami meninggalkan halte depan Kopma UGM, bunyi suara mesin kereta terdengar jelas ketika kami mulai mendekati Jalan Pasar Kembang. Kurang lebih hanya butuh waktu 30 menit sampailah kami di halaman pintu selatan Stasiun Tugu. Sejenak kami berhenti dan segera nampak Riyansedang membagikan tiket yang telah dibeli satu pekan sebelumnya kepada kami. Lalu, tiket segera kami berikan ke petugas supaya bisa langsung masuk ke dalam kereta.Terbayang pula kekaguman kami di sisa estimasi waktu ketika muncul kesadaran hampir tertinggal kereta.
Kereta pramek (sebutan khas yang akan mengantar kami menuju Stasiun Solo Balapan) sedang terparkir seolah istirahat sejenak menunggu para penumpangnya di jalur satu. Bersamaan dengan penumpang lain, kami berjalan di sepanjang lorong kereta mencari tempat duduk yang masih kosong. Langkah-langkah kecil kami menghampiri bangku-bangku kosong di dalam kereta, meletakkan carrier dari pundak, duduk, dan menghela napas. Posisi duduk yang mengharuskan rombongan timkami tersebar meskipun masih tetap dalam satu gerbong.
Tepat pukul 18.00 WIB tidak lama sesaat setelah kami menempati bangku, suara lantang peluit petugas stasiun terdengar selayaknya memberi tanda bahwa pintu akan tertutup otomatis dan kereta segera jalan. Perlahan kereta kami mulai bergerak ke arah timur. Pemberhentian pertama ialah stasiun Lempuyangan, tak begitu jauh dari stasiun Tugu Yogyakarta. Di balik jendela kereta aku memandangi suasana senja Kota Jogja yang tampak dihiasi lampu-lampu jalanan sembari menyaksikan hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Di dalam benakku membayangkan seperti apakah pendakian kami nanti. Sesekali aku berbincang dan bercanda dengan Municha salah satu anggota tim kami. Dari Stasiun Lempuyangan, kereta melaju dengan lebih kencang menghampiri pemberhentian selanjutnya yakni Stasiun Maguwo diikuti Stasiun Klaten, Stasiun Purwosari, dan tibalah kami di pemberhentian terakhir yakni Stasiun Solo Balapan yang terletak di tengah-tengah Kota Solo.
Satu per satu dari kami menuruni tangga kecil di sisi kanan pintu kereta dan menginjakkan kaki di Stasiun Solo Balapan. Seperti halnya stasiun-stasiun di kota lainnya, stasiun ini selalu ramai dibanjiri penumpang serta senyum ramah dan tawaran-tawaran para pengemudi kendaraan umum di sekitar stasiun. Setelah seluruh anggota tim kami dipastikan lengkap, kami pun berjalan menyebrangi stasiun dan menunggu datangnya mobil pick up yang telah kami pesan jauh-jauh hari untuk mengantar menuju basecamp pendakian Gunung Merbabu via Selo. Tak lama menunggu, seorang pria paruh baya mengenakan jaket kulit hitam yang tak lain adalah supir mobil pick up menghampiri kami untuk memastikan bahwa kamilah yang telah memesan tumpangan. Setelah berkomunikasi, kami dipersilahkan naik satu per satu ke atas pick up setelah sebelumnya seluruh barang bawaan kami dinaikkan terlebih dahulu. Malam itu keadaan tubuhku sedikit kurang fit sehingga aku ditemani Ririn memilih untuk duduk di depan bersama pak supir untuk menghindari dinginnya angin malam.
Tak lama dari Stasiun Solo Balapan, mobil pick up hitam berukuran sedang sewaan kami pun melaju menyusuri jalanan kota Solo menuju Kabupaten Boyolali. Mobil terus melaju meninggalkan ramainya jalanan kota menuju medan yang menanjak dan berliku dikelilingi banyak tumbuhan di sepanjang jalan yang menandakan bahwa kami telah memasuki kawasan Selo. Sempat beberapa kali pak supir memberi peringatan kepada kami yang berada di belakang untuk menjaga keseimbangan agar mobil yang kami tumpangi mampu melewati jalanan menanjak dengan kemiringan cukup tajam. Dua jam kemudian tibalah kami di sebuah gardu besar dengan beberapa penjaga loket dengan segenggam karcis di tangannya. Salah satu anggota dari tim kami yakni Ririn selaku bendahara tim turun dari mobil pick up untuk melakukan registrasi pendakian dan membayar tiket retribusi. Setelah transaksi selesai, kendaraan kami kembali melaju tak jauh dari gardu retribusi. Akhirnya, pick up yang kami tumpangi berhenti tepat di depan salah satu rumah warga yang tak lain ialah salah satu dari deretan basecamp Selo tempat kami beristirahat.
Setelah menurunkan seluruh penumpang serta barang bawaan, kami dipersilahkan masuk ke dalam salah satu ruangan yang cukup luas dan nyaman untuk menampung kami bersebelas. Secercah senyum lega merekah dari sudut bibir Lana yang tak lain adalah koorlap tim kami. Di ruang itu aku merasa bersyukur tim kami bisa sampai dengan selamat dan bisa melepas lelah seharian itu. Disusul kedua tanganku yang mulai merogohi kantong besar berisi dua belas nasi bungkus yang sengaja kami bawa dari Jogja. Lalu aku segera membagikannya kepada seluruh anggota tim yang mulai nampak keroncongan. Usai makan malam, sembari menyeduh minum hangat kami memploting persediaan konsumsi untuk pendakian esok hari. Salah satu pendamping kami yakni Verent mulai buka suara untuk memulai evaluasi kegiatan tim kami seharian ini. Tak buang waktu, masing-masing dari kami mengutarakan pendapat mengenai jalannya dan kendala selama kegiatan yang dilewati sesuai dengan sie penanggungjawabnya.Kemudian diskusi disusul dengan masukan dari ketiga pendamping kami yakni Doy, Ilham, dan Verent.Setelah evalusai dirasa cukup, tibalah waktu kami untuk tidur.Sleeping bag seolah menjadi ranjang dan penghangat bagi kami malam itu meringkuk dan memejamkan mata.
Sabtu, 4 Maret 2017
Usai memanjatkan doa dan berfoto bersama, langkah-langkah kecil kaki kami pun mulai menghiasi pemandangan gerbang pendakian Selo pagi itu. Jalan setapak yang kami lalui tak lagi dikelilingi rumah-rumah penduduk di kanan dan kirinya. Yang ada hanyalah hamparan hutan yang luas serta udara yang semakin segar.Pendakian pagi itu berjalan sesuai skenario perjalanan yang telah disepakati. Aku yang memiliki ukuran tubuh paling kecil berjalan paling depan disusul oleh Dita, Municha, Ririn, Lana, Ryan, Najam, Rayhan, dan ketiga pendamping kami sebagai sweeper. Selama perjalanan, kami diberi waktu dua menit untuk beristirahat setelah berjalan kaki selama tiga puluh menit.Seekor monyet yang berkeliaran di sekitar jalur pendakian mencuri perhatian kami yang sedang berjalan.Pemandangan yang cukup menarik meskipun tak lama monyet itu langsung kabur dan menjauhi rombongan kami.Pendakian pagi itumakin berwarna ketika beberapa kali berpapasan dengan pendaki-pendaki lain yang memberi suasana tegur sapa dan senyum ramah. Syukurlah pendakian pagi itu cerah meskipun salah satu anggota dari tim kami yakni Dita seringkali mengeluhkan kakinya yang sakit. Deru-deru semangat yang terlontar dari pendamping kami pun menambah semangatku yang mulai merasa kepayahan berjalan.
Pos satu terlewati, disusul pos dua, dan jalur pendakian nampak akan cukup terjal sepanjang mata memandang. Setelah meneguk sebotol besar pocari sweat untuk kami ber-sebelas, pendakian pun dilanjutkan. Langit yang tadinya cerah mulai meredup.Sinar matahari yang sejak awal pendakian menghangatkan tubuh kami pun mulai menghilang dari pandangan.Udara terasa semakin dingin disusul butiran-butitan kecil air yang turun dari langit mulai membasahi kami dan tanah merbabu siang itu. Selembar ponco segera kami kenakan untuk melindungi tubuh dari hujan dan dingin yang semakin menusuk tubuh.
Siang itu pendakian terpecah menjadi tiga kloter mengingat kemampuan fisik dan tanggung jawab masing-masing anggota tim yang berbeda-beda. Beberapa waktu kemudian, tibalah kami di pos tiga.Di pos ini hujan turun semakin lebat.Tanah landai yang cukup luas dipilih pendaki-pendaki lainnya untuk mendirikan tenda.Kaki yang telah lama berjalan, pundak yang cukup lelah menahan beban carrier selama berjam-jam, serta tubuh yang bertarung dengan hawa dingin ini pun mulai tergoda untuk beristirahat dan mendirikan tenda.Namun, sayangnya perjalanan harus terus berlanjut mengingat pos tiga bukanlah pemberhentian yang kami pilih untuk mendirikan camp.Pendakian terus berlanjut dan sampailah kami di sabana 1 Gunung Merbabu.Di tempat ini kami diberi kesempatan untuk beristirahat lebih lama dari sebelumnya.Rasa lega mulai terasa dari lubuk hati ketika hujan akhirnya reda dan sinar matahari mulai memancarkan kembali hangat sinarnya secara perlahan.Tak buang waktu mantel ponco kami kemas kembali kedalam carrier dan mulai memanfaatkan cuaca yang mulai bersahabat.Tak ketinggalan sejumlah camilan perbekalan dan beberapa teguk air kami nikmati untuk mengisi perut.
Usai menyantap camilan, kami kembali berkemas dan siap melanjutkan perjalanan.“Ayo semangat! Satu bukit lagi kita sampai!”, ucap Verent yang tak henti-hentinya menyemangati kami. Kulepaskan pandanganku ke arah bukit tinggi yang akan segera kami daki. Namun, sayangnya pandanganku tak menemukan objek yang kucari karena bukit tersebut telah tertutup rapat oleh kabut tebal.Langkah kaki menjadi terasa berat mengingat tak lama lagi kami harus melalui kabut itu dan mau tak mau harus kembali merasakan hawa dingin yang teramat sangat.Ditambah lagi kondisi pakaian kami yang belum sepenuhnya kering serta terbayang pikiran hujan akanturun lagi.Kami sadar, gunung ialah bagian dari alam raya dengan berbagai karakteristik cuacanya.
Selama kondisi tim dan cuaca memungkinkan untuk dilalui, maka pendakian akan tetap berlanjut karena semakin cepat kami sampai tempat camp, makin cepat pula kami dapat beristirahat. Kabut tebal seolah menyatu dengan tubuh dan pakaian kami yang lembab.Terasa tubuhku pun mulai menggigil tak karuan.Syukurlah hal tersebut tidak berlangsung lama.Matahari seolah memahami isi hati kami.Meskipun hangat mentari di sore hari rasanya tak cukup untuk benar-benar menghangatkan dinginnya tubuh ini, namun hal ini dirasa cukup membantu.
Naik dan turun bukit yang sama. Langkahku terhenti sejenak.Senyum kecil merekah di sudut bibirku. Terpesona akan apa yang ada di depan mataku. Sabana 2 Gunung Merbabu terbentang luas di hadapanku.Padang rumput yang amat luas dan warna-warni tenda menghiasi tiap sisinya.Kupercepat langkahku, tak sabar untuk menghampiri kawan-kawanku yang jalan terlebih dahulu.Setelah menentukan lokasi yang pas, dua buah flysheet beserta tiga tenda kami dirikan.Semua nampak sibuk mempersiapkan area camp mengingattak lama itu cuaca lagi-lagi tak bersahabat.
Sehabis berganti pakaian dan menata seluruh logistik, kini saatnya bersiap untuk memasak.Sebagian dari kami nampak sibuk berbincang di dalam tenda, sebagian lagi beristirahat karena merasa kelelahan. Kabar buruknya koortim tim kami tiba-tiba sakit, badannya demam dan tampak lemas. Ditambah lagi perasaan khawatir kami karena Doy belum juga muncul di Sabana 2 yang sempat tertinggal.Roti tawar dengan selai mocca adalah makanan pertama yang kami santap di dalam tenda, disusul dengan buah pir dan pudding cappuccino yang telah kami bawa dari basecamp.Tak lama kemudian salah satu pendamping yang kami nanti-nantikan kedatangannya itu pun muncul juga dengan kondisi basah kuyup.Tawa pun pecah diantara kami.
Akhirnya senja pun tiba.Sabana 2 Gunung Merbabu dengan keindahannya yang bukan main tak lagi nampak tanpa bantuan penerangan. Kebetulan malam itu tenda kami kedatangan tamu yang tak lain adalah kawan-kawan Mapagama dan merupakan tim flying basecamp kegiatan wajib gunung kali itu. Kabar baiknya, sebagian dari mereka membantu tim konsumsi kami menyiapkan makanan yang harus dimasak malam itu. Sebagian menyiapkan hidangan tempe goreng dan bakwan, sementara sebagian lagi dari kami memasak spaghetti dan membuat minuman hangat. Setelah matang, kami mulai menyantap hidangan tersebut.Meskipun masakan cukup sederhana, namun terasa nikmat saat disantap bersama-sama.Setelah makan dan membersihkan peralatan makan, kami mulai beristirahat.Malam itu kami beristirahat dengan suasana malam yang tampak tenang tak ada badai gunung sekalipun.
Minggu, 5 Maret 2017
“Bangun-bangun!”, suara Lana memecah dinginnya pagi di dalam ruangan tempat kami beristirahat. Setelah berhasil melawan rasa kantuk, kami beranjak melipat sleeping bag.Aku segera meraih kompor dan nesting untuk menghangatkan air.Kuseduh 11 gelas berisi bubuk energen rasa vanilla dan meraih satu pisang emas serta biscuit untuk mengawali kegiatan pagi itu.Najam selaku sie logistik beserta beberapa dari kami mulai berwudhu dan melaksanakan sholat subuh. Usai sarapan, masing-masing carrier mulai dikemasi dipimpin oleh Najam yang nampak sibuk mengecek ulang plotting logistik tim kami. Satu per satu carrier kami mulai dibaluti rain cover tanda packing telah usai. Kegiatan berlanjut di halaman depan basecamp diawali dengan pemanasan fisik dan briefing yang dipimpin oleh Lana.
“Bangun-bangun!”, suara Lana lagi-lagi mengusik rasa kantuk kami. Sebagai koorlap ia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan kami berjalan sesuai dengan skenario perjalanan yang telah kami sepakati meskipun saat itu kami bangun sedikit kesiangan. Masing-masing dari kami mulai menjalankan aktivitas sesuai dengan tanggung jawab kami dalam tim. Aku selaku sie konsumsi segera memasak air hangat untuk menyeduh kopi dan tak lupa membuat pudding mangga. Ririn selaku sie komunikasi mulai berkutat dengan HT ditangannya untuk bertukar pesan dengan timbasecamp. Dita yang merupakan sie dokumentasi pun segera beranjak keluar mengabadikan indahnya sabana 2 pagi itu.
Setelah seluruh anggota dan perbekalan siap, kami didampingi Doy memulai perjalanan menuju Puncak Kentheng Songo Gunung Merbabu setelah sebelumnya diawali dengan , pemanasan, dan berdoa bersama. Jalur pendakian menuju puncak yang semakin terjal sungguh membuat kami ngos-ngosan. Pagi itu, di puncak Kentheng Songo telah ramai oleh pendaki lainnya yang sibuk mengabadikan moment-moment indahnya dengan berfoto ria. Tak buang waktu lagi, kami pun tak mau ketinggalan mengabadikan moment indah tersebut ditambah background Gunung Merapi yang berdiri tampak gagah di depan mata. Seusai berfoto, kami menyantap perbekalan yang telah kami bawa sembari terus berkomunikasi dengan tim wajib gunung yang berbeda jalur dengan kami. Tak lama tim dari Thekelan pun tiba, kami saling menyambut dengan bahagia. Dari Puncak Kentheng Songo kami beranjak menuju Puncak Triangulasi yang terletak tak jauh dari Puncak Kenteng Songo. Tak beda dengan apa yang kami lakukan di Puncak Kentheng Songo, moment istimewa ini pun tak luput kami abadikan.
Setelah merasa puas berfoto-foto, kami memutuskan untuk kembali turun menuju tenda mengingat hari telah beranjak siang.Selama perjalanan turun dari Puncak Triangulasi, kabut tebal kembali datang menyapa kami berdelapan.Saat kami turun, salah satu pendamping kami yakni Doy mempersilahkan kami turun terlebih dahulu.Kulangkahkan kaki menuruni undak-undakan tanah dengan hati-hati karena siang itu jarak pandang yang dapat kujangakau tidaklah panjang.Sempat beberapa kali kami berhenti dan berfoto dengan bunga-bunga edelweiss yang merekah sangat cantik.Hingga tibalah kami ke hamparan hijau luas dihiasi warna-warni tenda yang menandakan bahwa kami telah kembali menginjakkan kaki di Sabana 2 kembali.
Dari kejauhan tenda-tenda tersebut nampak seperti jamur-jamur kecil yang tumbuh subur di musim penghujan.Warnanya yang beraneka ragam turut menambah keindahan.Kupercepat langkah kakiku menghampiri tenda yang kemarin sore kami dirikan dibawah rintik-rintik hujan. Di dalam tenda terlihat Verent, Ilham, dan beberapa anggota tim flying basecamp nampak sedang asik bercakap-cakap tersenyum lebar menyambut kedatangan kami. Rasa lapar pun seolah tak terbendung lagi karena dihadapan kami telah berbaris piring-piring dan nesting berisi menu makan siang yang dengan baik hati dimasakkan oleh kedua pendamping kami tersebut.Nasi hangat, beberapa macam sayuran rebus, dan juga semangkuk bumbu pecel seolah melambai-lambai kepada perut kami yang mulai kerocongan. Setelah membagi lauk pauk sama rata kepada seluruh anggota tim, makan siang pun dimulai. Tak terbantahkan lagi bahwa benar apa yang biasa dikatakan oleh banyak pendaki bahwa makanan apapun yang disantap diatas gunung akan terasa lebih enak dari biasanya. Setelah puas menyantap nasi pecel dan tempe goreng, kini giliran semangkuk pudding mangga yang pagi tadi kubuat turut melambai pada perut kami yang masih saja ingin menyantap ini dan itu.
Usai bersantap siang, nampak rombongan pendaki yang sudah tak asing lagi bagi kami berjalan dari kejauhan.Mereka berjalan menuruni undak-undakan panjang dari arah puncak. Semakin dekat dan sapa bahagia pun saling terlontar kami dan mereka yang tak lain ialah kawan-kawan kami dari pendakian wajib gunung jalur lainnya. Sebagian nampak sibuk mempersiapkan perbekalan makan siang tim mereka dan sebagian lagi terlihat tertawa-tawa sambil bercerita ini itu pada lainnya. Sebagai bentuk penyambutan kami pada mereka, kami tawarkan pudding mangga milik kami.Istirahat singkat dan makan siang pun dirasa cukup. Kini saatnya kami mengabadikan moment ketika seluruh anggota tim pendakian dari empat jalur berbeda telah bertemu untuk berkumpul semua.
Kemudian, masing-masing dari kami menyibukkan diri membereskan seluruh peralatan camp dan logistik pribadi kami untuk dikemas kembali ke dalam carrier. Satu per satu tim yang telah selesai packing dipersilahkan untuk meninggalkan sabana 2 terlebih dahulu. Berhubung tim kami mendirikan 3 tenda, maka tim kamilah yang menjadi tim terakhir yang meninggalkan sabana 2 karena membutuhkan waktu untuk berkemas.
Seperti biasa, Lana kembali memimpin briefing pendakian turun menuju basecamp Selo. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah gulungan hitam yang tak lain adalah trash bag. Trash bag tersebut kemudian dibagikan satu per satu kepada masing-masing dari kami.Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi tugas pengabdian yang telah kami pilih yakni memungut dan membawa turun sampah-sampah yang tercecer di sekitar jalur pendakian. Setelah memimpin doa, tim kami pun bergegas meninggalkan sabana 2 disusul oleh tim flying basecamp.
Selama perjalanan turun tak sulit bagi kami untuk menemukan sampah mengingat jalur pendakian Selo merupakan jalur yang cukup ramai oleh pendaki.Hal ini dikarenakan jalur inilah yang paling dekat untuk menjangkau wilayah Sabana Gunung Merbabu yang terkenal dengan keindahan alamnya.Sore itu kabut kembali lagi menemani pendakian turun kami, sesekali gerimis juga turun namun syukurlah hal tersebut tidak mengganggu perjalanan kami. Di tengah perjalanan tim kami tiba-tiba Lana mengintruksikan supaya tim terbagi menjadi dua kloter. Hal ini dikarenakan sebagian dari kami mampu berjalan dengan cepat sedangkan sebagian kecil yang didominasi oleh perempuan tak mampu lebih cepat. Aku, Municha, dan Dita termasuk dalam kloter dua sore itu ditemani Lana sang koorlap yang sengaja memperlambat langkahnya agar dapat menjaga kami.
Tibalah saat kedua kloter pendakian itu bertemu. Melihat aku yang susah payah membawa carrier dan berjalan cukup lambat, Ilham salah satu pendamping kami pun menawarkan bantuan untuk membawakan carrierku agar memudahkanku berjalan. Meski sempat menolak, tawaran baik tersebut tak kubiarkan pergi mengingat semakin cepat aku berjalan, makin cepat pula sampai tujuan.Benar saja, pendakian turun sore itu menjadi lebih cepat.
Di penghujung jalur pendakian Selo yang tak jauh dari gerbang pendakian, nampak empat buah kayu yang tingginya tak jauh dari tinggi badan kami berdiri dengan atap buatan.Bentuknya mirip rumah kayu sederhana hanya saja tempat itu dipenuhi oleh sampah.Tak buang waktu kami pun segera melemparkan trash bag kami yang telah terisi sampah ke dalam tempat pembuangan tersebut.Setelah seluruh trash bag dibuang, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju basecamp Selo dengan beban yang tentunya sedikit lebih ringan.
Tibalah kami di depan sebuah rumah yang takasing lagi bagi kami. Kawan-kawan lain pun telah menunggu kedatangan kami di teras basecamp.Mereka melemparkan tawa dan ucapan selamat datang pada kami.Setelah berganti baju dan membereskan logistik ke dalam carrier, maka yang ditunggu-tunggu pun tiba. Salah satu kawan kami yang merupakan sie transportasi memberi kabar bahwa truk yang akan mengangkut rombongan pulang telah menunggu di ujung jalan. Truk tidak mampu memcapai basecamp Selo dikarenakan jalan yang cukup terjal dan sempit sehingga tak mungkin untuk dilalui. Satu-satunya cara untuk menjangkau keberadaan truk tersebut ialah dengan berjalan kaki. Carrier kembali kami bebankan di pundak dan mulai bejalan turun menuju tempat dimana truk tersebut parkir.
Kurang lebih dua puluh menit kami berjalan di bawah langit Selo yang mulai gelap.Setelah seluruh carrier dan logistic dinaikan dan ditata ke dalam truk, kini saatnya seluruh dari kami naik dan mengatur posisi agar dapat duduk dengan nyaman.Pintu belakang truk mulai ditutup dan perlahan truk mulai melaju meninggalkan kawasan Selo kembali menuju Yogyakarta.Selama perjalanan pulang, beberapa dari kami nampak pucat dan mual karena kondisi truk yang penuh sesak dengan manusia. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama saat lampu-lampu kota yang terang benderang serta suara-suara bising kendaraan khas kota besar mulai terdengar. Truk yang kami tumpangi telah memasuki kota Yogyakarta dan akhirnya tiba dengan selamat di halaman Sekre Mapagama N30.
0 Comments