Edukasi Kebencanaan Pada Wisatawan di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Yogyakarta.
Oleh : Anggita Swestiana D. (UGM Research Expedition I)
Pariwisata saat ini menjadi sektor utama bagi dunia global untuk pembangunan ekonomi. Namun, pariwisata merupakan sektor yang mudah terpengaruh oleh fenomena eksternal seperti bencana alam. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi industri pariwisata, khususnya di area Asia-Pasik seperti Indonesia yang memilki banyak gunung aktif sebagai destinasi wisata. Salah satunya adalah Desa Wisata Pentingsari di Daerah Istimewa Yogyakara. Desa ini terletak di Kawasan Rawan Bencana II Gunung Merapi. Sehingga, pariwisata di daerah ini terpengaruh dampak letusan merapi dan membutuhkan pendekatan khusus untuk mengurangi resiko dampak dari letusan Gunung Merapi disektor pariwisatanya salah satunya pemberian edukasi kepada wisatawan.
Penelitian ini akan menganalisis seberapa jauh edukasi mengenai kebencanaan yang diberikan pada wisatawan di Desa Wisata Pentingsari. Penelitian ini menggunakan basis teori kerangka manajemen resiko yang digagas oleh Bill Faulkner (2001). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan mewawancarai pemangku kepentingan disektor pariwisata Desa Wisata Pentingsari. Hasil dari penelitian ini berupa penjelasan mengenai seberapa jauh Desa Wisata Pentingsari telah memberikan edukasi mengenai kebencanaan pada wisatawan dengan basis kerangka manajemen resiko dalam pariwisata yang digagas oleh Faulkner.
Kata Kunci: Desa Wisata Pentingsari, Edukasi, Manajemen Resiko Bencana, Manajemen Resiko Bencana Pariwisata, Bill Faulkner, Gunung Merapi.
Sektor pariwisata adalah sektor penting yang menjadi salah satu kunci untuk pembangunan ekonomi di berbagai negara sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat (United Nation World of Tourism). Kontribusi sektor ini menghasilkan berbagai lapangan kerja, usaha, pembangunan infrastuktur dan pendapatan ekspor. Sehingga, tak mengherankan bahwa saat ini pariwisata menjadi sektor yang paling strategis untuk dikembangkan di berbagai negara. Walaupun begitu, Pariwisata memiliki faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangannya salah satunya adalah kebencanaan. Sektor ini merupakan sektor yang paling rentan terhadap ancaman bencana karena destinasi wisata pada umumnya adalah darah-daerah yang memiliki potensi alam seperti daerah pantai atau pegunungan yang rentan akan tsunami ataupun erupsi. (Cassedy; Okumus et al.; Pforr in Ritchie, 2009). Ritchie (2009) memberikan gagasan bahwa kenaikan angka kebencanaan dan krisis memiliki pengaruh besar terhadap industri pariwisata. Hal tersebut dianggap dapat menggangu pembangunan industri pariwisata dan stabilitas arus wisatawan. Tak hanya itu, karena multiplier effect yang dimiliki pariwisata, ketika terjadi bencana selain destinasi dan wisatawan, sektor-sektor lain yang menunjang pariwisata juga akan terkena dampak dari bencana tersebut. Hal ini tentunya dapat mengancam ekstistensi suatu destinasi wisata. Bencana kemudian menjadi tantangan yang besar bagi pembangunan industri pariwisata saat ini di berbagai Negara terutama di area Asia-Pasifik. (Hooper; Henderson; Lyon and Worton in Mistillis, 2006).
Salah satu Negara di Asia-Pasifik yang sedang mengembangkan industri pariwisata adalah Indonesia. Negara ini dikenal dengan berbagai destinasi wisata alam yang eksotis namun tetap lekat dengan aspek kebencanaan seperti gunung Merapi. Gunung berapi yang terletak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini dikenal sebagai ring of fire yang memiliki frekuensi erupsi yang tinggi (Yuwono,JSE,2012). Pada tanggal 26 Oktober dan 5 November 2010, Yogyakarta mengalami bencana besar yang disebabkan oleh erupsi merapi. Erupsi ini membuat kerugian pada sektor pariwisara di Yogyakarta sebesar Rp. 7, 484 triliun (Kompas, November 15, 2010). Meskipun begitu, pengalaman tersebut tidak membuat beberapa destinasi wisata untuk lebih waspada akan bahaya erupsi gunung Merapi.. Pada tahun 2014, walaupun status Merapi naik dari normal menjadi waspada, namun beberapa destinasi wisata di kawasan rawan bencana tetap dibuka[1]. Meskipun tidak tercatat adanya korban dari kalangan wisatawan, destinasi wisata di kawasan rawan bencana perlu untuk memperhatikan aspek keselamatan wisatawan. Melihat kondisi tersebut, tentunya dibutuhkan pengelolaan khusus untuk sektor pariwisata dengan tujuan mengurangi dampak dari bencana terhadap destinasi dan wisatawan.
Desa wisata saat ini menjadi destinasi wisata andalan di daerah sekitaran Gunung Merapi. Semenjak program Pariwisata Inti Rakyat dikembangkan oleh Kementrian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata pada tahun 2006, banyak bermunculan destinasi serupa. Pionir dari desa wisata di Yogyakarta salah satunya terletak di kawasan rawan bencana II yaitu Desa Wisata Pentingsari. Desa ini menggunakan konsep pariwisata keberlanjutan sebagai dasar pembentukannya yang selaras dengan manajemen kebencanaan sehingga dipilih sebagai objek penelitian. Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman dan Desa Wisata Pentingsari sebenarnya telah membuat usaha-usaha untuk mengurangi dampak bencana seperti pembuatan standard operation system, workshop, pelatihan, pengadaan alat-alat untuk emergency rescue dan juga menjalin system komunikasi dan kerjasama. Namun, aspek wisatawan kemudian tidak menjadi perhatian khusus dalam usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut. Menurut Faulkner (2001), wisatawan merupakan aspek yang paling rentan terhadap bencana dibanding dengan warga lokal atau pengelola di daerah tersebut karena wisatawan memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai lokasi dan memerlukan adaptasi untuk menghadapi fenomena yang tidak dapat diprediksi. Aspek keamanan wisatawan kemudian menjadi kunci yang menentukan apakah destinasi wisata tersebut masih dapat mempertahankan reputasinya setelah bencana terjadi. Penurunan jumlah wisatawan biasanya akan terjadi apabila tidak adanya pengelolaan bencana untuk mengurangi efek negative bencana. (Zhang in Mistillis, 2006). Sehingga menurut Faulkner (2001), Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak bencana terhadap wisatawan adalah memberikan edukasi mengenai kebencanaan khususnya kepada wisatawan dan pengelola.
Penelitian ini akan difokuskan pada aspek pemberian edukasi terhadap wisatawan dengan dasar kerangka manajemen bencana dalam pariwisata karya Faulkner (2001). Kerangka tersebut diambil sebagai landasan teori karena teori Faulkner memasukan aspek wisatawan sebagai pertimbangan dalam manajemen bencana di pariwisata, teori ini juga pernah digunakan oleh Ritchie (2009) dan Mistilis (2006) sebagai salah satu dasar teori mereka sehingga dapat dikatakan kerangka tersebut telah mumpuni sebagai sebuah dasar teori penelitian. Dalam kerangka Faulkner, manajemen bencana dibagi menjadi enam fase yaitu : 1) pre-event phase 2) prodromal phase 3) Emergency phase 4) Intermediate phase 5) Recovery phase and 6) Resolution phase. Pememberian edukasi kepada wisatawan dan pengelola terjadi pada fase pre-event. Pre-event adalah fase dimana mitigasi dan manjemen resiko terjadi. fase pre-event ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari bencana. Dalam fase pre-event terdapar unsur pemberian edukasi untuk aspek keamanan bagi wisatawan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan kerangka berpikir deduktif. hipotesa awal penelitian ini adalah desa wisata Pentingsari belum mengedukasi wisatawan mengenai kebencanaan gunung Merapi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana desa wisata pentingsari telah mengedukasi wisatawan tentang kebencanaan.
Pembahasan
Desa wisata Pentingsari terletak di daerah Umbulharjo, Kabupaten Sleman, 12.5 km dari puncak gunung Merapi dan termasuk kawasan rawan bencana II (BPPTKG, 2014). Dampak erupsi gunung Merapi di kawasan ini adalah hujan abu vulkanik, hujan batuan pijar, awan panas, aliran lahar vulkanik, dan gas beracun. Sehingga ketika bencana terjadi, evakuasi dibutuhkan secepatnya untuk menyelamatkan penduduk dari bahaya-bahaya tersebut. Meskipun begitu, hal itu tidak mengurangi jumlah wisatawan yang berkunjung di daerah ini. Tercatat antara tahun 2008-2016 terdapat 167.457 wisatawan domestik dan 1.664 wisatawan mancanegra berkunjung ke destinasi ini (Pentingsari,2016). Dengan tingkat kunjungan yang tinggi, Doto Yogantoro, ketua kelompok sadar wisata desa wisata Pentingsari mengatakan bahwa diperlukan usaha-usaha untuk mengurangi dampak bencana erupsi demi keberlanjutan industri pariwisata di desa ini.
Sebelum erupsi Merapi tahun 2010, pengelola desa wisata Pentingsari tidak memiliki kesadaran terhadap efek bencana terhadap pariwisata. Doto Yogantoro menyebutkan bahwa saat terjadi erupsi, terdapat 80 wisatawan yang mengambil paket live in selama 7 hari. Di hari pertama wisatawan datang, tour leader kelompok ini mendapatkan kabar dari orang tua wisatawan mengenai bencana Merapi yang tersiar di media. Sehingga, wisatawan panik dan pengelola memutuskan untuk mengabil tindakan-tindakan yang telah dipelajari sesuai dengan prosedur emergency rescue.
“Saat itu ada 80 orang, kami berusaha untuk mengamankan mereka (wisatawan) dahulu, baru kami. Karena kami memiliki tanggung jawab sebagai bisnis hospitalitas. Kita harus membuat mereka merasa aman dulu baru nanti kita-kita. Itu konsekuensi bekerja di industri wisata.”[2]
Pada saat sebelum evakuasi, wisatawan membuat tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan dan menghambat proses evakuasi seperti menangis, pingsan atau membuat keputusan yang tidak sesuai dengan prosedur emergency rescue. Hal tersebut membuat pengelola sadar bahwa proses emergency rescue wisatawan tidak sama dengan proses emergency rescue untuk warga sekitar desa wisata Pentingsari. Proses evakuasi kemudian dilakukan secepatnya ke Universitas Islam Indonesia (UII) yang terletak di Jalan Kaliurang.
“Ada beberapa turis yang mulai menangis atau pingsan waktu terjadi gempa bumi. Ada juga yang mengambil posisi pemimpin tanpa tahu prosedurnya. Itu kan hal yang ngga boleh karena mereka bukan pengelola”[3]
Semenjak kejadian tersebut, pengelola mulai bahwa mereka harus mempertimbangkan fenomena alam di sekitarnya. Desa wisata Pentingsari mulai mengikuti forum-forum kebencanaan dan bekerja sama dengan pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Usaha-usaha yang mereka lakukan meliputi : mengikuti berbagai forum komunikasi area gunung Merapi (e.g Forum Jalin Merapi), mengikuti workshop dan training yang diberikan pemerintah, dan membuat sistem koordinasi dengan kedua lembaga tersebut, serta mengedukasi warga, pengelola dan wisatawan.
“Awalnya kami tidak sadar kalau Pentingsari berada di kawasan rawan bencana. Yang kedua kami tidak punya pilihan untuk pergi (dari desa Pentingsari). Jadi, semenjak erupsi 2010 kami harus mulai berteman dengan bencana yang terjadi di sini.”[4]
Namun, dengan tidak adanya aktifitas vulkanis yang mengancam setelah tahun 2010, pemberian edukasi kepada wisatawan mulai tidak konsisten. Tidak semua wisatawan yang berkunjung mendapatkan pengetahuan mengenai kebencanaan. Hal tersebut dibuktikan ketika, Wafi, siswa SMA 1 Angkasa Jakarta ditanyai mengenai pengetahuannya akan kebencanaan. Wafi tidak mengerti bahwa Pentingsari terletak di kawasan rawan bencana gunung Merapi. Ia tidak mendapat pengetahuan bahwa desa tersebut mengalami bencana di tahun 2010. Ketika ditanya mengenai usaha penyelamatan diri, Wafi tidak mengerti prosedur yang harus ia lakukan. Hal yang serupa diungkapkan oleh dua siswi dari SMA N 8 Yogyakarta, Silvi dan Vira. Mereka hanya mengetahui informasi mengenai erupsi Merapi namun tidak mengetahui mengenai prosedur penyelamatan diri. Ketiganya mengakui bahwa diperlukan informasi mengenai hal tersebut, karena mereka tidak mendapatkannya baik dari pihak tour and travel, sekolah maupun desa wisata Pentingsari.
Berbeda dengan ketiga siswa SMA diatas, Kuntoro Adi, Mahasiswa UGM mengatakan bahwa ia mengetahui dasar-dasar penyelamatan diri karena ia pernah tertarik untuk mempelajari kebencanaan. Ia tidak mendapatkan informasi langsung sebagai wisatawan mengenai penyelamatan diri, tapi ia dapat mengaksesnya di Internet. Menurutnya, diperlukan informasi mendetail mengenai kebencaan namun tidak membuat wisatawan merasa terancam dan takut. Selanjutnya, wisatawan dari latar belakang umur yang lebih dewasa, Supeno, guru dari SMA 1 Angkasa Jakarta, menyadari ancaman dari gunung Merapi dan sepenuhnya mengetahui informasi mengenai kebencanaan dari berita dan pengalaman pribadi. Ia berpendapat bahwa sangat diperlukan informasi untuk wisatawan di setiap daerah rawan bencana mengenai penyelamatan diri terutama di destinasi yang pernah mengalami bencana dan telah memakan korban.
Faulkner (2001) memecah aspek edukasi menjadi beberapa hal yaitu edukasi mengenai lokasi, emergency rescue, evakuasi dan cara beradaptasi. Desa wisata Pentingsari mengedukasi wisatawan secara lisan dengan tidak menentu, sehingga tidak semua wisatawan mengetahui informasi mengenai penyelamatan diri. Selain itu, pengelola jarang memberikan edukasi mengenai emergency rescue, evakuasi dan cara beradaptasi. Desa wisata Pentingsari harus mengetahui bahwa wisatawan datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Tidak semua wisatawan memiliki kesadaran untuk mengakses informasi mengenai kebencanaan karena mereka berwisata untuk aktifitas leisure yang umumnya tidak memikirkan ancaman-ancaman yang terjadi di destinasi tersebut. Karena itu diperlukan usaha-usaha untuk mengedukasi wisatwan baik secara lisan maupun di media. Selain usaha-usaha dari pengelola, wisatawan juga harus mengedukasi diri mereka terlebih dahulu dan menyadari potensi fenomena yang tidak terduga di lokasi mereka berwisata, sehingga mempermudah pemberian edukasi dari pihak pengelola destinasi wisata.
[1] http://news.liputan6.com/read/2044151
[2] Interview with Doto Yogantoro, 15 November 2016 in Pentingsari Tourism Village
[3] Interview with Hendi Hidayat and Agus OG (tour guide of Pentingsari), 17 November 2016
[4] Interview with Doto Yogantoro, 15 November 2016 in Pentingsari Tourism Village
0 Comments