Oleh : Farah Aida Ilmiatul Kulsum

Photo by Ai

“Dibeli, dibeli! Sepuluh ribu tiga!”
“Mainan, mainan! Sayang anak, sayang anak!”
“Gantungan kunci! Bisa menyala, harga murah!”


Para pedagang berseragam biru bergantian menjajakan dagangannya kepada para penumpang yang telah duduk di atas kursi bus. Terhitung lebih dari 10 penjual dalam kurun waktu 20 menit yang berseliweran melewati saya. Siluet matahari sore menembus kaca bus dan memperlihatkan suasana bus yang masih sepi. Di antara penumpang yang dapat dihitung jari jumlahnya, saya dan seorang teman duduk dalam diam. Kami baru saja turun dari kereta di Stasiun Gubeng Surabaya lantas memesan moda transportasi online Grab guna membawa kami ke Terminal Purabaya, dan mendapati harus berjalan setengah kilometer untuk menaikinya. Adanya konflik antara pengemudi jasa online dengan konvensional yang tengah memanas di Kota Surabaya, membuat banyak calon penumpang harus berhati-hati saat memilih untuk menggunakan jasa transportasi online.
Ah, panas Surabaya masih tertinggal di ubun-ubun meski roda bus telah berjalan. AC bus menawarkan udara semilir dan saya pun dibawanya memasuki perjalanan anti gerah. Di luar bus, kemacetan menjadi hal yang lumrah. Terik tiada artinya dibandingkan dengan bunyi klakson yang silih berganti menandakan adanya penyerobotan jalan oleh pengguna kendaraan lain di jalanan. Sungai berwarna kecoklatan mengalir perlahan, kadang tersendat oleh sampah. Pepohonan yang ditanam di pinggir jalan memberikan keteduhan meski keberadaannya kerap tidak terlihat, terjepit oleh bangunan, tiang listrik, tiang baliho dan iklan yang ditempel sembarangan. Lepas dari itu semua, sekelumit perjalanan yang saya lihat menampilkan banyak ekspresi manusia. Ada yang menahan marah saat motor yang dikendarai terserempet becak yang tengah membawa tumpukan kayu sepanjang 4 meter. Ada pula yang terburu-buru dengan membonceng tiga anak kecil berseragam sekolah dasar di bangku motor. Ada juga yang tenang dan santai sembari menghisap rokok meski tengah mengemudikan truk bertonase besar. Waktu bergulir cepat dan senja menemani perjalanan kami melintasi Jembatan Suramadu. Selamat tinggal Surabaya, selamat datang di Madura.
Saya Farah Aida Ilmiatul Kulsum dan seorang teman Fahmi Arsyad adalah Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (MAPAGAMA), Yogyakarta. Kami berangkat menuju Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur dalam rangka Gladimadya Ambu Udan divisi Susur Gua di Ds. Batu Daya Putih, Ds. Dang Gedang, dan Ds. Badur, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur. Tepat pada 14 Februari 2018, saya kembali menginjakkan kaki di Sumenep. Sebagai tim advance yang bertugas untuk menyelesaikan perizinan baik di kecamatan maupun desa dan memastikan moda transportasi plus konsumsi selama berkegiatan di Madura aman, kami tiba terlebih dahulu. Empat anggota tim yang tersisa; Suryo Abdi Pangestu, Sonya Maharani, Eni Paryani dan Heni Ismawati akan tiba di Madura pada 15 Februari 2018.
Kami melangkahkan kaki turun dari bus di pertigaan Kalianget, tempat pemberhentian bus sebelum sampai di terminal. Tempat ini kerap dijadikan pemberhentian mengingat banyak becak, ojek dan penjemput menunggu di halte. Saya segera menelpon teman yang akan menjemput kami. Bulan purnama menemani perjalanan kami menembus jejalanan gelap tak berlampu dan rerumputan setinggi paha orang dewasa di kanan-kiri jalan. Suara deburan ombak terdengar jelas dari sisi kiri saya dan memang betul, sepanjang mata memandang hanyalah pantai dan ladang. Gelap malam menguasai.

Photo by Ai

Desa yang kami datangi terletak kurang lebih 20 kilometer dari Terminal Bus Kalianget. Sinyal cukup susah didapat dan terbatas di beberapa lokasi desa. Vendi dan Wahid orang yang menjemput kami tampak tampil santai dengan kaos pendek, kopyah hitam, bersarung dan bersandal. Saya menginjakkan kaki di sebuah kamar yang telah ditata rapi dengan satu karpet besar dan empat bantal. Kami segera menaruh barang bawaan dan duduk bersama Vendi dan Wahid. Malam itu, kami mendapatkan banyak cerita sekaligus petuah dan candaan lucu.
Mata saya mengerjap-ngerjap sembari memandangi atap kamar. Kruyuk.., kruyuk…, bunyi perut lapar mengindikasikan sudah saatnya saya harus bangun. Di samping saya, Fahmi masih tidur pulas. Sisa perjalanan kemarin masih tampak dalam bayang wajah kami, namun perut lapar harus diatasi. Setelah shalat dan mandi, saya berjalan keluar mencoba mencari warung. Banyak orang melintasi saya dengan tatap tanya dan tersenyum, saya hanya balas tersenyum. Jalanan aspal memperlihatkan kontur tanah yang naik turun. Selama berkegiatan di sini, kami tinggal di rumah Pak Kalibun Harno, sebutan untuk kepala desa. Sekitar 100 meter berjalan dari rumah beliau, sebuah bangunan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Muqtashid berdiri. Anak-anak laki-laki berseragam pramuka ramai bermain kelereng. Sedang anak-anak perempuan duduk di dekat satu-satunya kantin milik seorang nenek, yang dikemudian hari baru saya tahu namanya, Nenek Maida, neneknya si Wahid. Kaki saya terus berjalan menuju warung dan membeli air galon, dan mendapati fakta tidak ada warung makan di desa ini. Setelah dibantu seorang bocah untuk berbicara dengan Nenek Maida yang tidak dapat berbahasa Indonesia, saya akhirnya membeli beberapa bungkus nasi kepal dan kerupuk.
Kami kembali bertemu Wahid setelah makan, ia sepertinya cemas dengan batuk yang saya bawa dari Jogja. “Apakah kamu sakit?” Saya hanya membalasnya dengan tersenyum dan bertanya mengenai letak kantor kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari rumah Pak Kalibun.
Letak kecamatan kira-kira 5 (lima) kilometer dari rumah, begitu pula pasar terdekat, Pasar Batuputih yang berjarak sekitar 7 (tujuh) kilometer. Jika hendak ke pasar, alangkah baiknya datang pada shubuh hingga pagi hari karena stok barang dagangan seperti sayuran terbatas dan akan habis saat siang hari. Juga, persiapkan untuk membawa uang tunai rupiah jumlah kecil seperti seribu hingga sepuluh ribu agar proses jual beli mudah. Bahasa Indonesia telah dipahami oleh sebagian pedagang berusia di bawah empat puluh tahun dan bagi mereka yang pernah bersekolah minimal di bangku madrasah, sedang bagi yang tua mayoritas tidak mengerti bahasa Indonesia.
Kedatangan tim kloter dua tiba saat malam hari. Saya dan Fahmi menjemput mereka menggunakan moda transportasi bernama stasen, bentuknya seperti angkutan umum len. Pemiliknya adalah seorang lelaki berusia tiga puluh tahun-an beranak satu. “Di desa, cuma ada dua saja stasen macam ini. Alhamdulillah, rejeki saya lancar meski usia stasen sudah tua,” saya mengangguk-angguk sembari mendengarkan cerita Bapak yang saya lupa namanya. Setelah menunggu sekitar satu jam dan memandangi bus yang datang silih berganti di pertigaan Kalianget, terlihat empat orang turun bersama tas gunung dan satu tas daffel. Stasen dinyalakan dan kami semua dibawanya menuju rumah Pak Kalibun. Tawa seketika membahana dan satu persatu akhirnya terlelap setelah sampai di kamar.
“Yo mandi, ennnn…,” saya melihat seorang ibu tengah menyuruh anaknya untuk ikut mandi bersamanya. Juga para Ibu dan Bapak yang tengah memasukkan jagung ke dalam karung karena acara 1000 hari selametan akan dimulai siang nanti sesudah shalat Jumat. Kemarin, para ibu memasak kue bersama-sama. Riuh rendah suara berbahasa madura silih berganti masuk ke telinga saya. Sayangnya saya tidak dapat membantu – saya tertidur pulas di kamar setelah mengurus perizinan di kecamatan. Jagung adalah salah satu produk ladang utama di sini. Bentuknya lebih kecil daripada jagung yang kerap dijumpai di pertanian subur di Yogyakarta. Lingkungan tanah yang berbatu dan minim sumber air serta panas terik sepanjang hari, membuat warga harus berusaha keras untuk berladang.
Saya, Isma, Sonya dan Eni bertugas untuk membantu warga dan Suryo akan berangkat untuk observasi kawasan bersama Fahmi dengan menaiki motor. Sejak pagi, tenda telah didirikan dan para ibu serta gadis juga anak-anak yang masih menjadi sanak famili keluarga yang berduka datang ke Tanian Lanjheng Bapak Kalibun Harno. Tanian Lanjheng adalah sebutan bagi tanah keluarga, di mana satu keturunan yang sama akan tinggal di satu tanah yang sama, sehingga melahirkan lingkungan kekeluargaan yang erat dan baik bagi pertumbuhan, kebudayaan dan citarasa keluarga anak-anak. Kami pun akhirnya membantu para Ibu di rumah yang disulap menjadi tempat aneka macam kue. Anak-anak ikut membantu dengan mengangkat kotak jajanan untuk didistribusikan keluar rumah. Di antara para wanita, memakai perhiasan emas cukup banyak adalah simbol kemakmuran. Meski berkerudung, kalung emas menjuntai keluar dan gelang-gelang emas berukuran besar akan bergemerincing saat tangan penggunanya bergerak. Cing.., cing….
Suryo dan Fahmi terus menyusuri jejalanan aspal dan berbelok searah tanda panah di gps. Aspal pun berganti jalan desa berupa batu gamping putih yang panjangnya mengular hingga tiada lagi jalanan. Selaksa ular putih – memantulkan cahaya silau saat sinar matahari siang mengenai kulitnya. Pemandangan selain perbukitan dan ladang adalah lokasi tambang batu bata gamping yang dilakukan secara tradisional, yakni dengan menyekop lapisan batu gamping. Setelah sumberdaya habis, lokasi penambangan dibiarkan begitu saja. Memperlihatkan bukit yang terluka dengan luka menganga dan tetumbuhan yang tumbuh di pinggir lokasi galian. Mirisnya, penambangan tidak hanya dilakukan oleh tim namun juga individu yang akan membangun rumah. Dengan kualitas batu gamping terbaik di Madura, lahirlah nama Batuputih – yang berarti batu yang putih atau secara umum disebut batu gamping. Deburan ombak terus mengikis garis pantai yang kerap langsung berhadapan dengan tanah humus. Motor yang ditunggangi berjalan cepat melintasi jejalanan dan kembali menuju rumah. Hari telah sore dan acara selametan telah selesai. Kami kembali berkumpul untuk makan malam dan dilanjutkan dengan evaluasi dan briefing.

Photo by Suryo

“Viva Mapagama! so! so! so!” Kami meneriakkannya dengan bersemangat dan mulai bergerak menuju pick up yang akan membawa kami menuju titik yang akan dituju. Karakterisasi kawasan dilakukan dengan berjalan menyisiri perbukitan menuju lokasi yang telah ditandai di peta. Pick up menurunkan kami di titik tengah antara tim A dan B. Sinar terik menyengat dan kami mulai bergerak dengan dituntun gps dan insting. Saya, mendata karakterisasi kawasan ke arah barat bersama Eni dan Fahmi. Sisanya, Suryo, Sonya dan Isma berjalan menuju arah timur. Kombinasi bukit berbatu, lembah kering dan bentukan sungai intermetten membantu saya dan Eni dalam pendataan. Tepat pada pukul dua belas siang, kedua tim bertemu di atas pick up. Empat titik masih menunggu untuk didatangi. Menariknya, satu-satunya mata air di antara tiga desa observasi; Ds. Batuputih Daya, Ds. Dang Gedang dan Ds. Badur hanyalah di Ds. Badur. Air membuncah jernih dan dimanfaatkan oleh warga sebagai air sumber. Di hari yang panas, anak-anak berenang di salah satu bilik yang dibangun di atas sumber air. Di belakang bilik, sebuah sungai mengalir dan bermuara di laut. Tidak jauh dari sumber pertama, mata air muncul ke permukaan namun memiliki debit lebih kecil. Seorang nenek tengah mencuci baju saat saya dan eni datang untuk mengecek ph air. Ah, tanpa disadari tangan saya menepuk-nepuk muka air. Kami bergerak pulang dan melewati ladang, kembali bertemu para bapak dan ibu yang bergerak pulang dengan membawa serta kedua sapi yang lehernya dikaitkan dengan Pangunung. Pangunung adalah alat pembajak yang memiliki sebuah belalai sebagai pegangan tangan. Para ibu berjalan cepat sembari menyunggi satu karung di atas kepalanya. Pick up berjalan cepat.
Selama perjalanan, saya melihat banyak orang tua yang sedang memanen hasil ladang kacang tanah. Para ibu menyunggi satu karung di atas kepala dan berjalan pulang. Bagi yang memiliki pick up, hasil ladang akan diangkut di atasnya. Bersama kami, sesepuh di Tanian Lanjheng Pak Kalibun menumpang untuk pulang dengan membawa satu karung kacang. Wajah mereka tampak tua namun berseri-seri dan cahaya sore menerpa kepala-kepala kami yang bergoyangan saat mobil melewati kelokan jejalanan
Saya memanggul tas anti air dan tripod di pundak. Hari masih pagi saat kami memulai pemetaan di Gua Lawang. Gua ini terletak tidak jauh dari jalan raya dan berbentuk seperti kepala jamur dengan banyak chamber di dalamnya. Tipikal gua pesisir atau dikenal dengan flank marginal cave menurut J.R. Mylroie dan J.E. Mylroie dalam karya ilmiah berjudul Development of the carbonate island karst model, yakni the largest caves in carbonate islands as being the result of mixing zone dissolution in the distal margin of the fresh-water lens, under the flank of the enclosing land mass. Indikasi adanya bentukan gua horizontal dan tidak memiliki lorong yang panjang menjadi gambaran banyak gua pesisir di pulau karbonat, seperti di wilayah Batuputih, Pulau Madura Provinsi Jawa Timur.
“Dulu orang bilang kalua gua ini memanjang sampai pantai di Badur, tapi saya juga tidak berani masuk. Gelap dan ada kelelawar,” sebelum kami memasuki gua, Wahid bercerita atas mitos dan cerita mistis Gua Lawang. Wajahnya enggan untuk masuk dan dengan ekspresi lebih baik menunggu di luar. Gua ini memiliki banyak kelelawar yang tinggal berkoloni dan berterbangan saat kami menyoroti mereka dengan cahaya. Para semut juga membangun istananya di salah satu sisi chamber, membuat kami harus berhati-hati saat menginjakkan kaki di lantai gua. Saya pun mendapati dua entrance yang ditutup dengan batu gamping. Berdasarkan cerita, orang terdahulu di desa kerap melakukan I’tikaf di dalam gua hingga empat puluh hari lamanya. Salah satu entrance saya buka dan kami mendapati diri sudah berada di sisi lain bukit yang atasnya ditumbuhi tumbuhan kaktus.
“Bukan hanya Gua Lawang, semua gua di sini (Kecamatan Batuputih) sudah melahirkan banyak kesimpang-siuran cerita. Takut tapi penasaran, hehe” Saya memandangi teman saya itu, Wahid dan Vendi. Meskipun takut, mereka penasaran dengan apa yang ada di dalam gua perasaan yang juga dimiliki oleh banyak warga desa, terlebih dengan kedatangan kami di desa. Saya dan kawan-kawan pun segera memulai pemetaan yang berlangsung cepat dan selesai pada waktu makan siang. Kami melanjutkan untuk mengeksplorasi sekitar gua bersama dua warga desa yang telah kami bekali dengan peralatan survey; helm dan lampu.
Setengah anggota tim melanjutkan untuk survey gua Ghangen yang dalam bahasa Indonesia berarti daun kelor, dan sisanya menunggu di mobil pick up. Hari telah sore namun cahaya matahari masih terik. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Pakpakpak.., burung merpati yang tengah diadu terbang saling mengepak dan adu cepat menuju para betina yang menunggu di ujung lintasan. Para lelaki tampak berseragam dengan kaos yang penuh sablon sponsor tiap tim. Setiap minggu, mereka kerap ikut lomba adu terbang burung melati dan mendapat hadiah yang langsung diberikan oleh Mas Vendi selaku sekretaris Desa Batuputih Daya.
“Aku, ibadah di kota dulu ya!” Sonya berangkat bersama Fahmi menuju satu-satunya gereja di Kota Sumenep setelah berganti pakaian. Mayoritas pemeluk agama di sini adalah Islam. Sama halnya dengan banyaknya sekolah berbasis madrasah baik di kota maupun desa. Bahkan, sekolah dasar yang dibangun pemerintah di desa terancam akan ditutup karena para orangtua calon murid memilih untuk menyekolahkan anaknya di madrasah, ungkap Tut, salah satu anak yang telah menikah di usia dini sebab tidak melanjutkan sekolah di tingkat SMA atau setara dengan Madrasah Aliyah.

Photo by Ai

Gua kedua yang kami datangi adalah sebuah gua yang berlokasi di atas bukit berbatu. “Antheng.., ya Antheng,” ucap salah seorang bapak yang menjadi penunjuk arah menuju mulut gua. Kami tidak datang sendiri, banyak dari warga desa yang ikut naik bersama kami atau menyusul naik saat kami sudah di mulut gua. Bebatuan yang cukup tajam untuk membuat kulit tanpa penutup tergores membuat kami harus berhati-hati saat berjalan naik setengah memanjat. Kami sampai di sebuah kekar dan menawarkan sebuah celah berkedalaman sepuluh meter yang dilalui dengan tali oleh Suryo dan Eni. Kami pun bergerak turun karena Gua Antheng tidak berpotensial untuk dipetakan dan segera menuju titik ketiga, Gua Kandang. Bersama Pak Safi’i dan temannya, kami berjalan sekitar 400 meter. Tiada korelasi antara kandang dengan gua yang memiliki entrance setinggi lima meter. Hanya ada sekawanan monyet yang menggantung di atas pohon. Saya bertugas menjadi sketcher dan Suryo sebagai leader segera memulai pemetaan. Gua dengan dua lorong ini adalah bentuk sesar dan di beberapa titik terdapat stalagtit. Di luar gua, Isma menunggu kami hingga pemetaan selesai.
Saya berjalan beriringan dengan kawan-kawan menuju pick up. Jalanan desa tampak lengang dan hanya ada beberapa hewan ternak seperti sapi dan kambing yang kami temui. Pick up datang setelah lima belas menit menunggu. Udara segar menerpa kami dengan halus. Rambut sonya berterbangan tertampar angin dan saya sibuk dalam pikiran – bahwa, hari-hari berjalan cepat dan semakin banyak yang saya ketahui tentang desa membuat saya mendapat banyak pandangan baru akan kehidupan di desa Batuputih Daya.
Gua terakhir yang kami petakan berada tidak jauh dari rumah, sekitar lima belas menit perjalanan dengan mobil lalu dilanjutkan dengan berjalan menuju mulut gua yang berada di antara bebatuan dan ladang jagung. Gua Sarukin memiliki banyak ornament aktif seperti stalaktit dan stalagmit, juga kami menemukan pilar, curtain, shark teeth, dan flowstone berukuran besar. Miris, banyak vandalisme yang kami temukan.
“Itu (Ornamen) dijual hingga satu juta lebih namun harga di Jakarta sampai puluhan juta, ” Wahid bercerita mengenai aksi yang dilakukan entah oleh siapa. Saya menerawang, mungkin saja jika aksi tersebut tidak dilakukan mungkin harumnya tetap akan dijual. Dengan cara dan kondisi yang berbeda. Kami pulang menjelang sore. Langit cerah tak berawan dan tidak terasa waktu bergulir cepat.

Photo by Ai

“Kakak besok sudah kembali ke Jogja, ya?” Tut bertanya dengan mata ingin tahu. Saya mengangguk pelan. Tut telah menikah sejak ia dinyatakan lulus dari bangku Madrasah Diniyah atau setara SMP. Letak SMP yang cukup jauh dan membutuhkan banyak uang untuk bersekolah, menjadi faktor utama selain kemalasan yang Tut rasakan saat belajar di kelas. Dia menikah dengan seorang keluarga dekat dan bercerai setahun kemudian.
“Kakak, jangan lupakan Tut ya! Juga kami semua di sini…” Saya membalasnya dengan tersenyum. Tut suka bercerita dan menggendong Eni, seorang balita anak pamannya. Rambutnya kerap digerai panjang dan dikuncir. Bukan hanya Tut yang menikah dini di desa, beberapa anak berusia di atas lima belas tahun juga sudah menikah. Lebih baik menikah dini daripada berzina, ungkap para tetua desa. “Makanya, merantau saja haha!” ungkap Wahid jika tidak ingin dinikahkan dini.
Saya dan kawan-kawan menghabiskan hari terakhir dengan karakterisasi kawasan. Tim dibagi menjadi tiga, saya dan Fahmi, Sonya dan Isma, dan Suryo bersama Eni. Kami mendatangi tujuh titik. Saya dan Fahmi menaiki motor dan mulai bergerak menuju empat titik yang terletak berdekatan dalam satu lembah kering. Menariknya, selama berkendara saya melihat banyak lading hingga ke lokasi yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau memaksa motor melewati jalan setapak di pinggir ladang. Seorang Bapak tampak menarik dua sapinya dengan alat bernama Pangunung, sebuah alat kayu dengan ragam hias Madura. Hari makin terik. Tim dua dan tiga menyelesaikan karakterisasi tiga titik dengan cepat dan melanjutkan untuk mendatangi Gua Bakar. Sebuah cerukan berukuran besar dengan banyak ditemukannya bekas dinding terbakar.
Malam hari kami habiskan dengan presentasi hasil setelah berkemas untuk kembali ke Yogyakarta. Bintang-bintang terlihat jauh namun berkelip-kelip. Saya menghela napas, akhirnya kami pulang. Selamat tinggal Cak Kosim! Saya masih juga tidak dapat merasakan sate Madura – tidak ada yang berjualan sate rupanya.

Tim Gladimadya Caving

– Gladimula XXXIII –


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.