Kami yang di bawah tertawa. Saat itu hari Sabtu, minggu terakhir bulan Mei 2010, saya dan teman-teman seangkatan memanjat tebing Pancasila di Parangndog, Girijati, Purwosari, Gunung Kidul (daerah selatan Yogyakarta). Berangkat dari Aquarium (sekretariat) Mapagama di Gelanggang hari Jumat sore, 1 jam kemudian rombongan pertama sudah sampai di basecamp (pendopo Yu Maryati) dan menikmati sore di landasan. Kami menginap di vango.

Pagi sekali kami bangun dan berangkat menuju tebing, meninggalkan vango di Pendopo Yu Mar bersama Ical yang bertugas jaga. Kami, angkatan Badai Lawu, calon anggota muda MAPAGAMA nan cantik dan ganteng, sedang asyik menonton Incem dan Soni (Haystack) membuka jalur untuk kami panjat ketika tiba-tiba Incem melihat si gecko dan berteriak.

Ia mengambil tokek di sela tebing karst itu dan melemparkannya begitu saja.

“Tokek fall!!” seru seseorang. Kami semua tertawa geli menyaksikan tokek yang malang itu jatuh ke tanah.

Waktu itu saya belum begitu mengerti tentang panjat-memanjat (sampai sekarang juga gak ngerti-ngerti juga sih). Bergilliran, kami yang berjumlah 20 orang  menjajal salah satu dari tiga jalur yang ada. Kami mencoba memanjat sampai ke stasiun 1, stasiun kesepakatan. Hari Sabtu kami mencoba memanjat biasa (leader-belayer), sedangkan hari Minggu kami mencoba self belay.

Yudha sempat ogah-ogahan memasang instalasi leader-nya karena dia tidak begitu suka dengan kegiatan panjat tebing ini. Dengan gombalan ala kadarnya dia mencoba merayu saya agar membebaskannya dari kegiatan panjat-memanjat. Saya sebagai koorlap kali ini memaksanya sampai dia akhirnya mau juga mencoba memanjat di crack besar—dengan berat hati. Sebaliknya teman-teman lain yang memanjat di jalur paling timur bersemangat sampai ke puncak pitch 1 alias puncak kesepakatan kami. Diwarnai dengan teriakan-teriakan dan (seperti biasa) sumpah serapah ala wong Jowo, Tebing Pancasila menjadi ramai seharian.

Acara kami sempat dihentikan oleh hujan sebentar. Kami berteduh di bawah tebing, di bawah ponco, dan ada pula yang di bawah matras—sampai kegiatan panjat-memanjat dimulai lagi. Samid yang paling jago memanjat di antara anak-anak baru sempat menyerah di tengah jalan saat pertama memanjat. Namun akhirnya semua bisa mencapai runner terakhir lintasan masing-masing.

Selain kami ada pula anak-anak Palapsi dan beberapa OPA (Organisasi Pencinta Alam) lain yang menghabiskan akhir pekan itu untuk menjamahi lintasan-lintasan di jajaran tebing parangndog. Bukan karena sedang jomblo, tetapi karena tebing ini memang pas sekali untuk latihan memanjat sambil bersenang-senang menikmati udara pesisir, dan melihat gulungan ombak laut selatan laut nun jauh di sana (sampai beberapa meter aja udah oke pemandangannya).

Di sela-sela pemanjatan, kami sempat menyaksikan penggiat olahraga paralayang terbang di atas tebing selama beberapa saat.

“Heei..heei..,” teriak kami pada si atlet paralayang, memecah kesunyian, sambil melambai-lambai. Po yo krungu!


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.