Aku merekam momen ketika kami berdelapan disambut bapa kepala kampung dengan prosesi pembasuhan air, sebelum akhirnya saya menjadi yang terakhir dibasuh air oleh seorang mama yang membawa jug air baru dari belakang. Kami baru saja menginjakkan kaki di Kampung Sawendui, sebuah kampung terletak secara administratif di Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Itu pun setelah kami melewati lebih dari delapan jam perjalanan darat, empat jam perjalanan udara (belum termasuk delay, hal paling menyebalkan), serta 14 jam terombang-ambing di laut. Sejak awal, kami berdelapan memang menyadari betapa jauhnya perjalanan nanti. Namun ketika telah merasakan sendiri, perlahan aku menyadari betapa jawasentrisnya paradigmaku selama ini, bahwa arti ‘jalan aspal yang bagus’ di tempat asalku tidaklah sama dengan arti yang penduduk daerah ini amini.
Perihal latar belakang perjalanan kami, sebenarnya bukan dadakan, apalagi jangan-panik-mari-piknik semata. Sejak delapan bulan yang lalu, gagasan perihal kegiatan ekspedisi berikutnya mulai digarap dengan lebih serius. Dua bulan setelahnya, tim UGM Research Expedition V terbentuk dengan delapan orang anggota sebagai keputusan final. Mulanya, kami bertujuan meneliti penyu belimbing (Dermochelys coriacea) di Tambrauw, Papua Barat. Sayang, timing kami kurang pas dengan kebiasaan hewan langka tersebut di area pesisir pantai, sehingga kami harus mencari objek lain. Burung cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor) akhirnya menjadi pilihan kedua yang kemudian mengantar kami berkenalan dengan Kepulauan Yapen. Merealisasikan pilihan kedua tidak lantas membikin rasa sesal sedikitpun hingga akhir.
Kedatangan kami pada tanggal 20 Oktober 2021 disambut dengan baik. Pisang goreng dan teh panas menjadi teman pembuka dari masyarakat Sawendui. Sembari makan, saya mencoba memperkirakan bagaimana cara pisang goreng ini dibuat, karena ia krispi dan minim rembesan minyak. Setelah semalaman berkumpul dan bercerita mengenai tujuan kami kepada masyarakat, kami masuk ke hutan pada keesokan harinya.
Menjadi bagian dari sebuah ekspedisi yang membawa penelitian bidang biologi dan pariwisata, aku yang merupakan anak sastra asing, belajar dari nol. Baik teori maupun teknis lapangan dari analisis vegetasi, diagram profil hutan, pengamatan burung, hingga pemahaman mengenai potensi objek daya tarik wisata alam. Selain itu, selama lebih dari dua minggu kami hidup bersama masyarakat Sawendui, aku mempelajari berbagai hal baru.
Misalnya, bahwa setiap hal dapur dan rumah tangga dikerjakan oleh para mama, sementara para bapa mencari nafkah dan menjadi Bob The Builder dalam keluarga mereka. Mama Ice, mama yang membasuh mukaku, adalah penanggung jawab dapur di basecamp area homestay kami tinggal. Setiap pagi, beliau dibantu oleh Mama Emma, Mama Vero, dan Mama Simon untuk mengurus perut kosong para bapa dan kami. Mama Ice berusia lebih dari setengah abad dan ia bekerja untuk LSM bidang lingkungan selama beberapa tahun belakangan ini. Mama Ice biasanya ditemani oleh Mama Simon yang memang tinggal di kamar bawah homestay dan merawat bangunan ini, baik ketika ada tamu maupun tidak. Sementara itu, dua mama yang lain hanya datang ke area homestay ketika sedang ada rombongan tamu, seperti kami saat ini. Rumah keluarga kecil mereka terletak di pusat Perkampungan Sawendui, berjarak 30 menit jika ditempuh dengan speedboat.
Beberapa hari pertama, aku merasakan pembagian peran kerja yang terang-terangan mengamini peran gender tradisional itu. Aku dan dua teman perempuanku diajak para mama ke perkampungan suatu hari, persis seperti ajakan girls day out, namun bedanya adalah kami mengambil bahan makanan, bukannya hang out. Kami disambut kembali oleh kelima teman laki-laki dengan cibiran bercanda, “Cie, yang habis girls day out! Yaudah besok kita boys day out sama bapa-bapa ke hutan yuk guys!”. Lalu lusanya, mereka mulai menjalin keakraban dengan para bapa dan beberapa kali ikut bermain kartu di gazebo tepi pantai pada malam hari.
Menjadi perempuan, kami bertiga lebih sering diajak berperan di dapur dibandingkan teman-teman lelaki kami. Namun, demi menghindari cara berpikir yang sangat gender-based, kami sepakat untuk membagi dengan adil jadwal piket dapur dan bersih-bersih kamar, meskipun dalam praktiknya kadang terlihat kentara perbedaan hasil pekerjaannya. Setelah seminggu terlewati, aku merasakan bahwa pembagian kerja masyarakat di sini memanglah gender-based, namun tidak semua mama lantas bergantung sepenuhnya dengan hasil sang suami. Bapa Wempy di suatu kesempatan bercerita mengenai istrinya, Mama Emma, yang terkadang membuka kios tembakau dan rokok di rumah mereka. Modalnya didapatkan dari pengelolaan hasil melaut Bapa Wempy. Aku pun mengamati Mama Ice, yang lebih memilih masuk ke hutan mencari sayur yang akan ia masak dibandingkan menunggu bapa-bapa melaut.
Ketika kami ingin membantu para mama di dapur, mereka lebih suka kami mengerjakan pekerjaan ringan karena takut kelelahan setelah ambil data, katanya. Aku dapat melihat sorot semangat mereka setiap kali tinggal di gubuk sederhana ini. Peradaban para perempuan terjadi di sini, bersama dengan anak-anak mereka. Mereka meniriskan sayur sembari berdiskusi ringan, melempar canda. Meskipun dialek bahasa terkadang menjadi rintangan, mereka akan memahamiku dan kami akan menertawai hal ini.
Para mama mengerjakan hal dapur karena mereka dibesarkan dengan cara pandang bahwa perempuan memang akan ditakdirkan demikian dan bukan melaut. Namun, mereka memiliki pemikiran yang sama, bahwa mereka manusia Tuhan yang mampu melakukan hal-hal di luar keahlian mereka, jika memang perlu. Konstruksi peran gender nyata di sini, namun di sisi lain, mereka tidak terlalu peduli dengan gender apa mengerjakan apa.
Hal-hal tersebut kusadari di speedboat yang membawa kami kembali ke Yobi, detik-detik perpisahan kami dengan mereka setelah tiga minggu hidup beriringan. Acara Yospan malam tadi merupakan sebuah see-you-when-I-see-you sign terindah dalam hidup kami. Melihat para mama makin mengecil dan para bapa bak berjalan di atas laut untuk mengawal kami agar tak tersapu ombak besar Laut Pasifik, kami pergi dengan haru dan memori kam pu acara menari bersama semalaman suntuk ee.
0 Comments