Saat sang surya mulai menggantikan malam, terlihat dari balkon kamar seolah matahari berbisik di ujung bukit. Ya, 9 Agustus 2023 menjadi hari yang kami nanti-nanti. Today is our day, pukul 05.00 pagi Syella dan Zidan sudah harus memasak untuk tim sarapan pagi sebelum pengarungan. Menu pagi itu sop, mie, dan ikan bolu-bolu. Sembari memasak, Azra, Benil, dan Lukman turun ke bibir sungai untuk mempersiapkan logistik pengarungan. Setelah hari menunjukkan pukul 08.00 pagi, kami bersama-sama turun dengan jalan kaki ke bibir sungai dengan berjalan kaki dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Pengarungan diawali dengan doa bersama, pengarungan ini dilakukan oleh 2 perahu dengan river running system. Perahu 1 diisi oleh Lukman, Bang Grade, Bang Drybag, dan Bang Kebo. Sayangnya, salah satu Jeram terbesar di sungai Mai’ting, yakni Jeram kedua tidak bisa kami lewati karena terdapat strainer (batang pohon) yang sangat besar menutupi jalur pengarungan yang mengharuskan kami untuk me linning perahu kea rah hilir. Sepanjang jalur pengarungan kami disuguhi pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Tebing-tebing dengan air terjun dan hamparan pasir putih di tepi sungai. Ada salah satu Jeram unik yang kami lewati, yaitu Jeram tabrak. Dimana perahu kami harus menabrakkan ke tebing terlebih dahulu supaya terpental dan mendapat momentum untuk perahu berbelok ke arah kiri, kemudian terdapat drop-dropan yang cukup dalam, dan tak jauh setelahnya disusul Jeram yang bertubi-tubi. Cukup menguras tenaga, namun disitu sensasi yang belum pernah kami dapat sebelumnya. Tak jauh setelah itu, jeram berikutnya siap menyambut kami. Dari kejauhan sudah terlihat batu yang sangat besar seolah menjadi gerbang selamat datang bagi kami. Benar saja, sambutan oleh Sungai Mai’ting itu dijawab oleh Benil yang terlempar dari perahu. Byur, blubuk-blubuk. Tak lama setelah Benil muncul ke permukaan, Zidan sesegera mungkin membantu merescue Benil untuk kembali naik ke atas perahu. Masih dengan keindahan Sungai Mai’ting, kami disuguhkan dengan air terjun di sisi kanan, untuk sekedar mengabadikan momen untuk berfoto dan beristirahat selama 5 menit, tim melanjutkan pengarungan, melewati jeram-jeram selanjutnya, ketika kami berada di antara tingginya tebing muncul juga hewan dari hulu dengan cepat terbang ke arah hilir. Burung? Bukan, itu adalah bebek liar yang tinggal di Sungai Mai’ting, hingga pada akhirnya kami sampai di air terjun terakhir. Ada hal tak terduga terjadi di sini, saat itu perahu tim gladimadya ada di posisi depan, kami terlalu sibuk menikmati air terjun dan kebingungan akan memberhentikan perahu dimana, akhirnya perahu kami menyangkut tepat di tengah-tengah sebuah boulder besar setelah air terjun, air yang cukup deras mampu membuat perahu kami hampir terbalik. Situasi ini dinamakan wrapping. Sebelum perahu terbalik helm cadangan yang ada di perahu lebih dulu mengarung sendirian meninggalkan kami semua, akhirnya aku dan Benil dengan segera melompat ke air dan berenang untuk mengejar helm cadangan yang kami bawa. Karena beban yang ada di perahu berkurang hampir 50%, perahu berhasil kembali ke posisi semula dan tidak jadi terbalik. Perahu Lukman, Bang Grade, Drybag, dan Kebo segera menyusul dengan jalur yang berbeda dan menghampiriku dan Benil yang ada di air untuk segera melakukan rescue. Ini adalah pengalaman pertama tim kami terjadi wrapping, apresiasi untuk teman-teman karena dengan sangat tenang menanggapi kejadian ini.
Sudah hampir separuh perjalanan, pukul 13.00 siang tim beristirahat dan menyantap snack siang, diselingi dengan candaan hangat di siang yang dingin hari itu. 15 menit berlalu, tim kembali melakukan pengarungan, sebelum finish kami diajak oleh teman-teman Mahakripa yang menemani pengarungan tim pada hari itu untuk menepi di sebuah batu dengan tinggi kurang lebih 10 meter. Kami diajaknya melompat ke air dari atas batu itu. Saat lompatan pertamaku mungkin ada 1001 rasa yang terjadi saat itu juga. Excited, penasaran, takut, ragu, cemas, dan masih ada 996 rasa lain yang mungkin tidak bisa terpaparkan. Selesai bermain air bersama batu itu kami melanjutkan pengarungan hingga sampai di sebuah point, dimana di tepi sungai itu seperti padang batu beserta susunan bebatuan sungai yang menyerupai candi, di tempat itulah kami juga seolah disuguhkan durian hijau oleh Sungai Mai’ting. Durian kecil itu nyatanya mampu membuat kami seperti terlahir kembali, terkecuali Lukman yang entah mengapa menjauh seolah kami menyakiti hatinya. Ternyata aroma durian itu yang mengusirnya. Karena perjalanan masih cukup panjang dan terik yang semakin menyengat, kami segera melanjutkan pengarungan hingga mendekati finish point, sudah seperti menembus atmosfer baru. Kami harus sangat hati-hati karena banyak sekali penambang ditepi sungai, bahkan beberapa tali dan selang yang cukup besar melintang menghambat laju perahu, kami yang harus bergantian dengan penambang pasir untuk menyebrangkan selang, atau perahu terlebih dahulu. Cukup menguji kesabaran di siang menjelang sore itu, untung saja Zidan tidak berubah menjadi buaya dan menggigit selang itu “ggrh rawr”.
Tak lama setelah tiba di finish, kami dijemput oleh Bang Somba dengan pickup merahnya itu. Kami kembali menuju Madong, Toraja Utara untuk mengembalikan perahu dan beristirahat di KPA Abadi. Kamis, 10 Agustus 2023 adalah additional time untuk tim, hari itu tim memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat iconic yang ada di Toraja, yakni yang pertama adalah Kete Kesu. Kete Kesu adalah desa tradisional yang terletak di Tana Toraja yang terkenal dengan kekayaan budayanya yang unik, terutama dalam konteks pemakaman dan arsitektur rumah adat. Kete Kesu ini adalah salah satu dari beberapa desa yang mempertahankan warisan budaya Toraja dengan kuat. Di Kete Kesu, kami menjumpai berbagai rumah adat Toraja yang disebut Tongkonan. Tongkonan sendiri merupakan rumah tradisional Toraja yang memiliki arsitektur khas dengan atap melengkung yang menjulang tinggi. Selain itu, di sekitar desa, kami juga menemui situs pemakaman tradisional Toraja. Selesai mengunjungi Kete Kesu, kami melanjutkan perjalanan ke Pasar Kerbau. Tempat ini juga menjadi iconic di Toraja karena bagi masyarakat Toraja, kerbau tidak saja melambangkan kesejahteraan pemiliknya namun juga merupakan bagian penting dalam upacara Rambu Solo atau ritual penguburan mayat suku Toraja untuk mengantar roh almarhum menuju puyo (alam baka). Lanjut, setelah itu kami menuju Kompleks Megalit Bori, meski di tengah perjalanan semua terlelap kecuali Bang Grade. Kompleks ini merupakan salah satu situs megalitikum yang paling menarik di Indonesia. Situs ini terdiri dari sekitar 95 batu besar yang terletak di tengah-tengah hutan, dan diperkirakan telah dibangun pada abad ke-10 atau ke-11 Masehi. Selain itu di kompleks ini juga terdapat pohon yang digunakan sebagai kuburan bayi, dimana mayat bayi diletakkan di dalam lubang yang telah dibuat ke dalam pohon. Hari sudah menjelang sore, dan kami diajak Bang Grade untuk mampir di salah satu pusat oleh-oleh di Toraja, yakni To Pao. Selepas itu, kami diajak Bang Grade ke rumah kakaknya untuk mengisi lambung sebelum kembali ke KPA untuk bermalam dan berpacking logistik disana.
bersambung ke Part 4 Pengarungan Puitis di Negeri Toraja
Syella April dan Benilde Siera, Tim Gladimadya Olahraga Arus Deras “Telisik Tirta Tana Toraja”, 2023.
0 Comments