Menyusupi Kabut Merbabu
Jumat 3 maret pukul 1 pagi, kami masih berkontemplasi dengan proposal yang tak kunjung selesai. Kantuk yang sedari tadi hadir tak diacuhkan. Tatapan kosong mata-mata yang lelah, berpadu dengan sepinya malam. Dalam bayang-bayang kesunyian Gelanggang Mahasiswa, kami berharap cemas tentang perjalanan kami kali ini.
Pada mulanya sesuai skenario yang telah disusun, tim Wajib Gunung Ambu Udan Gunung Merbabu jalur Tekelan, yang berisikan aku, Laily, Hagai, Sonya, Zaki, Nisa, Gustu, Ai, dan Mifta, serta 4 pendamping lainnya, yaitu mas Alief, mas Dirham, mbak Dita, dan mas Demus, akan melakukan pendakian ke Gunung Merbabu pada jumat 3 maret hingga 5 maret. Pada hari kamis malam, rencanannya kami akan melakukan packing. Namun, proposal yang telah kami ajukan masih memerlukan revisi sehingga habislah malam itu kami sibuk merevisi kembali proposal.
Hingga pada akhirnya pukul 3, ketika harapan itu semakin memudar, kata singkat dari yang diucapkan mas Alief: “Oke!” akhirnya melegakan semua ketegangan kami.
Dengan cepat kami segera melakukan packing logistik yang sempat tertunda. Kantuk yang semakin berat, membuat emosi kami tak keruan. Logistik yang berserakan, saling lempar melempar tanggung jawab, ditambah satu masalah, yaitu peta gunung yang belum sempat dicetak menjadi kendala kami pagi itu selepas proposal. Hingga akhirnya kami sepakat untuk berkumpul kembali pada pukul 7 pagi, untuk sekadar mengistirahatkan mata lelah kami.
Namun sekali lagi, manusia hanya mampu merencanakan. Rencana awal untuk berkumpul pada pukul 7 pagi akhirnya molor. Hingga pada pukul 9 pagi, tim tak kunjung lengkap. Selain itu, kami masih perlu belanja kebutuhan konsumsi yang belum lengkap dan juga mencetak peta gunung yang tidak sempat tercetak malam sebelumnya. Lalu pada akhirnya pukul 11 siang, tim dan logistik benar-benar lengkap dan kami dapat melakukan briefing sebelum keberangkatan.
Briefing singkat, foto bersama, lalu tos sambil meneriakkan jargon MAPAGAMA; “Viva MAPAGAMA So…So…So…!” Kami berangkat!
Perjalanan kami dimulai dengan berjalan menuju halte Transjogja di depan kopma UGM. Dari sana, kami menaiki bus Transjogja 3B menuju Terminal Condongcatur, melaksanakan sholat jumat, lalu melanjutkan ke Terminal Jombor via bus Transjogja 2A. Selepas itu, kami melanjutkan menaiki bus Mustika menuju Terminal Tidar Magelang.
Dalam perjalanan kami, akhirnya hanya tersisa 10 orang yang berangkat dari total 14 orang. Zaki, Gustu, Sonya berhalangan untuk ikut dikarenakan ada kesibukan lain yang tidak dapat ditinggalkan, dan Hagai yang awalnya berencana untuk berangkat, terpaksa menunda keberangkatan karena adanya kepentingan mendadak dan berencana untuk menyusul kami.
Perjalanan menuju Magelang itu lebih banyak kami habiskan dengan tertidur. Melunasi hutang tidur kami yang sempat tertunda malam itu. Hingga akhirnya pada pukul 14.45, kami telah sampai di Terminal Tidar Magelang. Kami sempat mengalami kebingungan ketika bus yang seharusnya kami tumpangi masih belum tersedia sehingga untuk mengisi waktu, kami memilih untuk makan dan sholat. Tepat pukul 15.40, bus yang akan kami tumpangi, Tunas Mulya, telah datang dan kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Kopeng.
Perjalanan kami menuju Desa Kopeng ini sedikit berbeda. Jalanan aspal mulai memasuki lereng gunung yang meliuk-liuk. Desak penumpang yang berdiri bergantian, memberikan kesempatan duduk untuk wanita tua yang terhimpit dalam ruang sesak. Ai mengobrol asik dengan orang-orang yang duduk di sekitarnya, sedang aku hanya mengobrol singkat dengan kenek bus yang terduduk di bangku paling belakang bus, bercerita tentang anak perempuannya yang adalah lulusan bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi di Jogja dan kini sedang bekerja di Kalimantan seorang diri. Kabut turun menutupi pandangan kami, seakan-akan kami sedang menyusuri jalan yang tak berujung.
Pukul 16.50, akhirnya kami sampai di Desa Kopeng. Lebih tepatnya di pertigaan Wisata Umbul Songo, sesuai dengan instruksi supir pickup yang kami sewa untuk menjemput dan mengantarkan kami menuju Dusun Tekelan. Oleh sebab keterbatasan sinyal, kami tidak dapat menghubungi supir tersebut untuk segera menjemput kami sehingga kami tertahan di pinggir jalan selama kurang lebih 15 menit tanpa kepastian.
“Ke Tekelan ya?”
Tiba-tiba sebuah pickup berhenti tepat di depan kami. Supir yang menyapa kami adalah seorang laki-laki yang kuperkirakan berusia 40 tahun dengan tahi lalat di dahinya. Supir tersebutlah yang sejatinya kami tunggu-tunggu sedari tadi. Segera saja kami naik ke atas pickup dan menata tas carrier. Perjalanan berlanjut!
Perjalanan kami kali ini cukup spesial. Menyusuri lereng Merbabu, kabut yang menutup telah menghilang, berganti dengan pemandangan perkebunan warga. Dari kejauhan, nampak gunung Merbabu dengan megahnya berdiri kokoh menutup penuh pemandangan arah utama kami. Kami disambut dengan sebuah gapura sederhana bertulisan ‘Taman Nasional Gunung Merbabu’ pada palang putih di tengahnya. Angin dingin pegunungan turut menyambut kami, mengibaskan rambut-rambut kami, membiarkannya menari bersama angin. Memandang Merbabu membuat kami berimajinasi, seakan-akan kami adalah tokoh-tokoh dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro yang menceritakan sebuah pendakian ke Gunung Semeru. Aku tersenyum, merasakan nostalgia oleh sebab novel tersebut pula lah yang menginspirasiku untuk melakukan pendakian gunung.
Kami sampai pada Dusun Tekelan tepat menjelang maghrib. Basecamp Tekelan nampak sangat rapi, dengan pekarangan yang dihias di bagian luar. Bagian dalamnya sangat lenggang di sisi-sisi dindingnya terpajang informasi-informasi seputar Gunung Merbabu, seperti informasi kawanan taman nasional hingga persebaran fauna yang ada di dalamnya. Di salah satu sudutnya terdapat ukiran-ukiran kayu yang indah, yang kemudian aku tahu bahwa ukiran tersebut merupakan buatan warga Tekelan sendiri. Di dalam ruangan tersebut juga terdapat sebuah peta 3 dimensi yang menggambarkan topografis Gunung Merbabu sisi utara.
Luasnya ruangan tersebut membuat kami dapat leluasa menempati ruangan itu sendiri. Sembari memasak, kami sedikit bercerita dengan penjaga basecamp Tekelan. Di situ kami mendapat informasi, bahwa basecamp Tekelan dikelola secara mandiri oleh pemuda-pemuda dusun itu sendiri. KOMPPAS, Komunitas Peduli Putra Syarif, begitulah nama lembaga pemuda tersebut. Di tengah kegiatan memasak kami, datang serombongan dari FKIP UNS, Brahmahardhika. Mereka juga berencana untuk mendaki melalui jalur Tekelan dan turun melalui jalur Selo. Setelah bersalaman-salaman singkat, kami berpisah karena mereka akan melakukan pendakian malam itu juga. Tidak lama kemudian masakan kami telah matang.Menu makan malam itu adalah sayur sup, tempe goreng, dan kentang goreng. Sungguh sangat nikmat.
Setelah makan, kami melakukan kegiatan kami selanjutnya, yaitu observasi lapangan. Topik yang kami ambil adalah mitigasi bencana di sekitaran daerah gunung Merbabu. Untuk pengambilan data, kami melakukan wawancara dengan warga sekitar setelah membagi tim menjadi 3 kelompok yang berisikan 2 orang. Lalu kami berkumpul lagi untuk melakukan evaluasi kegiatan hari itu dan briefing untuk kegiatan hari selanjutnya. Malam itu kami juga mendapat tugas tambahan untuk penerapan materi IMPK berupa plotting pos-pos yang akan kami lewati nanti. Evaluasi berlangsung cukup lama hingga akhirnya kami dapat beristirahat tidur pada pukul 23.00.
Sabtu 14 maret. Kami terlambat bangun dari waktu awal yang telah ditentukan. Terburu-buru kami memasak sarapan pagi itu. Menu pagi itu tak jauh berbeda dengan malam sebelumnya, kecuali pagi ini tidak ada kentang dan berganti telur goreng. Namun karena instruksi yang diberikan oleh Ditbang, kami tidak diperbolehkan makan menggunakan nasi sehingga kurang kenyang rasanya pagi itu.
Pukul 08.25, akhirnya kami memulai pendakian. Pada mulanya, kami melewati perkebunan warga, menyusur jalan setapak yang memotong perkebunan langsung menuju hutan. Jalur yang kami lalui masih tergolong mudah, yaitu jalan berupa tanah yang tidak terlalu curam dan dibantu oleh undakan tanah yang dibentuk mirip tangga. Selama perjalanan, kami juga tak lupa untuk memunguti sampah di sepanjang jalur sesuai dengan skenario pengabdian yang telah kami susun. Tak lama, 55 menit kemudian kami telah sampai di Pos 1 Pending. Pos tersebut berupa sebuah bangunan kecil yang dapat digunakan untuk sekadar beristirahat. Selain itu, di sana juga terdapat sumber air yang berasal dari pipa yang dibangun oleh warga sehingga kami dapat mengisi air di sana. Kami juga bertemu dengan rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak yang berjiwa muda, karena mereka ternyata sedang dalam kegiatan piknik; piknik dengan mendaki gunung!
Setelah melakukan plotting tempat, kami lalu melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Perjalanan menuju pos 2 tidak jauh berbeda dengan pos 1. Hanya saja, kali ini kami telah masuk ke dalam hutan dan di sebelah kanan kami adalah sebuah tebing tinggi berwarna putih yang menjadi cikal bakal nama pos 2, yaitu Pos Pereng Putih. Pos Pereng Putih terletak di pinggiran antara lembahan di sebelah kiri dan tebing di sebelah kanan. Di sana kami beristirahat sembari melakukan plotting. Tak lupa juga kami memunguti sampah yang berserakan di pos tersebut.
Sempat terjadi sebuah insiden ketika Ai melepas tasnya di pinggir jurang yang tertutup tanaman. Karena kelelahan, Ai lengah sehingga tas carrier-nya miring dan jatuh ke arah jurang. Beruntung jurang tersebut tidak terlalu curam sehingga tas tersebut jatuh tidak terlalu dalam. Tanaman yang tumbuh di mulut jurang juga turut membantu memperlambat jatuhnya. Dengan perlahan, mbak Dita dibantu oleh mas Demus turun ke bawah untuk mengambil tas tersebut dengan menggunakan bantuan pengaman berupa webbing. Operasi Rescue Tas berhasil!
Perjalanan dilanjutkan. Menurut hasil surveiku, perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 ini relatif singkat daripada pos 1 dan 2. Namun jalur yang harus kami lalui semakin bertambah curam. Menyusuri tebing cadas dan lembah curam, kami harus meningkatan kewaspadaan di sini. Setelah cukup jauh berjalan, aku melihat ke arah belakang dan nampak pos 2 terlihat di kejauhan. Ternyata rute yang kami lalui hanya mengitar untuk lalu berpindah punggungan! Dengan rute demikian dan tanjakan yang cukup menguras tenaga, beruntung ternyata jarak antara pos 2 ke pos 3 memang tidak jauh. Hanya butuh waktu 45 menit untuk mencapainya.
Pos 3 Gumuk Mentul, sesuai dengan namanya, adalah sebuah pos yang terletak di punggungan bukit yang terlihat menyembul (mentul, jw) dari kejauhan. Pos ini berupa tanah datar yang cukup lapang, kuperkirakan 4-5 tenda dapat muat di pos ini. Di pos ini juga terdapat sumber air sama seperti di pos 1, namun persediaan air kami masih cukup banyak sehingga kami tidak mengisi air di sini. Kabut naik membawa gerimis rintik di tengah istirahat kami. Segera kami mengeluarkan jas hujan masing-masing. Sialnya, setelah kami mengenakan jas hujan, gerimis telah berhenti.
Perjalanan kami lanjutkan menuju pos 4. Di tengah perjalanan, hujan kembali mengguyur, kali ini dengan deras. Jas hujan kembali kami kenakan dan melanjutkan perjalanan dalam balutan hujan dan kabut. Terus, terus berjalan. Menyusuri tanjakan yang juga telah membasah.
Hujan telah reda ketika kami berhasil mencapai pos 4 Lempong Sampan. Di sana kami bertemu kembali denga teman-teman dari Bramahardhika yang kami temui di basecamp. Mereka sedang makan siang di bawah flysheet warna merah yang telah mereka bangun. Dengan baik hati mereka menawarkan jeli yang kami terima dengan sangat bersyukur. Sembari mempersiapkan konsumsi kami sendiri, hujan kembali turun dengan cukup deras sehingga kami harus cepat mendirikan flysheet juga. Di bawah flysheet hitam, kami berdesakan menghindari hujan. Hawa dingin membuat tubuhku menggigil hebat. Aku merasa momen-momen seperti inilah yang aku rindukan, yaitu momen ketika kondisiku sedang berada pada suatu titik ketidakberdayaan hingga kesadaranku mempunyai kuasa untuk memutuskan apakah aku akan menyerah atau kembali terus melanjutkan.
Sepotong buah pir, beberapa potong biskuit, dan segelas susu menjadi menu makan siang kami. Tak lupa juga segelas jeli, yang baru saja kami dapat dari teman baru kami, turut melengkapi menu kami siang itu. Kecil memang, tetapi cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan kalori kami.
Kawan baru kami melanjutkan perjalanan terlebih dahulu. Kami masih menikmati hidangan kami hingga sekitar 30 menit kemudian barulah kami bersiap-siap mengemasi barang untuk lalu melanjutkan kembali perjalanan.
Pukul 14.35, kabut telah menutupi sepenuhnya pandangan ketika kami melanjutkan perjalanan menuju puncak 1 Watu Gubug. Kabut itu begitu pekat hingga jika semisal kami tersasar, kami tidak akan menyadarinya. Perjalanan terasa semakin berat dengan jalur yang semakin curam. Aku meracau sepanjang perjalananan sekadar untuk memotivasi diriku sendiri.
2 jam kemudian, sampailah kami pada puncak 1 Watu Gubug. Kabut yang menyelimuti tak juga pergi. Hal ini menyebabkan kami kesusahan untuk melakukan plotting tempat. Ah, jangankan plotting tempat, untuk sekadar melihat jalanan saja susah! Oleh sebab itu, plotting dilakukan dengan singkat, dengan mengira-ira bentuk punggungan yang telah kami lewati. Selain itu, waktu telah menunjukkan pukul setengah 5 sore, melewati batas jam pendakian yang telah dilewati, sehingga kami harus segera bergegas menuju puncak 2 Watu Tulis untuk mendirikan tenda di sana.
Dari puncak Watu Gubug, Puncak Watu Tulis tidaklah terlalu jauh, hanya dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapainya. Namun track yang kami lalui sangatlah curam, yaitu berupa jalur yang terus menanjak dan tanah yang licin sehingga kami harus pandai-pandai memilih pijakan. Berkali-kali terpeleset. Jatuh. Bahkan hingga mencium tanah. Itu semua kami kami lewati dengan saling bantu-membantu, walaupun lebih banyak menertawainya terlebih dahulu.
Puncak Watu Tulis atau biasa disebut Pos Menara. Hal ini disebabkan karena pada puncak ini terdapat sebuah pemancar yang katanya didirikan oleh TNI sebagai pemancar radio komunikasi. Pemandangan kabut tak kunjung hilang dan waktu menunjukkan pukul 18.00. Segera kami mendirikan tenda ditemani gerimis kabut yang mulai turun.
Malam itu kami memasak menu makan malam kami, yaitu ayam dan capcay jamur. Sungguh sebuah hidangan yang sangat spesial walaupun tetap tidak dapat mengenyangkan kami. Namun lagi, setidaknya hal demikian itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori kami.
Jauh di bawah, gemerlap lampu kota Magelang di sisi barat dan Salatiga di sisi timur menjadi peneman kami. Di kubah langit malam, bintang mulai menampakkan jati diri bertebaran di tiap sudutnya. Sebuah rasi khas yang sangat mudah kuingat; Orion, sang pemburu, sedang bertengger tepat berada di titik zenith, bersanding dengan bayangan hitam pemancar yang lurus tegak mengarah ke langit. Segera saja momen ini kuabadikan menggunakan kamera karena pemandangan langit yang bersih yang jarang, jauh dari polusi kota. Yang terakhir ketika menengok ke sisi utara, nampak sebuah bayangan hitam pekat yang menghalangi pemandangan langit. Puncak Syarif dan Puncak Kenteng Songo terlihat samar dalam kegelapan tersebut. Kami sempat menerima sinyal lampu senter yang diberikan oleh tim Wekas dari puncak Syarif yang telah mendirikan camp di puncak Syarif.
Kami tidur pada pukul 23.00 setelah sebelumnya melakukan evaluasi hari itu dan briefing untuk kegiatan selanjutnya. Paginya aku terbangun pukul 05.30. Matahari masih belum menampakkan cakramnya di horizon, hanya pendaran lembayun fajar yang menghias sisi timur gunung merbabu. Di sisi utara tetap terlihat Puncak Syarif dan Puncak Kenteng Songo masih bersanding kukuh. Namun karena hari mulai terang, barulah kami dapat melihat jalur yang akan kami lewati nanti menuju puncak, yaitu berupa punggungan bukit yang sangat menanjak.
Tidak menunggu lama, kami bergegas mempersiapkan menu sarapan pagi itu untuk menghemat waktu. Menu kami kali ini adalah Oatmeal dengan potongan pisang di atasnya, telur goreng, dan terakhir adalah kacang hijau. Namun kami merasa kenyang terlebih dahulu karena oatmeal sehingga tidak sempat untuk menghabiskan kacang hijau sehingga kami membungkusnya untuk bekal di perjalanan nanti.
Pukul 9 tepat, kami melanjutkan perjalanan. Mulanya, jalur yang kami lalui adalah landaian yang menurun. Setelah itu, kami langsung berhadapan dengan sebuah bukit dengan jalur menanjak yang cukup curam. Sungguh sangat berat sekali, sesuai dengan nama puncak tersebut: Jembatan Setan, atau juga disebut Puncak Geger Sapi karena bentukannya yang mirip punggung sapi.
Terus menanjak, sampailah kami di pertigaan antara Puncak Syarif dan Puncak Kenteng Songo. Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Kenteng Songo. Jalur kami kali ini bisa dibilang cukup landai, mengitari punggungan bukit Puncak Ondo Rante, menyusuri lembah. Tidak lama kemudian kami sampai pada sebuah tanjakan yang cukup yang sangat curam sehingga kami membutuhkan bantuan berupa tali untuk mendakinya. Selepas itu sampailah kami pada tujuan kami: Puncak Kenteng Songo.
Rasa lelah itu terbayar. Kami bertemu dengan tim Selo di puncak sana. Setelah beristirahat lalu berfoto bersama, kami melanjutkan menuju puncak Trianggulasi. Dari puncak Kenteng Songo menuju puncak Trianggulasi hanya membutuhkan waktu 5 menit. Di sana kami bertemu dengan tim flying basecamp yang sedang berjaga. Dari arah barat, tim Swanting menyusul kami di puncak Trianggulasi. Tidak lama kemudian, tim Wekas ikut menyusul dari arah puncak Kenteng Songo. Sayangnya tim Selo telah turun dari puncak sehingga kami tidak dapat berfoto seangkatan di puncak.
Kami menghabiskan waktu selama 1 jam di puncak Trianggulasi, sekadar untuk beristirahat sambil bercerita singkat dengan tim lain. Selepas itu, tim Tekelan turun terlebih dahulu menyusul tim Selo menuju Sabana 2.
Dibutuhkan waktu sekitar 45 untuk mencapai Sabana 2. Jalur yang kami lalui berupa undakan tanah yang licin, sama seperti perjalanan menuju pos pemancar. Sabana 2 adalah pos terakhir yang harus dilalui jika melalui jalur Selo. Tempat ini berupa sabana yang sangat luas, saking luasnya kuperkirakan 100 tenda pun dapat didirikan di sini. Terdapat juga bukit yang mengelilingi sabana ini sehingga tempat ini serupa cekungan jika dilihat dari jauh.
Kami akhirnya dapat berkumpul lengkap bersama tim jalur lain di pos ini. Tim Selo yang memang telah mendirikan camp di sini, disusul tim Wekas, tim Swanting, kemudian tim FlyingBasecamp. Mendadak tempat ini menjadi ramai. Tawa canda menggemuruh pada luasnya rerumputan. Melepas lelah, istirahat, makan. Lelahnya beban di carrier untuk sementara kami letakkan bersama kabut yang turut menemani.
Kami turun pada pukul 3 sore. Pos-pos pendakian jalur Selo kami lalui dengan cepat, dengan istirahat yang singkat. Kabut semakin pekat, membuat jarak pandang kami semakin sempit. Hampir-hampir aku tidak dapat melihat mas Dirham dan Laily yang berada di paling depan.
Gemetar di kaki diabaikan. Langkah kaki yang menolak untuk berhenti, berharap untuk segera sampai basecamp di bawah sana. Kabut semakin menipis seiring turunnya elevasi kami. Hingga akhirnya kabut benar-benar hilang, dan aku menengok ke belakang, menyaksikan Merbabu dalam selimutan kabut putih yang perlahan abu karena hari yang semakin gelap. Hingga akhirnya pukul setengah 6 sore, kami berhasil mencapai basecamp Selo disambut oleh hujan yang cukup deras. Namun, perjalanan kami belum selesai. Untuk kembali ke Jogja, kami harus menunggui tim Selo terlebih dahulu karena kami berencana untuk pulang bersama-sama dengan menyewa truk.
Malam telah naik ketika akhirnya kami siap untuk pulang. Menyusuri jalanan desa yang gelap menuju truk yang telah menunggu kami. 3 tim dengan jumlah total 30-an orang, berdesakan di dalam truk belum lagi sempit karena tas kami.
3 setengah jam kemudian akhirnya kami berhasil mendarat di N30. Lelah. Namun bersyukur karena berhasil pulang. Mencoba mengumpulkan semangat karena tahu bahwa kini tugas penyusunan LPJ menunggu kami.
0 Comments