“Sebuah kegiatan tidak akan terlaksana tanpa adanya perencanaan dan persiapan. Dimana untuk merealisasikan sebuah kegiatan di perlukan kerjasama antar anggota tiim yang akan melakukan kegiatan” seperti Om ku kata “Sesuatu itu bisa terjadi asal ada 3M, yakni Man, Material, Money” Ketiganya saling keterkaitan dan tak bisa di lepaskan.
Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang penuh akan euphoria ceria, terlebih untuk MAPAGAMA(Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada) yang merasakan susasana berbeda, karena memiliki Rumah baru. Apalagi malam pertama sebelum puasa ada sesi Penyambutan Atlit UIE IV, yang telah menyelesaikan kegiatan eksplorasi Goa di Satun, Thailand. Pertemuan-pertemuan terjadi dalam sebuah lingkaran dengan ruang yang begitu menyenangkan,”rumah baru” ini laiknya rumah sebuah keluarga. Orientasinya adalah untuk jangka panjang, karena ruang-ruangnya yang begitu memadai untuk beraktivitas dan menyimpan peralatan penunjang kegiatan.
Bagi kami, datangnya bulan Ramadhan bukanlah sesuatu yang menjadi penghambat untuk berkegiatan. Tersebab, kegiatan apapun asal di niatkan pasti akan jalan. Datanglah sebuah temaram malam yang mana anak-anak biasa berkumpul di ruang tamu, saat itu, kesibukan memang sedang jarang-jarangnya. Celetuk seorang mantan Ketua Mapagama periode 2014-2015, Gus Yusya Asadillah yang mengeluarkan kata-kata “Ah, sumpek nih, ngadem yuk? jalan kemana gitu”ujarnya.
Aku yang merasakan hal yang sama, lantas menjawab, “Ayok mas, asik nih ngadem di bulan puasa”
Percakapan singkat itu terekam dengan sangat baik, mereka yang berada di dalam ruang tamu lalu bersahut-sahutan “yuk, yuk” Di tentukanlah sesiapa saja orang yang akan berkegiatan, waktu kegiatan, dan lokasi kegiatan.
Aku, Sheila, Gus Yusya, Verent, Somad, Bang Banu, Mas Doy, dan Suryo adalah orang-orang yang akan berkegiatan, waktu kegiatan di sepakati pada tanggal 2-3 Juni 2017, tepatnya Hari Jum’at-Sabtu, dengan lokasi kegiatan di Balerante, Klaten, Jawa Tengah.Pembagian tugas pun dilakukan, aku di plotting sebagai logistik, Malam sebelum hari H kegiatan kami sempatkan untuk berkumpul bersama dengan tujuan melakukan persiapan terakhir sebelum keberangkatan. Terkait persiapan terkahir ada info yang sangat menyenangkan karena Sheila menawarkan diri untuk menyiapkan menu makan dan minum u ntuk berbuka dan sahur, cukup membuat semangat tim untuk memantapkan kegiatan meningkat. “Semoga esok cerah, agar perjalanan menjadi lebih bergairah”batinku. Sementara disisi lain aku harus menyiapkan Tenda sekaligus flysheet untuk camp, kompor, gas dan nesting untuk masak-memasak selama di camp.
Siang menjelma menjadi waktu yang tak mau ditemu karena matahari memancar dengan begitu terik-teriknya. Ketika hari yang telah dinanti akhirnya tiba, kondisi sekre begitu sepi dengan suasana yang menenangkan. Sebagian orang berlalu-lalang, sebagian yang lain merehatkan badan. Anak-anak yang akan berkegiatan masih sibuk dengan urusannya masing-masing, salah satunya Bang Banu, ia yang tertua di tim ini sedang menghadap khusyuk bersama laptop kawakannya. Sementara Gus Yusya tengah merebahkan tubuhnya di kasur yang berada di ruang pramuka sembari memainkan hpnya. Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB, masih ada waktu 1 setengah jam untuk tim berkumpul di sekre.Ku putuskan untuk sejenak kembali ke kontrakan menyiapkan peralatan pribadi yang harus ku bawa.Kendaraan ku nyalakan, bersegeralah aku menuju kontrakan yang mulai jarang ku tempati semenjak berorganisasi di MAPAGAMA.
Setelah di rasa cukup bagiku menyiapkan peralatan pribadi dan packing sekenanya, kembali ku nyalakan motor dan bergegas menuju sekre, mentari menukik ke arah barat saat waktu menunjukkan pukul 15.00 dan motor yang ku kendarai tiba di pelataran sekre. Hanya tinggal Mas Yusya yang berada di sekre, Carriel ku letakkan dan logistik tim ku ambil dari ruang logistik. Satu persatu barang ku masukkan ke dalam carriel, ku buat senyaman mungkin, hingga akhirnya kawan-kawan yang lain berdatangan menuju sekre. Iuran yang telah di tentukan di bayarkan kepada Mas Banu sebagai bendahara dalam kegiatan kali ini. Tiba-tiba datang 2 sosok perempuan menaiki motor matic dari kejauhan, semakin dekat terlihat jelas bahwasanya keduanya adalah bagian dari tim ini, yang berlaku sebagai supir adalah Verent, yang membonceng dengan carriel di punggunya serta plastik besar di tangan kanannya adalah Sheila. Yang membuat kami terkaget-kaget adalah isi plastik yang di bawa Sheila adalah makanan dan minuman untuk santap buka dan sahur bersama, sangat banyak ternyata, “uh, itu apaan sheil ? banyak banget buahnya ?”celetuk Mas Banu yang segera di jawab oleh Sheila “Menu makan buat buka sama sahur kita mas”, “oh mulia banget broh kita” sahutku menanggapi percakapan mereka. “Eit, siapa dulu konsumsinya, somad wkwkwk”Si Somad mendadak ketawa sendiri dengan gaya pamernya. Konsumsi pun di plotting ke masing-masing anak. Akhirnya tim telah lengkap 8 orang, cek list kebutuhan di lakukan sebelum keberangkatan.
Setelah semua dirasa aman dan telah di packing, kami pun melakukan ritual baik dan kebiasaan sejak lama sebelum memulai perjalanan. Somad selaku anak yang begitu bersemangat dalam acara kali ini membuka do’a dengan berkata “Mari sebelum kita berkegiatan, baiknya kita berdo’a terlebih dahulu, berdo’a menurut kebutuhan, agama dan keyakinan kita masing-masing dimulai”, semua serentak menundukkan kepala dan merapalkan do’a-do’a sesuai dengan kepercayaannya. “Berdo’a selesai” semua kembali menegakkan kepala dan bersiap so so so bersama.
“1…2….3….. Viva MAPAGAMA! So! So! So!” teriak lantang semua secara bersamaan menjadi pertanda perjalanan akan di mulai, masing-masing menaiki motornya masing-masing. Aku dengan Bang Banu, Suryo dengan Sheila, Mas Doy dengan Verent, dan Gus Yusya bersama Somad memimpin perjalanan menuju Balerante di bagian depan.
Angin berhembus perlahan menerpa tubuh-tubuh para pengendara yang bertebaran di jalanan, semburat senja nampaknya sedang berkelana entah kemana, karena langit bagian barat tak merona jingga, hari menjelang malam saat yang sangat di tunggu-tunggu bagi umat Muslim untuk berburu menu buka puasa sembari menunggu datangnya adzan maghrib.Posisi kami sudah berada di sepertiga perjalanan sedangkan waktu untuk berbuka puasa hampir tiba, kami sepakati untuk berbuka sejenak di pinggiran jalan sekedar membasahi tenggorokan. Selanjutnya kami pacu lagi kemudi menuju lokasi, hawa dingin mulai menelisik bersemayam di tubuh-tubuh kami, sesaat setelah melewati perempatan dengan tiba-tiba Gus Yusya bersama Somad memberhentikan kendaraannya, ternyata Mas Yusya lupa dan membutuhkan orang untuk mengingatkan jalan menuju tempat yang pernah di kunjunginya.
Malam menuai temaram lampu-lampu kota tampak indah dari ketinggian, meski kabut sedikit menjadi penghalang dan rintik hujan kian menghujam menambah ketidakpastian. Setibanya dilokasi motor segera kami parkirkan dan gemulai kabut dengan lembut menyapa jiwa-jiwa petualang muda yang tengah mencari ketenangan di ketinggian tak bernama. “Hujan masih belum reda, mending kita makan dulu disini, nanti kalau udah reda baru naik” saran Mas Doy, “bener nih, masih hujan juga dan kita belum makan”sahutku, satu persatu meletakkan ranselnya dan bergegas mengeluarkan seperangkat alat untuk memasak dan berbuka dengan menu besar. Makan malam kali ini benar-benar di sponsori oleh Sheila, karena dialah yang begitu gila-gilaan membawakan semua kiriman makanan dari Ibundanya ke tempat kami berkegiatan, dari mulai sayur sop, ikan, krupuk, kolak, es buah, nugget hingga oseng tempe, semua terasa berlebihan jika hanya kami habiskan dalam waktu semalam. Akhirnya kami bagi-bagi menu untuk menu makan malam, cemilan malam hari dan makanan utuk sahur di waktu subuh.
Sendok dan piring akhirnya bersua, menuntaskan segala rasa yang ketika puasa mulai jarang bersilaturasa. Kawan-kawanku tampak lahap menyantap nasi dengan sop hangat berpadu sambal di lengkapi krupuk yang di bagi rata oleh Somad. Makan malam selesai, suguhan selanjutnya adalah ager-ager rasa blueberry, dimana perut kami sudah sangat terisi sementara makanan tak henti-henti di jejali. Mulia sekali Sheila dan Ibunya atas kebaikan yang diberikan kepada kami, belum lagi buah pir, manga dan buah naga yang juga di bawakan Sheila. Selepas makan dengan lahapnya, ada satu keberkahan yang wajib kami(para perokok) pertahankan, ibadah ‘sebat’ sesudah makan. Aku, Suryo dan Bang Banu menikmati kenyang dengan sebatang penghasil asap, sementara Somad, Mas Doy, Gus Yusya, Verent dan Sheila masih dengan kesibukannya sendiri-sendiri. Kami semua tengah menunggu hujan mereda dengan di temani lelagu indie dari playlist hp yang ku bawa.
Hujan pun mereda, segeralah kami packing dan menuntaskan hajat di wc yang berada di bagian bawah warung-warung yang kami tempati untuk makan. Motor dinyalakan, “night trail” akan segera di mulai, karena perjalanan menuju tempat camp bisa di tempuh dengan menggunakan motor, beruntunglah kami di satu sisi, namun kami harus lebih berhati-hati karena medan yang akan kami lewati adalah tanah basah, tak jarang, terpaksa Bang Banu yang ku bonceng harus turun karena trek yang menanjak, begitu juga dengan Sheila, Verent dan Somad yang juga harus turun karena motor tak mampu menanggung beban terlalu berat ketika jalan menanjak. Sebagai supir aku harus fokus dengan permainan gas dan jalan yang akan dilewati, karena sedikit saja lengah dampaknya bias jatuh. Tak berselang lama setelah berjibaku dengan trek yang begitu memanjakan tapi sayang kami tidak mengendarai KLX hehe, tibalah kami di sebuah tempat landai yang kami rasa cocok untuk parkir motor, mengingat Motor dari Gus Yusya matic dan mesinnya sudah berbau gosong, Bang Banu sebagai senior tertua dalam rombongan memutuskan untuk segera memarkirkan motor dan berjalan menuju tempat camp.
Motor di parkir, Gus Yusya dan Bang Banu berjalan di depan dan survei lokasi camp tempat bermalam, ternyata tak berselang lama setelah kami berjalan bersama terdengar suara khas yel-yel MAPAGAMA di rimba “Ole..olee..”teriak Bang Banu yang memberikan kabar bahwa tempat camp sudah di temukan, aku dan kawan-kawan yang lainnya mulai perlahan berjalan menuju ke arah suara “ole ole” berasal. 10 menit berjalan dari area parker kami ssudah sampai di dataran terbuka dengan bebatuan dan kerikil yang begitu mendominasi, langit tampak masih belum memiliki jati diri, karena bulan hanya terlihat sepertiganya semetara langit masih mendung dan tak menunjukkan gemerlap bintang. Tenda didirikan, satu persatu memainkan peran, menyiapkan minuman hangat di gasak oleh Somad, mendirikan tenda kuning merk Lafuma di kompromikan oleh tim, sementara aku mendirikan tenda kapasitas 3 orang merk Great Outdoor yang berwarna merah gelap. Bang Banu yang berinisiatif menghidupkan suasana berkata ”Bikin api unggun asik nih”, “wah iya nih, pasti anget”saut Gus Yusya. Lantas setelah tenda berdiri dan flysheet terpasang dengan rapi, gerongan pun di buat dengan tujuan agar bias mengubur semua abu yang tercipta karena bara api, kami memanfaatkan lilin yang ku bawa dan parafin milik Sheila dan verent.
Malam yang kian menuju ke peraduan tengahnya akhirnya bercengkerama dengan baik bersama manusia. Kami yang duduk di depan tenda dan melingkari setengah bagian dari api unggun merasakan kenikmatan bersama, terlebih langit mulai menampakkan jati dirinya, kerlap-kerlip bintang yang tak terhitung jumlahnya bertebaran di angkasa sana, bulan pun ikut mewujudkan ketenangan dan kedamaian yang kita ingin dapatkan dari ketinggian, cerah, cerah sekali bulannya meskipun tak bertahan lama, satu persatu dari kami mulai bercerita, dari Somad yang mulai menceritakan keluarganya, dengan saudara kandungnya yang juga berpendidikan di universitas ternama di Indonesia. Sementara kawan-kawan yang lainnya menjadi pendengar baiknya.
Satu-persatu dari kami akhirnya mengutarakan apa yang di tengah menjadi tiitk kebosanannya, Verent yang kesal dengan segala macam kesibukan yang mengkungkung dan membuat hidup terasa kaku begitu merasakan nikmatnya bercerita bersama keluarga kedua di lingkaran api yang menyala-nyala, sementara riuh rendah satu-dua anak tertawa, aku mencoba menenangkan apa yang menjadi kecamuk di dalam dada, tentang perempuan di kejauhan yang tak pernah lelah mengingatku, Ibu aku belum bisa membalas budi setengah malaikatmu.Bintang-gemintang seakan mewarnai malam yang begitu menentramkan, semilir angin yang membelai pori-pori kulit secara perlahan tertahan dengan hangatnya api yang di jaga oleh si ‘Fireman’ Surjo namanya, surya panggilannya ckck. Ditengah khusyuk-khusyuknya kawanku berdialektika, ada yang telah lama terlintas di kepalaku, terkait kepecintaalaman dan sistem Pendidikan di Mapagama. Poin demi poin ku sampaikan, lebih ku tujukan kepada Mas Doy dan Gus Yusya selaku Pengurus Harian dan DPA Mapagama. Beruntunglah aku, membicarakan sesuatu tepat pada orang yang berhak menjawab dan memberikan kebijakan terkait arah pembicaraanku.
Udara terasa semakin dingin menerpa, obrolan kami semakin dalam kualiatasnya, ada beberapa hal baik yang tercipta dari kegiatan seperti ini, dimana anggota baru dengan anggota lama bersua tanpa adanya sekat yang mengikat. Semua lepas tapi masih dalam prosedur saling menghargai dan menghormati yang lebih tua dan yang tua mengayomi kepada yang lebih muda. Kantuk mulai berdatangan, setelah lebih awal menyerang Sheila dan Bang Banu, kantuk menggerayangi ruang-ruang lelah suryo, lalu merambat ke tubuhku yang ku rasa wajib segera untuk di rebahkan. Ku tarik sleeping bag dan segeralah ku pejamkan mata. Gus Yusya, Somad, Mas Doy cukup terjaga untuk berada di luar dan menyiapkan menu sahur. Waktu terasa begitu cepat ketika Somad berbicara setengah teriak membangunkan kami untuk segera menyantap menu sahur, lagi-lagi shaur kali ini adalah sahur yang cukup istimewa dimana makanan yang di bawakan oleh Sheila sangat menggiurkan dan menjadi pengalaman baru tersendiri bagiku. “Sahur Pak, sahur!” teriak somad membangunkan kami lagi.
Aku pun keluar dan segera memulihkan nyawa, bersiap menyantap satu ekor ikan goreng, nugget, beserta sayur oseng tempe yang telah di masak oleh Gus Yuswa dan Somad.
“Jika kau ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri. Tapi, jika kau ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama” African Proverb, aku setuju dengan penyataan itu yang ku gambarkan seperti laiknya makan. Jika kau buru-buru, makanlah sendiri lebih dulu. Tapi jika kau ingin memperdulikan temanmu, tunggu temanmu dan makanlah bersama-sama. Perut akan teratasi ketika bersama-sama di carikan solusi, hehehe.
Gema Adzan Subuh dari desa di bawah cukup jelas terengar di telinga kami sebagain pertanda bahwa segala aktivitas makan dan minum harus segera berhenti. Aktivitas pun beralih menjadi sholat bagi yang menjalankan, Somad terlihat menggelar matras untuk di jadikan sajadah di depan tenda didirikan. Aku yang merasa belum tuntas dalam tidur tadi melanjutkan lagi ibadah di bulan yang penuh berkah ini, merehatkan jiwa, raga dan pikiran di dalam tenda. Sunrise tak ku pedulikan, lelah sudah terlanjur padu dengan kenyang yang begitu membuat tubuh ingin pulas dalam dunia khayal. Sayup-sayup mata berkedip, akhirnya terlelap jua aku dalam hangatnya tenda.
Seketika ada yang berubah, cuaca yang sebelumnya dingin dan sedikit menusuk-nusuk tulang. Kini beranjak hangat karena mentari yang menerjang ke tiap-tiap sudut bumi. Teriknya kian terasa ketika ku lihat jam telah menunjukkan pukul 09.00 WIB, di tambah area yang kami pergunakan untuk mendirikan camp adalah area terbuka yang hanya di isi oleh bebatuan dan pasir, sehingga matahari dengan sangat terbuka memasuki ruang-ruang tempat kami bersitirahat. Lekas ku lepaskan sleeping bag yang sedari subuh ku cumbui, segeralah ku gapai kamera dari dalam dry bag, “meskipun sudah menjelang siang, panorama dan kesibukan tetap harus terdokumentasikan” batinku.
Ternyata Matahari tak seutuhnya menyinari, sosoknya masih tertutupi gerombol awan yang tak mau kalah bersaingan. Kulihat di kerumunan pohon yang berada di sisi selatan dari camp terdapat satu buah hammock yang telah terpasang rapi dengan satu orang di dalamnya, “nampaknya Bang Banu, karena sebelum ku bangun tadi dialah yang bicara tentang panasnya cuaca” pikirku. Sementara ku dapati Gus Yusya dengan muka melasnya tengah duduk di bawah rerimbunan pohon beralaskan matras. Ku amati Sheila masih memasak nasi untuk sarapan bersama dengan Verent dan Suryo. Karena sedang berhalangan dan berbeda kepercayaan.
Ternyata, panas di ketinggian itu mengasyikkan, tak sepenuhnya menjengkelkan. Sebab, kurasakan dinginnya sepoi-sepoi angin yang menerpa, belum lagi perpaduan kabut dengan pohon-pohon cemara yang menjulang dan lebat di sekitar tempat camp, begitu epik panorama alamnya, ku nyalakan kamera dan ku mainkan peranan keduaku sebagai Fotografer cadangan. Bagiku, foto adalah salah satu manifestasi dari sebuah perjalanan, selain ruang ingat di kepalaku begitu terbatas dan lisanku tak mampu selalu menceritakan ulang apa yang pernah di lakukan, maka foto adalah harta berharga oleh-oleh dari sebuah perjalanan. Seperti salah satu kode etik “Take nothing but Picture” Dilarang mengambil apapun selain gambar, jelas betapa kode etik juga saling berhubungan dengan perjalanan dalam alam yang maha ketidakpastian.
Setelah beberapa tujuan kami terpenuhi dan terealisasi, kini tibalah kami untuk kmebali menuju tempat dimana kami tinggal sementara dari masing-masig daerah yang berbeda. Jogja….
secepatnya bersua…
Packing di lakukan, semua bekerja sama cepat dan tanggap. Setelah usai, cleaning di lakukan di area camp, ritual wajib setelah berkegiatan adalah foto bersama dan dilanjutkan so so so. Berhubung kamera yang di bawa telah low battery, di pakailah HP somad untuk foto bersama, “cekrek…cekrek….cekrek….cekrek…” berkali-kali kami foto, di tutuplah kegiatan camping ceria ramadhan oleh Gus Yuswa. Perlahan kami mulai menapaki jalan landai menuju tempat parker, motor-motor di nyalakan untuk membuat mesin sedikit panas dan setelah pembonceng menaiki motor dengan supir di depannya, tancap gasslah kami bersama melewati jalan-jalan kecil yang juga di pergunakan untuk warga local mencari rumput demi menghidup ternaknya. Tepat sebelum dzuhur tiba kami sudah berada di area terkahir sebelum memasuki hutan terbuka.
Balerante, makasih atas suguhannya, semoga Pencipta tak murka dan lestarilah Alam Raya.
Hanif Nur Hassan Al Faruqi
Ambu Udan XXXIII
Anggota Muda
0 Comments