Mentari di Puncak Prabu
Puncak Salak II terlihat sangat dekat dari tempat ini. Mungkin hanya berjarak 200 meter kurang lebihnya apabila kami menaiki tangga yang seolah-olah menghubungkan kedua puncak ini. Tetapi memang, ekspektasi tidak selalu indah seperti realitas. Jalur menuju ke Puncak Salak II ini dimulai dengan trek yang menurun. Entah menurun berapa meter, tetapi sepertinya elevasi kami berkurang sekitar 150 meter. Mengelus dada dan menghela nafas saja tidak cukup untuk meratapi jalur ini. Memang turunan ini tidak terlalu curam, tetapi cukup panjang dan aku pun mulai membayangkan akan se-ekstrem apakah jalur yang akan menunggu kita nanti beberapa meter ke depan. Mungkin jalur yang berkelok atau jalur yang sangat curam dan menjulang tinggi. Memang boleh berandai-andai seperti itu, tetapi satu hal yang terpenting adalah semangat dan niat untuk menyelesaikan perjalanan ini masih membara.
Mentari menjadi makhluk yang malu-malu pagi itu. Mengintip kemudian menghilang, begitu seterusnya. Belum setengah jalan kami melangkah, aku menemukan suatu fenomena unik. Celah batu yang cukup besar, mungkin itu adalah gua. Tapi tentu saja, aku tidak masuk terlalu dalam karena tidak memakai pelindung apa pun. Kami mendokumentasikan tempat itu sejenak dan kembali melanjutkan perjalanan. Trek yang kami lalui mulai melandai, tanda bahwa sebentar lagi kami akan kembali menaiki punggungan. Beberapa menit kami lalui melewati turunan yang agak landai ini, hingga kami tiba di satu titik yang tidak ada di google atau sumber mana pun yang kami survei sewaktu pra lapangan. Pos ini bernama simpang paralon, yang mana merupakan persimpangan antara jalur menuju Puncak Prabu Salak II, Puncak Manik Salak I, dan Puncak Fajar Kencana. Pikiranku beberapa menit yang lalu terbukti. Memang, jalur yang menurun landai adalah pertanda bahwa jalur akan kembali menanjak. Awalnya, hanya tanjakan yang tidak begitu curam, hampir sama dengan jalur sebelum Pos Haji Solomod hingga akhirnya kami menemukan titik ekstrem – begitu kami menyebutnya – yang pertama.
“Kalau menurut survei, titik kayak gini ada tujuh”, ungkap Al menerangkan.
“Weh, iyapo?”, tanyaku tidak yakin.
“Iya”, balasnya.
Tujuh titik ekstrem yang berupa tebing dengan sudut hampir vertikal, pijakan berupa batuan licin dan berlumut, tepi jalur yang curam, dan tentu saja, pegangan berupa tali biasa atau webbing yang mungkin sudah berusia cukup tua. Satu per satu dari kami melewati tiap titik ekstrem dengan aman, walau sedikit kepayahan. Apalagi untuk Viola dan Maulida yang mendaki dengan tubuh tidak fit. Tapi dengan saling bantu-membantu, kami bisa melewati ketujuh titik ekstrem ini. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang berarti dari ketujuh titik ini, perbedaan yang ada hanyalah ketinggian titik ini dan bentuknya, selebihnya sama – curam, berlumut, berlumpur, pegangan tali atau webbing – seperti titik pertama tadi.
Hasil tracking di Avenza menunjukkan kami mendekati area yang datar atau berkontur lebar. Memang, ketujuh titik ekstrem telah kami lewati dengan aman tanpa ada kendala sedikit pun. Jalur yang kami lewati berangsur-angsur mulai mendatar dan vegetasi yang semula rapat mulai merenggang. Sinar Mentari juga kembali menyapa kami. Aku terus menerus memperhatikan Avenza, rasa tidak sabar untuk segera menggapai puncak dari gunung ini. Suara Bang Geger yang sudah di depan mulai hilang. Pertanda bahwa ia sedang beristirahat atau sudah berada di area puncak, artinya sebentar lagi!
Yang aku kagumi dari jalur menuju Puncak Salak II ini adalah lantai hutan dan bagian bawah pohon yang dipenuhi oleh lumut. Dan kami juga menemukan ember, ya, ember. Ember bekas cat berukuran besar yang berdiri di tengah-tengah lahan datar yang kosong dan berisi air, mungkin air hujan apabila dilihat dari warnanya. Entah apa artinya, mungkin untuk membantu pendaki yang sedang tersesat atau memberi minum satwa yang berada di area puncak. Cukup aneh memang, tetapi aku menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benakku karena sekitar 15 meter di depan adalah puncak. Aku berhasil mencapai Puncak Prabu Salak II dengan keadaan sehat dan selamat. Begitu pula dengan anggota tim yang lain, satu per satu dari kami mulai bermunculan dari balik pepohonan. Rasa lega dan puas telah kami dapatkan, ditambah lagi dengan cuaca yang cerah. Puncak Salak II ini berbentuk dataran yang terbuka – tanpa vegetasi yang menutupi langit – tidak terlalu luas dan hal yang selalu ada di setiap gunung di Indonesia, palang atau penanda area puncak. Ada aksara sunda yang tertoreh di tempat tersebut, artinya sama seperti nama puncak ini.
Kami menghela nafas sebentar untuk melihat pemandangan yang ada di sekitar kami hingga Al kembali menginstruksikan untuk segera berfoto untuk dokumentasi kegiatan dan kembali turun ke bawah. Kami melakukan foto bersama dengan menggunakan pakaian dinas lapangan atau PDL keren berwarna abu-abu dari Mapagama dan juga kaus hasil sponsor kami dari Arei Adventure Gear, tentunya. Kacamataku yang bisa berubah warna menjadi gelap ketika terkena cahaya matahari membuat fotoku menjadi semakin keren. Cukup banyak dokumentasi yang kami ambil pada pagi itu. Mulai dari foto bersama menggunakan banner, foto bersama Bang Geger dengan membentangkan slayer Mapagama dan Lawalata IPB. Tidak lupa juga, kami juga melakukan foto individu sebagai kenang-kenangan bahwa kami pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Bagiku, Gunung Salak adalah gunung pertama di Jawa Barat yang ku daki setelah muak mengelilingi Jawa Tengah dan menapaki puncak-puncaknya. Aku akan kembali lagi entah kapan untuk menggapai puncak-puncak lain di Tanah Pasundan ini.
Kami turun, turun hujan
Waktu telah menunjukkan pukul 10.00, yang artinya kami harus segera turun karena berdasarkan pengalaman kemarin waktu siang hari, hujan selalu turun dengan cukup deras. Perjalanan turun kami lakukan dengan hati-hati. Kembali lagi kami melewati ketujuh titik ekstrem yang baru saja kami lewati juga. Perjalanan turun terasa cukup cepat, mungkin karena kami telah pernah melewati titik ekstrem ini sehingga ingatan ini sudah hafal dan bisa menginstruksikan kaki kami harus berpijak kemana. Ada kejadian yang cukup ekstrem ketika kami hampir mencapai Puncak Fajar Kencana lagi. Di rombongan belakang terdapat aku, Bayu, Mas Angga, dan Viola yang berjalan perlahan karena kami ingin turun dengan menghemat tenaga dan menikmati pemandangan dari arah yang berlawanan dengan arah naik. Pada saat sampai di suatu titik, Viola dengan tidak sengaja menjatuhkan tracking pole yang ia bawa ke jurang! Mungkin kedalaman jurang tersebut mencapai 200 meter, tetapi beruntungnya tongkat tersebut hanya jatuh mungkin sekitar dua hingga tiga meter ke bawah dan tersangkut di dekat pohon yang tumbuh di tepian tebing. Aku segera mengeluarkan webbing dan menalikannya di batang pohon yang roboh di sisi jalur yang berlawanan dengan jurang itu. Setelah selesai memastikan bahwa batang pohon itu kuat dan simpul yang aku buat tidak akan terlepas, tanpa keraguan pun aku turun ke bawah dengan hati-hati. Tanganku mencengkeram webbing dengan erat dan kakiku terus meraba-raba, mencari pijakan yang kokoh. Tanah di tebing itu cukup gembur sehingga agak menyulitkan, tetapi beruntungnya pohon yang tadi berdiri di tepi tebing cukup kokoh dan aku memantapkan pijakanku di batang pohon itu. Tracking pole yang berhasil aku ambil segera aku berikan kepada Mas Angga yang berada di atas dan aku pun kembali naik ke atas, membereskan webbing dan melanjutkan perjalanan. Memang, dalam berpetualang di alam bebas kita harus bisa mengalahkan pikiran kita dan bisa mengendalikan stresor atau pemicu stres yang ada di sekitar kita.
Hampir tiga jam kami telah berjalan turun. Pos Ksatria Beuheung Awi telah kami lewati lagi hingga akhirnya kami tiba di Pos Haji Solomod, tempat kami mendirikan camp. Dari kejauhan terdengar gemuruh suara kilat menyambar cukup keras. Kami yang baru saja tiba langsung membagi tugas. Ada yang memasak, ada pula yang packing. Menu makanan pagi ini adalah tumis kangkung dan telur. Menu andalan yang selalu kami hidangkan karena mudah, cepat, dan lezat. Kami bersembilan makan dengan cukup terburu-buru karena hawa mulai terasa lembab dan langit menggelap. Beberapa menit setelah kami semua selesai makan, mulai terasa rintik-rintik hujan turun dan membasahi flysheet yang kami pakai. Kami segera bergegas masuk ke tenda masing-masing dan mempercepat packing kami. Hal bodoh tidak sengaja kami lakukan, flysheet yang seharusnya dilepas terakhir malah kami lepas pertama sehingga kami tentu saja kehujanan dan suasana kembali lagi menjadi chaos seperti hari kemarin. Kami berusaha tenang tetapi hujan semakin deras dan tidak memungkinkan juga apabila kami kembali memasang flysheet, satu-satunya solusi adalah lebih cepat lagi packing dan menerobos hujan. Lumpur memenuhi sepatu kami dan barang-barang berceceran dimana-mana. Memang kebiasaan kami sejak jaman Gladimula adalah kami kurang rapi dalam memanajemen camp area.
Langit masih belum selesai mengucurkan air mata ketika kami sudah berdiri gagah menggendong carrier padahal waktu saat ini sudah pukul 15.00. Packing pagi itu sungguh kacau. Aku merasa bahwa beban bawaan yang aku gendong bertambah beberapa kilogram apabila dibandingkan waktu kami naik kesini. Mungkin ini dikarenakan tenda yang basah dan berlumpur yang tidak bisa dikeringkan pada saat itu, juga manajemen packing logistik yang menjadi berantakan akibat aku tidak bisa membiarkan logistik pribadiku kotor dan basah karena akan menambah beban ketika dibawa turun. Tenda yang semula berada di bagian bawah carrier waktu kemarin, sekarang berpindah ke bagian atas, menutupi logistik pribadiku. Ya, mau bagaimana lagi karena suasana tidak mendukung untuk melakukan packing yang estetik dan ala Mapagama. Pada perjalanan turun, aku, Bayu, dan Bang Geger memutuskan untuk tidak menggunakan jas hujan karena memang kondisi jas hujanku yang rembes dan hujan yang sepertinya akan usai sebentar lagi. Aku berjalan di belakang bersama dengan Maulida dan Mas Angga yang cukup lama berjalan. Maklum saja, seseorang yang belum pernah mendaki gunung langsung dihadapkan dengan medan se-ekstrem Gunung Salak tentu saja otot-otot yang berada di kaki akan kaget dan ketika turun gunung kaki yang kelelahan akan mengalami gejala umum seperti kram atau gemetar. Itulah yang dialami Maulida pada saat itu sehingga kami bertiga lebih memilih untuk memperlambat langkah dan saling mem-backup satu sama lain hingga sampai di Pintu Rimba lagi.
Kami tertinggal cukup jauh dari rombongan di depan. Komunikasi dengan menggunakan HT juga tidak kami lakukan karena memang jalur yang kami lalui cukup jelas dan kami sudah berjanji untuk memilih Pintu Rimba sebagai meeting point sebelum kembali ke depan Pura Tamansari, tempat Pak Amin menjemput. Jalanan yang semula lumpur dan batu berubah menjadi tanah yang ditutupi seresah berupa daun-daun jarum dari pohon pinus. Kami bertiga sudah mulai memasuki area Pinus Ajisaka lagi yang juga merupakan area batas jalan batu petilasan dengan jalur pendakian yang berupa tanah. Langkahku dan Mas Angga mengikuti langkah kaki Maulida yang sudah tampak kelelahan.
“Duduk dulu ada, Ul, istirahat”, kata Mas Angga menawarkan.
Aku kira ia akan berhenti untuk duduk di petilasan tetapi Maul lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan turun ke bawah tanpa berkata satu kata pun, hanya dengan gestur menggeleng. Pada pendaki pemula, memang rasa tidak ingin merepotkan teman di satu rombongan itu ada tetapi hal tersebut tidak boleh berlebihan karena pada akhirnya akan merugikan diri sendiri juga.
Memang rasa lelah itu tidak dapat berbohong. Sekitar 100 meter dari petilasan yang baru saja kami lewati, Maul terduduk dan terlihat cukup lelah. Kami pun ikut beristirahat sejenak, meringankan beban yang sedari tadi menumpuk di kakiku. Merasa sudah cukup untuk bisa melanjutkan perjalanan, Maulida kembali berdiri dan berjalan lagi diikuti oleh aku dan Mas Angga. Tidak terasa, jalur batuan ini mulai habis dan Pintu Rimba mulai menampakkan wajahnya. Perjalanan ini hampir menuju ke akhirnya, tampak di kejauhan beberapa carrier disandarkan di batang pohon dan kami pun kembali berkumpul dengan rombongan yang tadi sudah turun terlebih dahulu.
“Yang lain dimana?”, tanyaku ke Viola.
“Itu pada salat”, jawabnya.
Aku kembali beristirahat dan meminum ‘jasjus’ rasa jeruk yang baru berkurang satu tegukan itu. Aku duduk mendekati perapian yang dibuat oleh entah siapa dan meniup api itu agar semakin besar dan menebarkan rasa udara hangat dengan radiasinya. Bajuku yang tadi basah, mulai mengering dan aku sudah tidak terlalu merasakan dingin. Setelah ibadah salat selesai ditunaikan, kami kembali melanjutkan perjalanan turun.
Gelap malam mulai datang dan kembali suara azan terdengar padahal setengah perjalanan menuju Pura Tamansari belum selesai. Aku dan Bang Geger terus berjalan turun melewati jalanan yang terbuat dari semen ini. Setelah hujan tadi siang, jalan yang sedikit ditumbuhi lumut menjadi semakin licin sehingga aku perlu kembali berkonsentrasi dalam melangkah seperti yang tadi ku lakukan saat mendekati area puncak. Bedanya, saat terpeleset aku tidak akan jatuh ke jurang, mungkin hanya lecet-lecet karena menggesek jalan cor yang tidak halus ini. Aku dan Bang Geger terus berjalan beriringan depan belakang, tentu saja aku di belakang karena tempat ini asing buatku. Samar-samar terlihat beberapa mobil terparkir di bahu kanan jalan, ada tiga tepatnya. Satu milik pedagang tahu bulat, satu mobil pribadi, dan satunya adalah angkot yang akan kami masuki. Pak Amin ternyata telah menunggu kami dari pukul 16.00 sore tadi karena pada saat dihubungi dan diberi kabar oleh Shela kalau tim lapangan akan turun terlambat, Pak Amin hampir sampai di lokasi ini. Untungnya, beliau memiliki kenalan di lokasi ini sehingga rasa tidak enak kami sedikit berkurang karena telah membiarkan Pak Amin menunggu lama. Aku duduk di trotoar dan bersandar pada carrierku. Memandang pemandangan malam di langit Jawa Barat yang malam itu bintang-bintang belum bermunculan, mungkin kalah terang dengan cahaya lampu yang dipancarkan dari pura di seberangku ini.
Satu per satu wajah lelah mulai bermunculan dari arah kedatanganku tadi, mulai dari Alam, Hakim, Viola, hingga Maulida yang terakhir bersama dengan Mas Angga. Mereka semua beristirahat sebentar, berbuka puasa, dan melarisi dagangan Aa’ tahu bulat yang sebenarnya mereka hampir saja pergi. Kami jajan cukup banyak dan memakan juga bekal makan siang yang disiapkan untuk dapat dimakan sewaktu-waktu. Hampir 15 menit terlewatkan dengan istirahat di pinggir jalan, kami mulai memasukkan barang-barang kami ke dalam angkot, menatanya, kemudian kami naik ke dalam angkot untuk pulang menuju ke basecamp Siliwangi Adventure. Bau keringat dan kaus kaki basah menyelimuti seisi angkot. Mungkin Pak Amin perlu mencuci bersih angkotnya selepas mengantar kami menuju stasiun nanti. Di basecamp, Kang Surya dan Shela telah menunggu kami. Tentu saja, Shela yang tidak mengikuti pendakian melontarkan berbagai macam soal dari ‘a’ hingga ‘z’ yang menunjukkan rasa penasarannya terhadap apa yang telah kami alami selama dua hari satu malam ini.
Aku melakukan registrasi ulang sebagai tanda telah menyelesaikan pendakian di jalur ini. Kang Surya meminta maaf karena tidak bisa menemani di Pintu Rimba pada saat kami sampai tadi.. Katanya, “Saya turun dulu. Buka puasa di rumah”. Aku mengerti hal itu, karena waktu awal beristirahat di depan pura tadi sebenarnya kami berpapasan dengan Kang Surya yang bertanya dengan berteriak tentang tim ini apakah sudah turun semua atau belum. Lagi-lagi kami beristirahat di basecamp, melakukan ishoma, dan packing RIG dan alat elektronik lainnya seperti pada saat keberangkatan. Aku pun sedikit membersihkan diri, mencuci muka dan celana yang berlumpur serta packing beberapa barang untuk dimasukkan kembali ke dalam carrier lalu menatanya lagi di dalam angkot. Karena perjalanan menemani kami sudah selesai, Bang Geger pamit terlebih dahulu, kembali menuju rumahnya di Sekretariat Lawalata IPB. Kami pun ikut menyusul keberangkatannya, berpamitan dengan Kang Surya serta keluarganya yang sudah kerepotan menampung Shela selama dua hari satu malam di tempat ini. Pukul delapan kurang, angkot yang dikendarai oleh Pak Amin dan ditumpangi oleh kami bersembilan melesat dengan cepat menuju ke Stasiun Bogor.
Sepertinya aku melewatkan pemandangan malam di jalanan antara Tamansari dan Stasiun Bogor karena tertidur dalam perjalanan menuju ke Stasiun Bogor dan terbangun tepat pada saat Pak Amin berhenti di sisi stasiun. Sepertinya aku melewatkan pemandangan malam di jalanan antara Tamansari dan Stasiun Bogor. Segera kami menurunkan barang-barang bawaan kami, menggendong carrier dan Mas Angga menyelesaikan transaksinya dengan Pak Amin. Selepasnya, Pak Amin pamit dan mendoakan agar kami selamat hingga ke tujuan. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada Pak Amin karena telah mau direpotkan oleh kami selama beberapa hari ini. Perjalanan kami lanjutkan ke pintu Stasiun Bogor yang berjarak sekitar 50 meter. Ada kabar yang cukup menggembirakan sekaligus membuat kami harus berlarian di dalam stasiun. Ada saru KRL yang akan berangkat menuju Jakarta beberapa menit lagi. Kami senang karena tidak perlu menunggu terlalu lama lagi agar bisa kembali ke Jakarta dan kami harus berlari agar tidak tertinggal KRL tersebut. Beruntungnya, jarak sembilan orang ini dengan peron tempat KRL berhenti tidak terlalu jauh sehingga kami masih bisa mengejarnya. Pintu masuk yang barusan kami lewati langsung tertutup begitu kami duduk di kursi masing-masing. Tujuan dari KRL ini tidak menuju ke Stasiun Pasar Senen, melainkan menuju ke Stasiun Gondangdia, sekitar 2-3 kilometer dari Pasar Senen dan perjalanan dari Bogor ke Jakarta kurang lebih satu hingga dua jam padahal waktu sekarang sudah menunjukkan pukul 21.00 yang berarti kami mungkin akan berjalan atau menaiki moda transportasi lain dari Stasiun Gondangdia menuju ke Stasiun Pasar Senen. Hal yang tidak perlu dipikirkan sekarang. Aku pun kembali tertidur di perjalanan malam itu.
bersambung ke Episode keempat Cerita Tapak Bumi Pasundan
Jeffy Emanuel G., Tim Gladimadya Gunung Hutan: Tapak Bumi Pasundan, 2022
0 Comments