Esok hari kami bangun pukul lima pagi. Kami berangkat kembali ke Tebing Pengsong pada pukul tujuh pagi selepas sarapan dan melakukan berbagai persiapan. Tak lupa kami berpamitan kepada Pak Zul dan Bu Eka sebelum berangkat. Kudengar Pak Zul dan Pak Waluyo akan menyusul dan melihat kegiatan kami hari ini. Cuaca hari ini mendung dan sedikit gerimis. Kulihat ramalan cuaca sewaktu diperjalanan mengabarkan bahwa akan turun hujan sedari pagi hingga siang. Aku sempat risau ketika mengetahui bahwa waktu kegiatan efektif kami hanya berkisar tiga jam. Yang berarti waktu dan kesempatanku untuk memanjat akan berkurang pula. Kami tiba di basecamp Tebing Pengsong pada pukul delapan pagi. Kecuali Gaby dan Isma yang menyusul dikarenakan perlu kembali ke rumah Bu Eka untuk mengekstrak file peta tebing pengsong guna menggambar jalur tracking dari basecamp sampai area tebing, kami langsung beranjak pergi menuju area tebing. Di area tebing, segera saja kami melakukan jobdesk masing-masing sesuai dengan briefing semalam. Aku dan Andhika menyiapkan peralatan pemanjatan, Mas Pandu segera naik ke top untuk instalasi fix rope, Jacinda menyiapkan drone, Intan, dan Mas Hafiz memasang flysheet. Selepas alat siap dan tali fix rope sudah terpasang, intensitas gerimis mulai meningkat dan perlahan berubah menjadi hujan. Segera saja kami mengamankan peralatan pemanjatan dan berteduh di bawah flysheet kecuali Mas Pandu yang memilih meneduh di atas karena tak sempat turun. Di tengah hujan satu persatu dari kami terlelap dengan posisi tidur ala kadarnya. Hujan mulai reda pukul sebelas siang kemudian kami kembali menyiapkan peralatan pemanjatan. Kali ini Jacinda akan menjadi leader dan Andhika sebagai belayer. Pukul dua belas aku dan Mas Hafiz turun untuk menunaikan ibadah salat Jumat. Di basecamp dari kejauhan kulihat Mas Pandu sudah bergantungan di atas tebing dan siap untuk mendokumentasikan pemanjatan Jacinda.

Aku berangkat Jumatan menggunakan sandal milik mas Hafiz, namun selepas Jumatan sandal yang kugunakan raib padahal kami bergegas keluar dari masjid selepas salam kedua. “Memang sandal merek itu lagi trend di Lombok” ujar Mas Hafiz. Lucunya saat aku tengah kebingungan mencari sandal, aku asal menunjuk sandal terdekat dengan kami, “Ini kan ya Mas, sandalnya?” tanyaku kepada Mas Hafiz. Tiba-tiba dari belakangku muncul seorang bapak yang kemudian mengenakan sandal yang tengah kutunjuk. Bercampur rasa malu dan bersalah, kemudian aku dan Mas Hafiz pergi dengan kondisiku tanpa alas kaki dan Mas Hafiz yang sudah mengikhlaskan sandalnya. Selepas salat Jumat aku dan Mas Hafiz pergi untuk membeli makan siang. Kami membeli ayam geprek di pinggir jalan seharga sepuluh ribuan. Di tengah perjalanan kembali ke basecamp Tebing Pengsong kami mampir di warung kelontong untuk membeli beberapa sachet minuman bubuk serta es batu yang merupakan titipan dari teman-teman di tebing.

Dari basecamp dapat kulihat Jacinda sudah top di jalur yang ia panjat yakni jalur Perampuan. Jalur ini dinamakan Perampuan karena jalur ini biasanya digunakan untuk pemanjat perempuan. Apabila laki-laki memanjat jalur ini biasanya akan diolok-olok perempuan. Jalur ini memiliki total 6 runner hingga top dengan grade 5.8. Crux jalur ini berada di runner pertama ke runner kedua. Selepasnya jalur ini dibilang mudah dikarenakan bentuknya yang seperti tangga dengan pegangan kecil. Kudengar Jacinda sedikit kesulitan saat hendak melewati crux ini dan sempat jatuh saat hendak meraih runner kedua. Sesampainya di atas tebing Jacinda sudah beralih menjadi belayer dan Andhika sedang memanjat jalur Undercut. Jalur ini terdiri dari 5 runner hingga top dengan grade 5.9b. Crux pada jalur ini terdapat pada runner kedua menuju runner ketiga dikarenakan terdapat roof kecil dengan pegangan yang minim di atasnya. Andhika berhasil memanjat hingga runner kedua dan sudah sampai di area runner ketiga namun belum dapat mengaitkan tali ke runner.

Pukul 13.30 WITA kami semua istirahat untuk makan siang. Kembali kami kecolongan nasi bungkus yang kami bawa oleh monyet. Monyet itu berhasil membawa jatah sarapan Mas Pandu yang belum sempat dimakan. Tak masalah sebenarnya karena Mas Pandu memiliki jatah makan siang, namun menjadi PR untuk kami karena perlu mengambil bungkusnya yang dicampakkan begitu saja setelah isinya dilibas habis. Andai saja monyet-monyet di sini dapat diajak bekerja sama untuk membuang sampah pada tempatnya, maka tak perlu ragu kan kuberikan nasi bungkus untuk mereka haha. Tapi aku tersadar jangankan monyet, manusia pun masih banyak yang membuang sampah sembarangan meski memiliki akal pikiran dan sudah tersedia fasilitas tempat sampah. Namun dari sini kami menyadari satu hal bahwa monyet-monyet ini takut dan kabur tatkala kami sinari menggunakan laser dan laser pun menjadi senjata andalan untuk mengusir monyet-monyet yang usil mendekat.
Selepas makan siang kini giliranku untuk memanjat. Sebelumnya aku sempat menjadi belayer untuk Mas Hafiz namun pemanjatan hanya berlangsung sebentar dikarenakan Mas Hafiz sudah lama tak melakukan kegiatan pemanjatan. Kegiatan pemanjatan jalur ini berjalan lancar, Gaby sebagai vertikal dokumenter dan Jacinda sebagai pilot drone mengabadikan momen pemanjatanku. Selepas sampai di top beberapa kali dilakukan pengulangan pengambilan video guna keperluan footage. Pukul 16.29 WITA kami sedang dalam proses packing dan cleaning alat. Kami baru turun pukul 18.10 WITA karena membuat topografi tebing terlebih dahulu selepas packing. Sesampainya di basecamp kami disambut oleh Mas Rama dan ‘inaq’nya. Inaq adalah sebutan untuk seorang ibu dalam bahasa Sasak. Kami disuguhi hidangan khas yakni ares, makanan khas Lombok yang terbuat dari pelepah atau kedebong pisang yang masih muda, disajikan dengan kuah santan yang membuat hidangan ini memiliki cita rasa gurih. Tak terasa sedikitpun rasa aneh ataupun pahit dalam hidangan ini meski terbuat dari kedebong. Ares biasanya disajikan saat acara-acara tertentu seperti saat pernikahan ataupun peringatan hari kesembilan orang meninggal dan sangat jarang dimasak di luar acara tersebut. Namun kini di hadapan kami tersaji empat piring ares yang menggugah rasa penasaran kami untuk mencobanya. Ucapan terima kasih dan salam perpisahan kami berikan kepada Mas Rama sekeluarga saat kami pamit undur diri. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pak Arbain, karena pagi tadi kami mendapat ajakan untuk makan siang bersama beliau. Namun dikarenakan kegiatan pemanjatan baru selesai sore hari barulah kami dapat mengunjungi beliau.

Kami tiba di kediaman Pak Arbain pada pukul 19.28 WITA. Di sana kami langsung di sambut oleh Pak Arbain dan keluarganya. Pak Arbain memiliki rumah dan pekarangan yang luas di belakang gedung tempat beliau membuka praktek dokter gigi. Selepas berbincang sejenak sembari menunggu beberapa dari kami melakukan salat, kami diajak untuk berpindah dari meja dan kursi payung taman ke gazebo yang lebih luas untuk makan malam bersama. Di depan kami yang duduk melingkar tersaji hidangan berupa nasi, pepes ikan, tahu, dan tempe goreng, sayur asem, dan kerupuk lendong yang terbuat dari kulit sapi (mirip seperti kerupuk rambak di Jawa namun terasa lebih renyah dan kering) serta ditambah dengan buah rambutan sebagai pencuci mulut. Kami makan dengan lahap hingga aku dan Mas Pandu menghabiskan dua buah pepes ikan yang disuguhkan. Jujur saja pepes ikan ini sungguh lezat menurutku dan Mas Hafiz dan teman-teman lainnya juga menyetujui. Selepas makan kami berbincang dan bercanda bersama istri Pak Arbain dan kakaknya iparnya. Andhika yang dibercandai terkait vespanya karena putra kakak ipar Pak Arbain merupakan anak vespa. Mas HAfiz yang digadang pemain bola handal dari Lombok Tengah, aku yang dibercandai sering menghabiskan waktu dengan memarkir di Terminal Jombor tatkala luang, Jacinda yang sering makan rambutan beserta kulitnya, dan lain-lain. Kami pamit undur diri kepada Pak Arbain dan keluarganya setelah kami rasa sudah cukup larut malam. Perjalanan pulang menuju rumah Bu Eka terasa lama dan berat karena mengantuk akibat fisik yang lelah dan perut yang kenyang. Setibanya di rumah Bu Eka kami segera melakukan kegiatan rutin yakni evaluasi dan briefing. Karena esok adalah hari terakhir kami di Lombok, kami menyepakati beberapa tempat yang akan kami kunjungi selama free time kami. Kemudian kami melakukan packing untuk kepulangan, bersih diri, dan kemudian istirahat tidur.

 

bersambung ke Part 4 Surga Tersembunyi di Pulau Seribu Masjid

Muhamad Daffa Aditya Eka Pratama, Tim Gladimadya Panjat Tebing: Mapagama Climbing Expedition “Tulaq Jok Lombo'”, 2023.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.