Panjat Ceria di Nglanggeran

By Chairumi Tyas Satiti (Chaty)

“Mas, dompetku kayaknya ilang pas manjat, deh.” ujar Samid sore itu. Kami yang sedang membantunya mencari dompet warna putih itu berhenti mendengar ucapannya. Kemudian Azis memasang instalasi leader dan Samid mem-belay.

Setelah agak lama, Azis berseru dari atas, “Oi, ketemu nih!” dan kami semua tertawa. Kami tidak habis pikir, panjat ceria ini diwarnai dengan peristiwa “rescue dompet”.

Hari Sabtu, 5 Februari 2011, saya dan beberapa teman dari Mapagama (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada) pergi ke daerah Gunung Kidul, tepatnya di Gunung Api Purba Nglanggeran untuk panjat tebing bersama.

Seminggu sebelumnya saya baru saja selesai mengikuti Gladimula (sebutan untuk diksar Mapagama) XXVII dan posisi saya masih “anak bawang” di Mapa (kalau sekarang ya bukan anak bawang lagi J).

Kami berkumpul di aquarium (markas Mapagama) hari Sabtu pagi. Bersama Azis, Aries, Laras, Incem, Sony, Samid, Rohmat, Zul, Veri, dan Kukuh, saya berangkat dari aquarium ke Nglanggeran dengan motor. Sepanjang perjalanan saya masih merasa mengantuk dan membayangkan apa yang akan terjadi di sana, apakah saya bisa memanjat tebing ini? Jujur saja, saya baru sekali menjalani dan merasakan panjat tebing yaitu saat diksar. Saya terus bertanya-tanya dalam hati akan seperti apakah tebing Nglanggeran ini?

Saat rehat untuk sarapan di warung, Azis bercerita tentang tebing ini. Katanya, tebing Nglanggeran adalah tebing andesit yang puintnya tidak “seenak” tebing karst. Cara memegang poinnya kebanyakan dengan dicubit. Kemudian saya dijelaskan tentang macam-macam gaya panjat seperti free climb (memanjat tanpa bantuan alat) dan artificial climb (memanjat dengan bantuan alat seperti etrier, dll).

“Tebing andesit nggak kayak karst, waktu kamu pukul palunya, yang keluar suara ‘tang-tang-tang’ tapi nggak bolong-bolong,” ujarnya, menggambarkan sulitnya membuat jalur di tebing andesit dengan gerakan tangan kiri seolah memutar bor dan tangan kanan memukul palu.

Setelah menyantap soto, gorengan dan teh hangat (khusus Aries jeruk hangat) yang lezat, kami melanjutkan perjalanan ke daerah wisata Gunung Api Nglanggeran. Sampai di sana, kami berjalan menuju ke tebing dan menggelar alat. “Anak-anak baru” dari angkatan saya, angkatan Badai Lawu, akan memanjat jalur Nying-nying sedangkan para senior menjajal jalur di sebelah kiri jalur yang kami panjat. Kami melakukan pemanasan sebentar sebelum memanjat.

Pemanjat pertama, yang memasang runner, adalah Veri, yang dibelay oleh Samid. Saya melihat Veri lancar memanjat dengan badannya yang besar dan memasang runner demi runner, walaupun kakinya mengalami tremor (getaran di kaki) karena pemanasan kami kurang lama. Veri berhasil mengaitkan runner keempat sebelum jatuh.

Selanjutnya adalah giliran Samid memanjat. Kali ini, saya menjadi belayer. Dibantu Mas Azis dan teman-teman, saya memasang instalasi belay dan berdoa dalam hati agar kami sama-sama selamat. Saya agak takut menjadi belayer karena saat itu saya belum terlalu mahir menjaga keseimbangan dan selisih berat saya dengan sang leader, Samid, juga jauh. Di sini saya berpikir, itung-itung latihan menjaga diri sendiri dan orang lain.

Samid mulai memanjat tebing berwarna coklat kehitaman itu. Gerakannya lebih tenang daripada Veri meski dia juga mengalami tremor di kaki. Di runner keempat mendekati runner kelima, Samid melakukan treaverse ke kanan, ke arah celah sempit tempat akar-akar menggantung, kemudian naik ke atas overhang alami yang tidak terlalu besar ukurannya. Lama “menggantung” di tebing, Samid akhirnya jatuh juga. Tubuhnya terayun ke kiri dan menabrak tebing, menimbulkan bunyi “sraaakk” yang keras. Saya sedikit terseret ke arah tebing.

Kini tiba giliran saya memanjat. Setelah memasang instalasi, pelan-pelan saya memanjat tebing yang baru saya kenal ini. Sampai di runner ketiga, menjelang overhang, saya sempat merasa bimbang. Di sebelah kanan saya terdapat celah dengan tanaman merambat yang akarnya keluar, menggiurkan sekali untuk dijadikan pegangan. Saya berpikir untuk melakukan treaverse, pelan-pelan saya geser kaki dan tangan kanan saya. Ketika menengok ke bawah, saya melihat teman saya, Kukuh, kelihatan kecil sekali. Saya begitu tinggi di atas, sayang bila harus jatuh. Akan tetapi, saya akhirnya terpeleset dan terayun ke kiri.

Sampai di bawah kembali Azis berkata, “Nikmatnya manjat itu kerasa waktu kamu jatuh,”

Saya hanya tersenyum. Memang lumayan nikmat sih hari ini J.

Selanjutnya berturut-turut Kukuh, Zul, dan Rohmat memanjat. Hari itu, Rohmat-lah yang berhasil mengaitkan carabiner ke anchor terjauh yang bisa kami gapai. Sementara yang lain meneruskan acara panjat-memanjat, saya, Laras dan Incem menyiapkan sandwich untuk makan siang. Kami menyantap makanan dengan lahap dan beristirahat sebelum packing untuk pulang ke Gelanggang. Saya agak menyesal karena belum berhasil mencapai puncak jalur ini.

Kami sudah akan pulang ketika peristiwa “dompet” itu terjadi. Ketika kami semua sudah lelah memanjat, Azis bergerak untuk mencari harta Samid. Ternyata dompet itu terselip di antara celah tebing. Saya geli sekaligus kasihan pada Samid. Setelahnya, dia berkewajiban mentraktir kami, minimal bubur kacang ijo.

Hari itu kami akhiri dengan naik ke puncak tebing untuk bersantai dan mengambil beberapa foto. Juga menggoda pasangan yang sedang bercengkrama di gubuk nun jauh di bawah kami.

Acara panjat ceria ini bisa menjadi cara untuk mengasah mental dan menaklukkan ketakutan. Kegiatan ini memberi ruang untuk kita belajar bagaimana kita tetap dapat tenang dan tetap bisa berpikir dalam keadaan terdesak sekalipun, lebih spesifiknya, bagaimana kita akan menghadapi tantangan di depan mata dan bagaimana kita mencari cara untuk mencapai puncak tebing.

Lalu, setelah Nglanggeran, ke mana lagi ya?


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.