lambang HBGladimadya 2013 Mapagama “Hello Borneo!” adalah kegiatan etnofotografi dan penelusuran gua di kaki Pegunungan Muller, Desa Nanga Raun dan Sepan Padang, Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Gladimadya adalah istilah di Mapagama untuk menyebut kegiatan besar dalam rangka mendapatkan Nomor Pokok Anggota. Tim Gladimadya 2013 Mapagama terdiri dari Chika Panji Ardiansyah (GM 28), Adhikrita Arif Permana (GM 28), Gerardus Guntur (GM 28), dan Ayu Purbasari (GM 27) didampingi oleh Kukuh Prasetyo (GM 27—Pendamping Penelusuran Gua) dan Wulan Puspasari (GM 24—Pendamping Manajemen). Bertindak sebagai supporting team adalah Agus Satriawan (GM 18—Fotografi dan Publikasi), Subekti Damayanti (GM 24—Publikasi), dan Handika Rizki R (IISIP—Fotografi).

Sebuah perjalanan meniti sebuah mimpi. Ya, itu mungkin sebuah kalimat untuk serangkaian cerita tentang perjalananku dalam persiapan untuk mewujudkan mimpiku ke Borneo. Salah satunya tryout di Luweng Cokro, 11-12 Januari 2013.

Luweng Cokro terletak di Desa Blimbing, Ponjong, Gunung Kidul. Salah satu gua vertikal dari ratusan gua di daerah Pegunungan Sewu. Luweng ini menjadi menarik ketika konsepnya diubah dari luweng yang ditakuti menjadi gua wisata. Pada awalnya warga sekitar dengan berbagai kepercayaannya sangat sulit menerima.

cokro dan aku

Konon, luweng ini sering dipakai warga yang frustasi untuk bunuh diri dengan cara terjun ke dalam luweng. Hal teresebut salah satu alasan kenapa ketika kami memasuki luweng tersebut terdapat gundukan batu kapur yang menggunung. Ternyata hal tersebut dilakukan oleh warga sekitar yang bermaksud meninggikan permukaan tanah dasar luweng supaya tidak terlalu dalam. Tetap saja sudah banyak batu kapur yang menggunung namun tetap dalam dan masih saja digunakan untuk bunuh diri.

Sejalannya waktu, luweng ini ditemukan oleh beberapa penulusur gua pada awal tahun 2000. Semenjak itu luweng ini mulai dikelola sebagai wisata karst minat khusus. Hingga pada akhirya sekarang Dinas Pariwisata Gunung Kidul pun ikut mengelola bersama warga sekitar. Batu-batu kapur yang menggunung di dalam luweng dimanfaatkan sebagai alas jalan penelusuran yang sebagaian besar permukaan gua diselimuti lumpur. Di luar luweng juga didirikan gubuk disertai alat-alat penelusuran sebagai fasilitas bagi pengunjung yang berencana memasuki luweng.

cokro

Keadaan Luweng Cokro saat ini sudah sangat berbeda keadannya dibandingkan dengan saat pertama kali aku ke luweng ini—sekitar 1-3 tahun yang lalu. Dari 4 kali penelusuranku, pasti selalu ada yang berbeda. Entah itu dari fasilitas bagi pengunjung, atau bentukan dan ornamen di dalam luweng. Melihat keadaannya, timbul rasa antara senang karena luweng ini bisa menghidupi warga sekitar dan sedih ketika keaslian ornamen gua mulai terganggu. Memang aku melihat belum adanya keseimbangan—keseimbangan antara pengetahuan tentang gua dari pengelola luweng dengan pengunjung yang kurang bertanggung jawab.

Terlepas dari itu semua, aku cukup senang karena aku bisa kembali memasuki Luweng Cokro. Tak peduli berapa kali aku sudah memasukinya, karena pasti selalu ada cerita di setiap perjalannya. Seperti penelusuranku kali ini bersama tim Hello Borneo. Niat kami memasuki Luweng Cokro adalah untuk latihan fotografi gua guna mempersipkan tim untuk kegiatan lapangan di Kalimantan nanti.

(oleh Adhikrita Arif Permana/Adhi edited by Author)

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.