Debar lembut di dalam relung rusuk kiriku terasa menguat ketika hijaunya perbukitan bersembulan di depan mata, menggantikan hutan rapat di kanan dan kiri yang sebelumnya menemani sepanjang jalan. Keindahan yang sempat membuatku terbuai dan ingin bermalas-malasan sambil menikmati alam, melupakan manajemen yang telah kami persiapkan sebelumnya.
Buru-buru kuluruskan lagi niatku di sini. Aku dan timku adalah orang-orang yang beruntung, kami berkesempatan untuk menjalani Gladimadya pertama Divisi Paralayang yang sekaligus merupakan Gladimadya pertama di tahun 2019. Tidak boleh disia-siakan.
Roda mobil bergulir hati-hati di tangan Mas Banu menuruni jalan aspal berpasir yang tampak sedang mengalami perbaikan. Sebelumnya beberapa kali Mbak Tata yang ada di sisiku membetulkan posisi duduknya yang kurang nyaman, berbagi kursi penumpang depan selama 3 jam perjalanan bukan hal terbaik yang bisa kau alami, namun lanskap cantik di seberang sana cukup mengobati kesal dan pegal.
Selain Mas Banu, Mas Aziz serta teman-temannya dari Karang Taruna Jaya Sakti juga ikut dalam perjalanan kami ke Sembalun. Bedanya jika Mas Banu dan Pak Tri (yang menyusul kemudian) akan ikut berkegiatan dengan kami, Mas Aziz yang menetap di Mataram hanya mengantar saja dan pulang setelah beristirahat sejenak di Sembalun.
Sepanjang perjalanan tampak beberapa kali Mas Gara yang dibonceng oleh Mas Aziz menggunakan motor mendokumentasikan perjalanan, jika sedang bersisian dengan mobil yang kami naiki aku sengaja menyembulkan kepala keluar jendela dan menyeringai lebar-lebar. Rasanya menyenangkan sekali, dalam keadaan seperti ini kepanikan saat keberangkatan kemarin seakan tidak pernah terjadi.
Bayangkan saja, bisa-bisanya saat hari-H Gladimadya ada anggota yang tiba-tiba hilang dan tidak dapat dihubungi. Padahal kami akan berangkat menggunakan pesawat yang sangat ketat mengenai masalah waktu. Untung akhirnya orangnya muncul saat waktu sudah sangat mepet sehingga kami dapat tiba di bandara sebelum kehabisan waktu. Semua berkat bantuan Mas Sholeh, Mas Faiq, dan juga Lyan yang mengantarkan kami menggunakan motor ke Adi Sutjipto.
Kembali ke masa sekarang, mobil dan motor kami melambat sebelum akhirnya berbelok masuk ke dalam gerbang dengan tulisan “Lembah Rinjani Villa & Resto”. Di sinilah kami akan menginap untuk beberapa hari ke depan. Anggota tim perempuan akan tidur di dalam rumah utama bersama Mba Elly sementara anggota tim laki-laki akan mendirikan tenda di halaman villa. Mba Elly selaku pemilik Lebah Rinjani merupakan Kagama yang dimintai bantuan oleh Mas Sidiq untuk menampung kami selama berkegiatan di Sembalun. Tidak bisa diungkapkan bagaimana bersyukurnya kami bisa seberuntung ini mendapatkan bantuan dari orang-orang yang peduli dan menyayangi kami.
Setelah building rapport dengan Mba Elly dan makan siang dengan soto khas Lombok yang mirip-mirip dengan rawon, kami melakukan pemasangan spanduk “Airmanship” yang merupakan kode etik penerbangan paralayang. Harapannya dengan adanya pengingat berupa spanduk tersebut pilot yang berkegiatan di Sembalun akan lebih mengedepankan keamanan dalam penerbangan.
Usai memasang spanduk yang dibantu oleh Sendy–pilot lokal di Sembalun–kami mencoba untuk groundhandling di dekat Villa Mba Elly, namun angin yang kecil serta tanah yang tidak rata dan banyak batu membuat kami kesulitan untuk mengembangkan parasut. Akhirnya kegiatan itui hanya berlangsung sebentar.
Hari itu ditutup dengan memasak makan malam bersama, evaluasi, dan briefing. Kompor yang kami gunakan sempat bermasalah sehingga perlu dibongkar dan dirangkai ulang, namun setelahnya kegiatan berjalan lancar dan kami pun beristirahat di tempat yang sudah ditentukan sebelumnya.
***
Tidak seperti hari Minggu biasanya di mana aku bersantai dan tidak produktif, hari itu sejak pagi kami sudah sibuk mempersiapkan diri untuk berkegiatan. Mba Tata dan Sign memasak terlebih dahulu sementara aku bersih diri sebelum menyusul mereka memotong bahan makanan di berugak (bale) Villa Lembah Rinjani. Di tenda yang tak jauh dari sana Mas Gara berkutat dan menyiapkan perlengkapan dokumentasinya.
Setelah sarapan Tim Gladimadya beserta Sendy dan Mba Elly berangkat ke Bukit Siswa yang berjarak tidak begitu jauh dari basecamp kami, paling hanya sepuluh-lima belas menitan menggunakan motor.
Sendy berperan sebagai windami, yaitu orang yang pertama kali melakukan penerbangan. Ia dibantu take off oleh Mas Qadar, pilot lokal lainnya di sana. Saat itu sempat terjadi peristiwa yang membuat lututku lemas. Angin yang berhembus rupanya terlalu kencang sehingga menerbangkan Sendy yang sudah terangkat oleh parasut ke arah bebatuan di sisi kiri take off.
BUAK! Terdengar bunyi kencang saat tubuh Sendy terbanting ke sana. Belakangan kami baru tahu benturan itu bahkan membuat LCD ponsel yang dikantongi Sendy pecah.
Sudah? Tentu belum. Di percobaan take off berikutnya Sendy berhasil mengindari bebatuan tadi, namun ia yang terbang dengan reverse launch membalikkan tubuh ke arah yang salah sehingga ketika tubuhnya sudah setinggi sekitar 2 meter dari kami, riser dan togel untuk mengendalikan parasutnya malah terbelit! Tidak dapat mengendalikan togel sama artinya dengan parasut yang tidak terkendali dan bisa mencelakakan pilot serta orang di sekitarnya. Untungnya ketika sudah terbang cukup tinggi Sendy berhasil memutar tubuhnya ke arah yang benar sehingga risernya tidak lagi terbelit dan ia berhasil melakukan penerbangan dengan selamat.
Kejadiannya sangat cepat, tidak sampai 2 menit, namun aku mengingat peristiwa itu sebagai potongan-potongan gambar mengerikan yang diputar dengan slow motion. Jika Sendy tidak bisa berpikir cepat dan tenang pada saat itu, sudah tentu kami akan menjadi saksi dari sebuah kecelakaan. Semudah itu tragedi terjadi dalam Paralayang. Setelahnya Mba Tata, Mas Gara, dan Sign melakukan penerbangan yang untungnya berjalan dengan lancar.
Namun tetap saja, insiden sebelumnya seperti menumbuhkan tunas kecil di dalam hatiku. Tunas itu mungil, keriput, dan jelek sekali. Orang-orang memanggilnya sebagai rasa takut.
***
Sesuai dengan brainstorming dan briefing hari pertama dengan Mas Banu saat kami masih ada di basecamp Karang Taruna Jaya Sakti, penerbangan yang sebelumnya direncanakan hanya akan dilakukan di Bukit Siswa bertambah menjadi Bukit Telaga, Bukit Pergasingan, dan juga Bukit Sombeng di Mandalika. Perimbangannya adalah untuk memperkaya hasil dokumentasi kami, sehingga ada yang berlatar belakang perbukitan dan juga pantai. Tentu ini sudah mendapat persetujuan dari Mas Get.
Pada hari Senin, 9 September 2019 ini yang akan melakukan penerbangan adalah tim Gladimadya minus aku ditambah dengan Sendy. Mereka berempat menaiki Bukit Telaga sementara aku, Mba Elly, Mas Anto selaku instruktu kami di sini, Mas Banu, dan juga Pak Tri yang sudah tiba di Sembalun menunggu di landing.
Setelah terbang dari Bukit Telaga kami semua beristirahat sebentar di warung tepi sawah milik Mas Pur. Di sana dijual berbagai makanan olahan sayur dan buah seperti jus dan salad, tapi junkfood seperti mie instan juga ada. Tempatnya nyaman sekali dengan pemandangan yang indah. Sayangnya angin sangat kencang sehingga sering kali menerbangkan barang-barang kami.
Setelah dari sana rencananya kami akan ke Bukit Siswa untuk menerbangkanku dan Pak Tri serta Mas Banu yang sudah lama tidak terbang sebagai pemanasan sebelum terbang di Pergasingan. Namun karena angin sedang tailwind penerbangan tidak bisa dilakukan. Pada akhirnya kami memutuskan untuk berangkat lebih awal ke Bukit Pergasingan, yang awalnya direncanakan akan dilakukan pada malam hari dimajukan menjadi menjelang Magrib.
Aku tidak mengatakannya, namun sejujurnya aku agak merasa lega karena tidak jadi terbang hari itu. Bayangan Sendy yang melayang dengan posisi riser yang kusut masih mengambang di pelupuk mataku.
***
Langit berwarna jingga kelam ketika langkah kami menapak satu-satu menaiki Bukit Pergasingan. Baru beberapa belas menit pandanganku sudah kurang jelas dan aku beberapa kali tersantung. Kuputuskan untuk mengeluarkan senter.
Beban yang kubawa hanya berupa tas kamera milik Mas Gara yang tidak sampai 10 kg. Sementara itu beberapa dari kami naik dengan membawa parasut yang beratnya mencapai belasan kilogram dan besarnya memenuhi jalan.
“Gladimadya Paralayang rasa GH,” celetuk seseorang yang membuatku nyengir. Ini pertama kalinya kami melakukan hike and fly. Sebelum-sebelumnya kami biasa berkegiatan di lokasi yang tempat take offnya mudah diakses dengan kendaraan.
Aku, Sign, dan Mas Gara tiba di puncak bukit terlebih dahulu. Setelah mengambil napas sebentar kami buru-buru membangun tenda karena kondisi di puncak bukit sangat berangin. Setelah satu tenda jadi tak lama kemudian anggota tim yang lain tiba dan ikut membantu pemasangan tenda satunya. Setelah semua beres kami makan malam, evaluasi dan juga briefing.
Anehnya kondisi di puncak bukit tidak sedingin di Villa Lembah Rinjani sehingga aku dan Mba Tata tidur lebih nyenyak dari biasanya. Mungkin karena pendakian tadi menguras tenaga kami, sehingga tubuh kami benar-benar mengistirahatkan diri.
***
Selasa, 10 September 2019.
Mas Banu, Mba Tata, Pak Tri, dan Mas Gara persiapan untuk terbang setelah kami mengemas tenda dan perlengkapan.
Mas Banu take off dengan lancar, tampaknya anginnya masih bersahabat. Ketika Mba Tata akan mencoba take off angin berembus kencang sehingga cukup lama sebelum akhirnya Mba Tata berhasil lepas landas. Saat Pak Tri akan terbang angin sudah mulai “galak”, sampai-sampai Pak Tri terbawa terbang ke belakang lokasi take off, untung ia tidak kenapa-kenapa dan pada akhirnya berhasil melakukan penerbangan.
Selanjutnya adalah giliran Mas Gara. Agak sedih melihatnya yang sudah siap dengan helm duduk-duduk, berdiri, berjalan mondar-mandir menunggu anginnya ideal untuk terbang. Berbeda denganku yang masih takut terbang, ia tampak menikmatinya. Kemarin saat take off dari Bukit Telaga saja ia terbang sampai lebih dari 1 jam. Jika ia tidak sabaran tentunya ia sudah mencoba untuk lepas landas dari tadi, namun ada satu hal yang benar-benar ditanamkan Mas Get pada murid-muridnya : lebih baik tidak terbang hari ini dari pada terbang hari ini tapi tidak bisa terbang esok hari.
Menjelang siang angin semakin tidak memungkinkan sehingga akhirnya kami memutuskan untuk turun. Mas Gara dan Sign turun terlebih dahulu sementara Sendy menemaniku yang berjalan turun dengan perlahan-lahan.
Kami beristirahat sebentar di Villa Lembah Rinjani sebelum berangkat ke Bukit Siswa. Sejujurnya aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Gembira karena akhirnya akan terbang? Takut karena belum siap dan teringat kerjadian yang menimpa Sendy?
Namun pada akhirnya aku tetap melakukan penerbangan, meskipun karena miskomunikasi pendaratan yang kulakukan kurang lancar, aku hanya mengalami sedikit lecet-lecet dan tidak ada keseleo dan sejenisnya.
Seperti biasanya setelah kembali ke basecamp kami makan memasak, makan malam, kemudian dilanjutkan evaluasi dan briefing.
***
Hari Rabu. rencananya hari ini kami moving ke Mataram sebelum pergi ke lokasi berikutnya, Bukit Sombeng. Namun sebelum itu kami melakukan perbaikan pada spanduk yang dipasang di take off Bukit Siswa. Rupanya rangka bambu yang kami gunakan kurang kuat menopang spanduk tersebut. Rangkanya kami ubah menjadi menggunakan kayu dan lokasinya kami pindahkan ke landing karena memiliki berugak yang dapat melindungi spanduk dari panas dan hujan sehingga akan lebih awet.
Setelahnya kami packing dan bergerak menuju Mataram. Aku, Mba Tata, dan Pak Tri menumpang mobil pick up paman Sendy. Di perjalanan kami mengobrol dengan seorang bapak-bapak yang baik namun cukup cerewet. Ia memberikan kami 2 bungkus buncis goreng dan 1 bungkus strawberry, kemudian bercerita banyak mengenai pekerjaan dan anak-anaknya.
Sesampainya di Mataram kami bermalam di rumah Pak Adit, teman dari Mas Banu.
***
Kamis subuh tadi Mba Tata berangkat ke bandara diantar oleh Sign. Ia terpaksa pulang terlebih dahulu karena ada urusan akademik yang mendesak dan tidak memungkinkan untuk ditinggal. Selanjutnya tugas sebagai koordinator lapangan akan diback up oleh Sign dan tugas konsumsi serta P3K akan diback up olehku.
Menjelang siang setelah sarapan tim yang kini beranggotakan Aku, Sign, Mas Gara, Mas Banu, dan Pak Tri kemudian pergi ke rumah Mas Sigit untuk berkonsultasi mengenai lokasi penerbangan dan menitipkan motor. Selanjutnya dengan satu mobil kami bergerak menuju Bukit Sombeng di Pantai Torok Aik Belek, Praya Barat Daya.
Sore itu Pak Tri, Mas Banu, Mas Gara, dan Sign melakukan penerbangan. Aku sempat ditawari untuk terbang juga, namun aku tidak yakin untuk melakukan penerbangan karena tidak seperti Mas Anto, pendamping yang melepas terbang di sini belum benar-benar mengetahui skill ku sehingga aku takut jika mereka terlalu memercayakanku untuk mengambil keputusan saat terbang. Akhirnya aku mendokumentasikan penerbangan dari take off.
Setelah selesai kami turun dan beristirahat di warung yang terletak di kaki Bukit Sombeng. Di sana kami bertemu dan mengobrol dengan Mas Agung serta Mas Yusuf yang juga merupakan pilot dan sering terbang di sini. Obrolan tersebut mengalir dengan seru, apalagi tak lama kemudian ibu penjaga warung di sana menyuguhkan hidangan untuk makan malam. Tanpa terasa langit sudah menggelap. Mas Gara dimintai bantuan oleh ibu penjaga warung untuk menyembelih ayam. Ia bertugas memegangi kaki ayamnya sementara bapak-bapak di sana yang memegang pisau. Aku merekam kejadian itu dengan penasaran sekaligus ngilu.
“Bagaimana jika kita menginap di sini saja?” tawar Mas Banu. Sebagai sie komunikasi sebenarnya aku cukup keberatan karena di sana tidak ada sinyal sehingga aku tidak bisa membuat laporan ke Mapagama, namun mempertimbangkan keamanan serta keefisienan waktu akhirnya kami menginap di sana. Sebelum tidur aku sempat naik ke bukit kecil di belakang warung dan berjalan ke pantai di depannya untuk mencari sinyal, namun hasilnya niihil. Ya sudah, besok pagi akan kujelaskan pada Mba Deswita selaku penanggungjawab sekre kami.
Aku tidur dengan ibu penjaga warung di dalam kamarnya sementara anggota tim yang lain tidur di teras warung. Aku sempat kesulitan tidur karena kasur di sana berlubang sehingga ketika ada orang yang berbaring di atasnya maka kasurnya akan ‘ndelesep’ ke bagian tengah. Namun lokasi jauh dari kebisingan perkotaan membuatku pada akhirnya jatuh tertidur juga
***
Sebelumnya kami berencana untuk melakukan penerbangan dulu pagi-pagi sekali, setelahnya baru turun untuk sarapan. Namun karena angin yang tidak mendukung akhirnya kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu, baru setelahnya mendaki Bukit Sombeng dan melakukan kegiatan.
Kali ini Sign tidak melakukan penerbangan karena anginnya terlalu kencang untuk yang belum PL1. Seperti sebelum-sebelumnya kali ini Mas Gara mendapat giliran terbang terakhir. Pak Tri dan Mas Banu berhasil take off. Dari atas mereka memperingatkan untuk berhati-hati karena anginnya sedang kencang. Setelah menunggu sekian lama rupanya angin malah semakin kencang dan tidak ideal untuk penerbangan. Mas Banu dan Pak Tri selesai lebih cepat dibandingkan penerbangan yang kemarin.
Aku sempat sedih karena lagi-lagi Mas Gara harus melipat parasut sebelum sempat terbang. Tapi dengan ringan dia mengatakan, “Kalau soal ngga jadi terbang aku sudah biasa. Kalau anginnya ngga memungkinkan ya lebih baik ngga terbang dari pada kenapa-kenapa.”
Sangat khas murid Mas Get sekali hahaha.
Suatu hari nanti aku ingin bisa sepertinya. Cukup berani untuk terbang, namun cukup berotak untuk memutuskan kapan harus tidak terbang karena cuaca. Bukan tidak terbang karena masih takut—sepertiku sekarang.
Akhirnya kami berkemas dan turun. Setelah pamitan dengan ibu penjaga warung kami bergerak kembali ke tempat Mas Sigit untuk bersih diri, Jumatan, dan mengambil motor. Sebelum kembali ke tempat Mas Aziz di Mataram kami sempat mengobrol dengan Mas Sigit dan mendengarkan ceritanya saat ia ikut shooting Celebrity on Vacation sebagai pilot tandem. Di situ dia menyamarkan namanya menjadi Michelle wkwk.
Setelah kembali ke Mataram kami mengeluarkan barang-barang dari mobil karena hendak mengembalikannya ke tempat rental. Setelahnya beberapa dari kami ada yang beristirahat dan beberapa lainnya mengikuti lokakarya kecil-kecilan yang dibuat Mas Aziz mengenai pernak pernik dari resin. Mas Aziz menerangkan apa saja bahan bakunya, di mana kami dapat mendapatkannya, takaran masing-masing bahan, sampai praktek pembuatannya.
Malam harinya kami makan lalapan bersama di sekretariat karang taruna. Beberapa waktu kemudian anak-anak karang taruna mengadakan rapat. Pada saat itu kami memutuskan untuk mencari oleh-oleh dan setelahnya melakukan evaluasi serta briefing untuk kepulangan esok hari.
***
Sial. Sial. Sial.
Kami terlambat 20 menit untuk check in sehingga ketinggalan pesawat.
Oke, oke. Ini bukan kesialan. Ini konsekuensi buruknya manajemen waktu dan pilihan transportasi kami. Jika saja kami lebih bergerak cepat pagi ini. Andai kami menolak tawaran Mas Aziz untuk meminjam mobil dari temannya dan menggunakan taxi online saja. Coba begini. Harusnya begitu. Kalau saja seperti ini. Blalablabla… Penyesalan langsung mengalir deras membanjiri hatiku. Mana laporan sudah dibuat dan dikirim pada Mba Deswita. Buru-buru aku meng-unsend-nya
Meskipun rasanya frustasi dan marah sekali, aku tidak dapat memproyeksikannya pada Sign yang berperan sebagai koordinator lapangan sekaligus transportasi karena menurutku ini adalah tanggung jawab kami bersama. Mas Gara yang susah dibangunkan, Sign yang masih tidur-tiduran padahal sudah bangun, serta aku yang kurang tegas meng’oyak-oyak’ mereka. Tidak ada gunanya saling menyalahkan karena pada kenyataannya kami memiliki ‘dosa’ kami masing-masing.
Jadi alih-alih mengomeli Sign–yang wajahnya kecut dan tampak merasa bersalah sekali–aku hanya bisa berkata, “Tetap semangat ya.”
Dengan kuyu kami pun menghubungi Mas Banu yang tadi mengantar kami. Untungnya ia masih ada di bandara. Setelah sarapan dan brainsorming akhirnya diputuskan bahwa kami akan kembali ke Yogyakarta menggunakan jalur laut dan darat.
Kami pun pergi ke Pelabuhan Lembar untuk membeli tiket kapal. Saat itu masih pagi, dan ternyata Oasis–kapal yang kami beli tiketnya–akan datang ke sana pukul tujuh malam nanti. Kemungkinan akan berangkat menuju Pelabuhan Tanjung Perak pada pukul sembilan malam.
Ingin rasanya mengumpat.
Itu artinya kami harus menghabiskan sekitar 11 jam di pelabuhan tersebut, lalu berlayar hingga besok malam dan baru sampai di Jogja keesokan subuh yang tak lain adalah hari Senin sehingga kami akan langsung kuliah. Jika tidak terlambat check in kami sudah di Jogja sore ini. Waktu, uang, dan tenaga yang bisa kami pergunakan untuk hal yang lebih baik hangus tak bersisa karena ketedoran yang tampak kecil. Sungguh sebuah tamparan keras. Aku bertekad untuk tak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Karena nasi sudah menjadi bubur maka mau tak mau plan darurat ini kami jalani saja.
Kapal Oasis yang kami tumpangi tampak bersih dan nyaman, penumpangnya pun tidak padat. Ada ruang penumpang dengan kursi mirip kursi di pesawat. Ada ruangan dengan kasur. Sebagai penumpang kelas ekonomi kami mendapatkan ruangan dengan kursi pesawat tadi. Selain ruang penumpang di sini juga ada coffee room, kantin, mushola, bahkan tempat bermain untuk anak-anak. Aku berusaha melihat sisi positif kejadian ini–akhirnya aku naik kapal lagi setelah sekian lama. Kapalnya pun bagus dan memiliki fasilitas yang cukup lengkap.
Selama di kapal tak banyak yang kulakukan. Paling hanya makan, tidur, menonton film yang diputar di televisi di depan ruangan, serta hunting foto dengan berkeliling kapal. Sign sering nongkrong dengan teman barunya yang ia kenal di pelabuhan, dan Mas Gara lebih sering tidur.
Sebelum kapal bersandar mereka berdua sempat-sempatnya mandi. Aku yang awalnya tidak mau mandi akhirnya gengsi menjadi yang paling dekil sendiri sehingga memutuskan untuk mandi juga huehehe.
Kapal sampai di pelabuhan Tanjung Perak sekitar pukul 18.00 WIB. Setelahnya kami bergerak menuju Jogja menggunakan travel. Pada pukul 4 dini hari kami sampai di rumah kami tercinta, Perumahan Dosen UGM blok D11, dan langsung bersiap untuk menjalankan perkuliahan.
Jalan-jalan boleh, tapi kuliah tetap nomor satu.
(Oleh : Erika K. Madiaferry)
0 Comments