Langkah pertama di Tanah Pasundan

Jumat, 8 Apri 2022. Sembilan orang anggota tim Gladimadya Tapak Bumi Pasundan yang terdiri atas Angga, Bayu, Shela, Viola, Maulida, Al, Alam, Jeffy, dan Hakim memulai langkah pertama di kegiatan akhir lapangan Gladimadya. Kami akan berangkat menuju ke Bogor, Jawa Barat dengan menaiki kereta api pukul 21.00. Kami bersembilan diantarkan oleh teman-teman Mapagama menggunakan motor menuju tujuan pertama kami, Stasiun Lempuyangan. Aku sebagai salah satu anggota tim cukup lelah dengan rangkaian Gladimadya yang sangat panjang ini. Angkatan ini pun belum genap satu tahun berada di Mapagama. Tetapi pada akhirnya kami dapat melaksanakan kegiatan ini setelah tertunda-tunda karena banyak hal.

Kereta api yang kami naiki adalah kereta Bengawan, dengan tujuan akhir Stasiun Pasar Senen dan waktu tempuh kurang lebih hampir 12 jam perjalanan. Ya, waktu yang lama untuk tertidur pulas dan menikmati alam mimpi di kereta. Perjalanan malam hingga pagi terasa sangat cepat. Begitu terbangun, aku selalu mengecek posisi sekarang melalui google maps dan mendapati bahwa kereta transportasi yang aku naiki telah tiba di Jawa Barat, di Tanah Pasundan. Tepatnya daerah Bekasi. Bangunan-bangunan megah berbentuk apartemen mulai terlihat menutup pandangan cakrawala. Waktu kedatangan kami menuju ke Stasiun Pasar Senen di Jakarta tinggal sebentar lagi. Aku sudah tidak sabar untuk menginjakkan kaki dan berpetualang kembali di Tanah Pasundan.

Kami tiba di Stasiun Bogor menggunakan KRL yang kami tumpangi dari Stasiun Pasar Senen. Sepanjang perjalanan, tampak jelas hiruk pikuk masyarakat Jakarta, Depok, dan lain-lain yang sedang melakukan berbagai macam aktivitasnya. Tampak juga pemandangan yang sama dengan di Bekasi, pencakar langit menjulang tinggi dan menghiasi ibukota Indonesia ini. Kami dijemput oleh Pak Amin dari Stasiun Bogor menuju ke Sekretariat Lawalata IPB. Pak Amin adalah sopir angkot langganan anak-anak Lawalata ketika ingin berkegiatan di Gunung Salak. Aku mendapatkan nomor beliau sendiri karena mengontak salah seorang anggota Lawalata IPB. Kami diantarkan oleh beliau menuju ke Sekretariat Lawalata IPB yang terletak di kampus IPB di daerah Dramaga. Disana, kami disambut oleh Bang Wiro, ketua Lawalata dan anggota lainnya yang dengan hangat duduk dan berbincang dengan kami, dan setelahnya kami berputar mengelilingi IPB dengan menggunakan motor dan anak-anak Lawalata sebagai pemandunya. Kawasan kampus ini menurutku memang seperti slogannya, green campus karena kami bisa melihat berbagai macam kebun, mulai dari sengon, kelapa sawit, kandang serta kawasan yang mungkin rendah polusi dan menyehatkan juga.

Memang kebiasaan mapala dari seluruh Indonesia adalah menjamu dan menemani tamu dengan baik. Di perbincangan malam, kami mendapatkan banyak ilmu pengetahuan baru, misalnya tentang survival kota, yang tentunya adalah hal yang baru bagi kami. Sebenarnya, kami ingin mengobrol dan berbagi lebih banyak lagi, akan tetapi karena tujuan kami ke lokasi ini adalah dalam menyelesaikan kegiatan pendidikan lanjut bukan untuk berwisata, kami tetap harus mematuhi rundown yang telah disusun dan tentunya SOP berkegiatan ala Mapagama.

 

Mengajari mereka

Hari ini adalah jadwal kami melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang telah kami susun sedemikian rupa pada saat pra lapangan. Kami akan melakukan kegiatan ini dengan didampingi oleh dua orang dari Sebersy, suatu organisasi non-formal yang bergerak untuk mengedukasi anak-anak dengan rentang kelas TK hingga SD, yang kurang beruntung dalam ekonomi. Sebersy sendiri adalah kependekan dari Sekolah Bersama Yuk. Kami berangkat dari Sekretariat Kampoeng Lawalata pukul 08.45 dan dijemput oleh kawan Pak Amin karena menurut penuturannya, Pak Amin sedang menjalani perkerjaan lain.

Angkot yang kami naiki melesat dari barat menuju ke timur, menuju Tegal Gundil, Bogor Utara. Aku sebagai sie kontak-kontak orang segera menghubungi Kang Bima, seorang yang kami hubungi sedari bulan kemarin, bahwa kami sedang dalam perjalanan menuju ke lokasi Sebersy. Kang Bima mengarahkan kami untuk menghubungi salah satu relawan yang berkediaman di dekat lokasi, orang itu adalah Teh Friska. Teh Friska adalah sosok yang keren. Walaupun masih muda, ia sudah terjun di dunia kerelawanan dengan mengajar anak-anak, padahal mengajar – apalagi usia anak-anak – menurutku adalah hal yang sulit dilakukan. Teh Friska menjemput kami di tepi jalan raya dan mengantarkan kami melewati jalan setapak sempit, mungkin lebarnya hanya satu setengah meter saja. Kami terus berjalan melewati rumah-rumah warga yang berimpitan satu sama lain, melewati warga yang sedang melakukan berbagai macam aktivitas hingga kami tiba di ujung jalan.

Lokasi tempat kami mengajar ini berbentuk bangunan yang semi permanen, terbuat dari seng dan kayu namun terlihat kokoh. Baru saja kami duduk dan berbincang sebentar dengan Teh Fiska, anak-anak yang ternyata juga warga dari kampung tersebut mulai datang satu per satu. Kami terkejut pastinya, karena sudah terbiasa dengan kemoloran ketika hidup. Baik dari sekolah, kuliah, maupun rapat. Kurang lebih 26 orang anak dengan usia dan latar belakang yang bervariasi mengikuti kegiatan kami pada saat itu. Kami bercerita tentang lima jenis satwa endemik yang berada di kawasan TN Gunung Halimun Salak. Selain bercerita, tentu saja kami melakukan banyak hal lain, seperti mewarnai, membuat bando, menyusun puzzle, dan tentunya kami juga bercengkerama dengan anak-anak tersebut. Suasana yang ramai dan pembawaan Cika dan Shela yang menarik sangat menambah antusiasme dari anak-anak tersebut. Sembilan orang mengajari 26 orang anak tampak mudah, tetapi kenyataannya kami cukup kewalahan dengan hal itu. Ada beberapa orang yang masih kecil dan belum tahu bagaimana cara menulis ada anak yang ribut sepanjang kegiatan, dan ada juga yang terus menerus diam dan hanya sesekali menganggukkan kepala. Kami juga kadang geli melihat jawaban anak-anak yang belum memiliki pengetahuan yang lebih tentang lingkungan alam. Mungkin mereka belum menjelajah terlalu jauh dan hanya mengerti sedikit hal tentang lingkungan berdasarkan apa yang mereka lihat sehari-hari. Mungkin salah satu hal yang membuatku geli dan masih teringat hingga saat ini adalah jawaban salah satu anak yang menyebutkan bahwa cara melindungi hewan agar tidak punah adalah dengan disayang, dimandikan, diberi makan, dan ditidurkan.

Keseruan kelas kami pada siang hari itu terasa sangat cepat. Tiba-tiba saja, jam dinding yang dari tadi memperhatikan kami memberi tahu bahwa sudah hampir pukul 15.00 yang berarti sudah waktunya kami pamit dan kembali ke Sekretariat Lawalata. Kami yang sedari tadi bercengkerama dengan mereka dan kini harus meninggalkan mereka, cukup berat rasanya. Mungkin kelak, entah kapan kami akan kembali lagi ke tempat ini. Salam perpisahan kami berikan kepada 26 orang anak ini dengan tos dan mengucapkan selamat tinggal, juga kami mengucapkan rasa terima kasih kami kepada Teh Fiska karena telah didampingi dari awal hingga akhir acara ini. Sebelum pulang, kami memberikan barang-barang berupa poster, leaflet, puzzle, dan bahan lainnya kepada Sebersy sebagai media belajar di lain waktu.

Kami kembali diantarkan oleh Teh Fiska menuju tepi jalan raya, menuju tempat angkot yang tidak meninggalkan tempat ini dari tadi. Kembali lagi kami masuk ke dalam angkot dan melambaikan tangan kepada Teh Fiska melalui jendela belakang. Angkot berjalan menjauhi tempat kami melakukan pengabdian dan pergi kembali mengarah ke Dramaga ditemani oleh hujan yang turun di tengah perjalanan kami. Sambil memandangi hujan yang turun dan aspal yang banjir, aku berharap kelak anak-anak yang tadi kami ajar akan menjadi sosok yang mencintai lingkungan alam, bukan hanya di lingkungan mereka saja tetapi juga di tempat-tempat lain dan terus melestarikannya dalam bentuk apa pun.

bersambung ke Episode kedua Cerita Tapak Bumi Pasundan

Jeffy Emanuel G., Tim Gladimadya Gunung Hutan: Tapak Bumi Pasundan, 2022


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.