Berpisah dan memulai perjalanan akhir

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Kami bersembilan bangun lebih awal untuk mandi di masjid kampus IPB terlebih dahulu. Ditemani oleh rasa kantuk yang cukup mengganggu dan cuaca yang dingin pada pagi itu sebenarnya membuatku ingin kembali merebahkan badan untuk tertidur. Semalam, aku, Cika, Alam, Mas Angga, dan Bayu ditemani oleh beberapa orang Lawalata melakukan jalan-jalan malam ke Rimpala Fahutan IPB yang terletak tidak jauh dari Sekretariat Kampoeng Lawalata hingga tengah malam lebih sedikit. Biasa, kegiatan mapala ketika sedang tidak ada kerjaan alias gabut, bertamu hingga larut malam. Tidak patut dicontoh untuk kami yang akan melakukan lapangan di gunung yang katanya ekstrem. Pagi itu kegiatan utama kami adalah mandi dan packing logistik, mungkin lebih ke merapikan barang-barang serta ruangan yang kami pergunakan untuk beristirahat. Bang Wiro yang sudah bangun dan anggota Lawalata lainnya menanyakan akan kesiapan kami pada pagi itu.

“Nanti Geger jadi ikut ya, seperti rencana kemarin”, kata Bang Wiro kepada kami.

“Oke, Bang”, balas Mas Angga.

Kemarin malam kami diberitahu oleh Cika bahwa ada seorang anggota Lawalata yang ditugaskan untuk ikut mendaki bersama kami, orang tersebut bernama Geger, anggota muda juga sama seperti kami – usut punya usut, ternyata ia kepala divisi gunung hutan juga – yang berperawakan ramping dengan rambut ikal.

Persiapan keberangkatan kami dan Bang Geger sudah selesai dan angkot silver milik Pak Amin juga telah terparkir di halaman menunggu kami. Kami terlihat seperti anak panti yang sedang melakukan karyawisata karena menggunakan baju hasil sponsor dari Arei. Tim pendakian dan juga anggota Lawalata yang menginap di sekretariat menuju halaman depan untuk melepas kepergian kami dan melakukan foto bersama.

“Jargonnya Lawalata itu, Lawalata Jaya!”, ucap Bang Wiro setelah kami menanyakan jargon penyemangat ala Lawalata.

Kami segera membentuk lingkaran dan Hakim bersiap juga untuk mendokumentasikan jargon yang akan kami serukan.

“Viva Mapagama So! So! So! Lawalata, Jaya!”, seru kami semua dengan bersemangat.

Kami saling bersalaman satu sama lain dengan anggota Lawalata yang melepas. Mereka berpesan agar kami hati-hati di jalan dan sukses dalam kegiatan ini. Kami semua pun masuk ke dalam angkot dengan berdesak-desakan, kecuali Hakim yang naik motor bersama dengan Bang Geger karena waktu kepulangan besok kami tidak kembali lagi ke Lawalata, melainkan langsung menuju ke Stasiun Bogor.

Perjalanan menuju ke Kecamatan Tamansari, tepatnya basecamp pendakian Siliwangi Adventure kami mulai. Jalanan pagi itu apabila dilihat dari sudut panjang orang yang sehari-hari tinggal di Yogyakarta tergolong macet, berbeda dengan Bang Geger yang berkata bahwa keramaian yang padat merayap itu masih masuk ke golongan lancar. Jalanan yang cukup sempit menjadi salah satu pemicu kepadatan di keseharian hidup warga Bogor. Perjalanan menuju basecamp cukup dekat, kurang lebih satu jam perjalanan. Aku tertidur di tengah-tengah perjalanan dan tiba-tiba saja kami sudah dekat dengan lokasi basecamp. Perjalanan mulai menanjak saat aku terbangun, Pak Amin yang mengerti arah tiba-tiba saja kebingungan karena biasanya mapala di Bogor dan sekitarnya mendaki melalui jalur yang tidak resmi, dengan kata lain seperti yang biasa Mapagama lakukan di Gunung Lawu. Akhirnya aku pun membantu Pak Amin mengarahkan angkotnya menuju ke lokasi basecamp berada.

Kami tiba di basecamp pendakian kira-kira pukul sembilan pagi. Pintu basecamp yang masih tertutup rapat menimbulkan sedikit kecurigaan akan kebenaran lokasi basecamp karena Kang Surya, penjaga basecamp yang sejak pra lapangan aku hubungi, juga tidak membalas pesanku di WhatsApp. Kami pun mengetok pintu rumah yang berada di samping warung dan seorang Wanita paruh baya keluar beserta suaminya.

“Ini benar basecamp Ajisaka, Bu?”, tanyaku kepada beliau.

Bener, Mas. Mau ketemu Mang Surya ya?”, jawabnya.

“Iya, Bu. Mau naik hari ini juga soalnya”, balasku lagi.

Ibu tersebut berjalan menuju warung, membuka pintunya, dan membangunkan seseorang pemuda yang tak lain adalah Kang Surya yang tengah tertidur pulas. Aku pun memberikan salam kepadanya serta menyampaikan maksud dan tujuan kami bertamu disini. Kang Surya tampaknya telah mengerti kami karena sempat bertanya padaku, “yang kemarin ­nge-chat saya itu ya?”.

Seperti pendakian biasanya, aku mengurus simaksi atau surat izin memasuki kawasan konservasi dan mengisi formulir yang diberikan oleh Kang Surya. Formulir tersebut berisi nama ketua rombongan, nama tiap anggota, tangga naik dan turun, serta nomor darurat yang bisa dihubungi, ya, kurang lebih sama dengan registrasi di gunung-gunung pada area Jawa Tengah. Akan tetapi satu masalah muncul pada saat Kang Surya berkata bahwa kita perlu menyertakan fotokopi KTP. Pada saat dulu kami menanyakan persyaratan pendakian memang Kang Surya tidak memberi tahu bahwa perlu menyertakan fotokopi KTP pada saat registrasi. Akibat hal itu, aku dan Maulida meminjam motor Bang Geger untuk turun ke bawah untuk mencari tempat fotokopi. Kami berkendara turun kurang lebih satu kilometer dari basecamp hingga menemukan tempat fotokopi yang buka. Sebenarnya sepanjang perjalanan turun, ada kurang lebih tiga tempat tetapi dalam kondisi tutup. Kami pun segera turun dan memberikan delapan buah KTP untuk difotokopi. Maulida ternyata juga membeli baterai sebagai cadangan untuk GPS yang kami bawa. Setelah mendapatkan apa yang tim ini butuhkan, kami berdua buru-buru kembali menuju ke basecamp untuk segera menyelesaikan registrasi dan melanjutkan kegiatan pendakian.

Kami berada di basecamp kurang lebih satu jam lebih empat puluh lima menit. Pada waktu aku dan Maulida turun, ternyata anggota tim yang lain sedang memasang RIG sebagai alat komunikasi tim lapangan dan tim basecamp, yaitu Shela. Shela tidak ikut mendaki bersama kami karena ada kegiatan kuliah yang tidak dapat ditinggal. Menurutku ada rugi dan untungnya Shela tinggal di basecamp, keuntungannya adalah kami tidak perlu sudah-susah mencari sinyal ponsel untuk melakukan komunikasi dengan Sekretariat Mapagama. Ruginya, kami jadi tidak mendaki dengan lengkap dan menurutku adalah hal yang rugi ketika kita sudah merencanakan suatu kegiatan tetapi tidak jadi menjalaninya pada waktu hari-H. Aku segera memberikan hasil fotokopi KTP tim kepada Kang Surya, menyelesaikan registrasi, dan meminta frekuensi HT yang bisa kami hubungi ketika berada dalam keadaan darurat sehingga tim basecamp bisa langsung bergerak ketika mendengar ada gawat darurat.

Langit tampak akan menurunkan hujan ketika kami kembali memasuki angkot dan bersiap untuk berangkat ke Pintu Rimba atau gerbang pendakian Gunung Salak dengan diantar oleh Kang Surya dan Shela. Angkot Pak Amin sempat tidak kuat menanjak, tetapi dengan keahliannya beliau bisa melewati beberapa tanjakan hingga tempat yang bernama Kampoeng Salaka. Hujan turun sangat deras ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di tengah-tengah tanjakan karena berat yang terkumpul di bagian belakang.

“Sudah nggak kuat, saya nggak berani lagi”, ucap Pak Amin khawatir akan kondisi mobil kepunyaannya.

Aku pun turun dari angkot dan berlari menuju tempat duduk yang teduh di tempat parkir Kampoeng Salaka diikuti oleh Maulida dan Mas Angga. Aku yang duduk menunggu hujan menjadi lebih ringan melihat temanku yang lain sibuk menurunkan barang bawaan kami dari angkot. Rasa ingin membantu memang ada, tetapi karena kami tadi bertindak bodoh dengan berlari tanpa membawa jas hujan yang membuat kami tidak dapat berbuat apa-apa ketika dihantam hujan yang sangat deras ini, hingga akhirnya Al menghampiri kami dengan membawa dua jas hujan untuk Mas Angga dan Maulida. Aku? Aku membuntuti Al dengan berteduh di belakang jas hujan kelelawar yang ia bawa.

Sesampainya di atas, aku segera mengambil dan mengenakan jas hujan, menggendong carrierku dan menuju ke sebuah rumah yang berada tidak jauh dari jalan untuk berteduh dan mengeringkan kacamataku yang penuh dengan titik-titik air. Rumah berwarna putih itu menjadi persinggahan sementara kita hingga hujan mereda. Ketika sedang mengecek keadaan carrierku yang basah kuyup, seorang ibu yang merupakan pemilik dari rumah ini keluar dan menyapa kami.

“Mau naik ya, Mas?, tanyanya kepadaku.

“Iya, Bu. Tapi malah deras begini”, ucapku.

“Ini juga baru hari ini kok hujan jam segini. Biasanya sore, jam dua atau tigaan”, ucapnya menjelaskan kondisi cuaca beberapa hari belakangan.

Di skenario koordinator lapangan memang selama hari pendakian kami akan diguyur hujan dari berangkat hingga kepulangan, tetapi bukan di jam ini. Perjalanan kami tertunda cukup lama akibat hujan di siang bolong ini.

Ketika langit sudah lagi tidak menurunkan hujan, Kami segera melakukan pemanasan di halaman rumah tempat kami berteduh dan kami mulai melakukan perjalanan ke Pintu Rimba, tempat Shela dan Kang Surya menunggu kami. Perjalanan menuju ke Pintu Rimba cukup menguras tenaga karena jalanan yang terbuat dari cor. Kami berjalan melewati Rumah Abah Narta yang terkenal di kalangan pendaki sebagai lokasi warung terakhir sebelum jalur mulai memasuki kawasan rimba Gunung Salak. Sayangnya, Abah Narta ternyata sudah meninggal dunia beberapa minggu sebelum kedatangan kami kesini menurut penuturan pemilik rumah tempat kami singgah untuk berteduh tadi. Kami terus melanjutkan perjalanan mengikuti alur jalan yang berbelok ke arah kiri. Dari kejauhan, samar-samar terlihat vegetasi pohon pinus yang sangat rapat dan sebuah spanduk bertuliskan objek wisata Pinus Ajisaka. Di tempat ini juga kami melihat motor Kang Surya terparkir di pinggir jalan. Ternyata memang lokasi ini adalah Pintu Rimba atau yang biasa disebut sebagai gerbang pendakian untuk menapaki Puncak Prabu Salak II lewat jalur Ajisaka. Jalur Ajisaka sebenarnya lebih diperuntukkan untuk olahraga ekstrem trail running. Dibuktikan dengan banyaknya wisatawan penggemar trail run yang pergi ke tempat ini dan judul dari lokasi ini, Ajisaka Salak Trail.

Lokasi Pintu Rimba cukup jauh dari basecamp. Mungkin sekitar dua hingga tiga kilometer melewati jalan desa yang sudah bagus karena dilapisi oleh aspal. Aku melihat Kang Surya dan Shela sedang berbincang di bawah gubuk yang mungkin adalah pos jaga gerbang pendakian dari jalur ini. Di tempat ini, terdapat toilet yang mungkin lebih berfungsi sebagai sumur. Kami mengisi perbekalan air di tempat ini. Air segar pegunungan kembali kami rasakan setelah waktu yang cukup lama. Aku ingat, terakhir merasakan segarnya air pegunungan adalah pada saat berada di Ngargoyoso. Air di Jerigen dan botol minum kami sudah penuh, kami pun menggendong carrier kami masing-masing, kemudian berdoa memohon perlindungan-Nya dan tentu saja, kami berfoto bersama di bawah Pintu Rimba. Langkah kaki pertama kami di tempat ini diawali dengan medan berbatu yang ditata rapi. Aku tidak paham mengapa di tempat se-rimba ini dibuatkan jalan yang tersusun rapi. Aku baru sadar ketika membuka Avenza, bahwa pos pertama yang akan kami datangi adalah pos Petilasan, yang mungkin merupakan kuburan dari tokoh masyarakat di daerah tersebut.

Perjalanan melewati vegetasi hutan pinus ditemani oleh udara yang sejuk dan bau tanah yang basah oleh hujan menjadikan awal-awal perjalanan yang cukup berat karena tubuh berusaha menjalankan mekanisme aklimatisasi menjadi lebih menyenangkan dan ringan. Kami berjalan beriringan dengan perlahan-lahan, menyesuaikan kecepatan berjalan dari anggota tim yang paling lambat. Aku tidak merasakan kelelahan yang berarti meskipun membawa beban yang sepertinya hampir menyentuh angka 25 kilogram karena latihan fisik yang telah kami lakukan sepanjang rangkaian kegiatan pendidikan ini. Perjalanan ini terasa cukup sunyi, aku memang sengaja diam untuk menghemat tenaga dan membuat nafas menjadi lebih stabil. Dalam satu tim ini, hanya Hakim yang aktif bergerak ke sana kemari untuk mendokumentasikan perjalanan kami ini. Berbekal kamera dan telepon genggam, ia merekam segala aktivitas yang kami lakukan selama pendakian berlangsung. Mendokumentasikan kegiatan merupakan salah satu tujuan kami di kegiatan ini, sehingga sie dokumentasi atau anggota tim lain yang ditugasi untuk mendokumentasikan kegiatan harus cekatan dan memiliki kemampuan untuk mengambil video maupun gambar dengan baik.

Kurang lebih setengah jam berjalan di bawah naungan tajuk pohon dan jalanan berbatu ini, kami akhirnya tiba di Pos Petilasan. Tempat ini berbentuk bangunan yang dipagari oleh kayu yang cukup tinggi dan di cat berwarna putih. Di belakangnya terdapat gentong yang dialiri oleh air. Aku rasa air di bawah tadi masih satu aliran dengan air yang ada di tempat ini. Kami beristirahat dengan sangat cepat karena memang kondisi tubuh ini belum terlalu lelah dan perjalanan menuju pos Ksatria Beuheung Awi, tempat kami akan menginap, masih sangat jauh. Kami juga tidak ingin hujan yang tadi mengguyur, kembali mengguyur kami saat ini apalagi pada saat kami masih berada di jalur pendakian dengan kondisi bertanah, licin, dan berlumpur. Perjalanan segera kami lanjutkan. Bang Geger memimpin perjalanan kami pada saat ini, diikuti olehku dan anggota tim lainnya. Aku akui, ia berjalan cukup cepat sehingga beberapa kali rombongan yang berada di belakangku tertinggal, berjalan dengan cepat membuatku memiliki waktu yang lebih panjang untuk beristirahat karena menunggu rombongan di belakang.

Hutan Gunung Salak memiliki susunan tumbuhan yang sangat keren menurutku. Aku sangat takjub karena tempat ini adalah gunung dengan jenis hujan tropis yang pertama kali aku datangi dan daki. Berbeda dengan gunung-gunung lain di Jawa Tengah misalnya, yang memiliki hutan dengan vegetasi tidak sebasah Gunung Salak. Kami terus melanjutkan perjalanan dan tiba di suatu titik yang tidak ada pada peta kami, pos Camp Abri. Lokasi ini adalah lahan datar yang cukup luas, tetapi tidak terlihat dari bawah karena tertutup oleh vegetasi yang rapat. Di Avenza, diketahui bahwa titik ini adalah persimpangan antara jalur tidak resmi yang biasa dilalui oleh teman-teman dari Lawalata ketiga melakukan kegiatan pendidikan dasarnya. Kami beristirahat sejenak di lokasi ini sambil menandai lokasi yang tidak ada di peta ini dengan mencatat koordinatnya menggunakan Avenza dan GPS yang kami bawa. Setelah selesai melakukan plotting koordinat, perjalanan kami lanjutkan. Kami diburu oleh waktu yang seakan-akan bergerak sangat cepat.

Perjalanan kami lanjutkan dengan kondisi medan menanjak dan licin. Kami sempat berhenti di beberapa titik yang memiliki plakat keterangan penunjuk arah dengan tujuan untuk menandai lokasi tersebut juga. Langkah demi langkah kami jalani, jalanan yang menanjak dan sedikit berlumpur tipis hingga tebal membuat sepatu dan celana kami cukup kotor. Hal itu tidak menyurutkan kami untuk terus maju karena semangat kami belum padam juga walaupun sudah mendaki hampir enam jam. Hingga akhirnya vegetasi mulai terbuka dan kami tiba di suatu lokasi yang cukup untuk mendirikan mungkin dua hingga tiga tenda dan di sekitar tempat ini penuh dengan tunas-tunas kecil tanaman pakis. Aku kira tempat ini adalah Pos Haji Solomod, tetapi ternyata lokasi ini juga tidak ada di peta kami. Pos Lapak Pakis namanya. Pos ini berada di ketinggian 1.350 meter diatas permukaan air laut, sehingga hawa dingin mulai menusuk sedikit demi sedikit. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Al saat ini, tetapi mungkin ia sedang berpikiran hal yang sama denganku, yaitu langit yang mulai mendung dan kelembaban yang meningkat, kami belum mencapai Pos Ksatria Beuheung Awi sedangkan waktu telah menunjukkan hampir pukul 16.00.

Lagi-lagi rintik hujan kembali turun. Awalnya kami berpikir bahwa ini adalah air dari kabut yang sedari tadi menghalangi pandangan kami untuk melihat langit. Tetapi, lama kelamaan rintik berubah menjadi titik, deras dan semakin deras. Jalanan yang kami lalui adalah tanah yang telah tererosi, sehingga pada saat hujan turun dengan deras, jalur ini berubah menjadi selokan kecil yang mengalirkan air dari atas, kanan, dan kiri jalur menuju ke lokasi yang lebih rendah. Aku yang sedari tadi memantau lokasi menggunakan Avenza tidak lagi melakukan hal tersebut karena intensitas hujan yang sangat tinggi. Kami berhenti sejenak dan buru-buru memakai jas hujan. Beberapa menit berjalan menerobos hujan yang cukup deras, kami pun sampai di Pos Haji Solomod. Sesampainya di tempat ini, hujan masih turun dengan deras Mungkin lebih deras daripada beberapa menit sebelumnya. Kami berkumpul menjadi satu dan membentangkan flysheet milik Bang Geger terlebih dahulu sebagai tempat berteduh sementara. Hujan yang deras ini membuat situasi di tim ini menjadi kacau. Memang kami sering berhadapan dengan hujan seperti ini, tetapi tidak di kondisi lingkungan yang sangat tropis seperti di Gunung Salak ini. Biasanya, di Ngargoyoso hujan turun di atas tutupan lahan berupa rumput, sehingga kami tidak merasa khawatir akan kotoran yang akan membuat barang bawaan kami menjadi kotor. Berbeda dengan di lokasi ini, tanah yang tidak berumput namun berlumpur.

Kami bersembilan yang meringkuk di bawah bentangan flysheet sambil menunggu hujan reda mulai berdiskusi akan kepastian lokasi camp. Berdasarkan penuturan Kang Surya dan beberapa sumber di internet, Pos Ksatria Beuheung Awi merupakan lokasi yang paling direkomendasikan untuk mendirikan camp area karena lokasinya yang luas dan datar. Tetapi, apabila dilihat dari kondisi kami saat ini dan cuaca hujan yang cukup deras dan matahari yang mulai tenggelam walaupun tidak terlihat, sepertinya kami tidak akan sempat untuk pergi ke pos selanjutnya. Kami bersembilan berdiskusi sebentar di bawah flysheet ini dan menghasilkan keputusan bahwa perjalanan untuk hari ini kita hentikan di Pos Haji Solomod, dengan kata lain, kita harus segera membangun camp area di lokasi ini. Tim ini segera membagi tugas, ada yang mencari tempat untuk mendirikan tenda, ada juga yang membangun flysheet untuk masak makanan berbuka. Kami memulai pekerjaan itu waktu jam di tangan hampir menunjukkan pukul 17.00, sehingga kami harus bergerak dengan cepat agar tidak terkena hipotermia.

Lokasi mendirikan tenda telah kami temukan, lokasi yang sempit tetapi bisa memuat dua tenda dan juga terdapat pohon untuk kami dapat membentangkan flysheet. Setelah tenda terbangun dan barang-barang alias carrier kami amankan, tim konstruksi tenda alias aku, Bayu, Mas Angga, Hakim, dan Alam pergi ke tempat Al dan yang lainnya memasak makanan untuk berbuka puasa. Malam itu kami makan pecel dan nugget yang digoreng dengan sangat renyah. Candaan-candaan renyah saling kami lontarkan sembari menyantap makanan kami hingga hawa dingin yang menusuk dapat berkurang rasanya digantikan dengan candaan. Kami mengakhiri perjalanan di hari ini dengan evaluasi malam dan beristirahat karena esok hari, puncak dari gunung ini harus kami tapaki.

 

Pendakian berlanjut!

Hari pertama telah kami lewati dengan beberapa kekacauan akibat hujan. Malam yang terasa singkat akibat rasa lelah kami juga berhasil kami lewati. Pagi ini, sang surya belum berani menampakkan wajahnya. Burung-burung di tempat ini seakan masih tertidur akibat hujan   lebat kemarin. Tidak aneh apabila orang-orang menganggap Gunung Salak sebagai gunung dengan kondisi ekstrem melihat cuaca yang sering hujan dan membuat tanah subur di lokasi ini menjadi becek dan mungkin apabila ada pendaki pemula yang naik ke lokasi ini untuk pertama kali, ku pikir, mereka akan menyerah dan merasa kapok untuk mendaki lagi.

Kami bangun cukup awal sebelum subuh untuk sahur terlebih dahulu. Tak berselang lama, suara azan subuh sayup-sayup terdengar dengan ringkih. Mungkin karena lebatnya pepohonan dan kami sudah berada cukup tinggi dari lokasi permukiman terakhir sebelum pintu rimba. Hari ini, kami akan melakukan perjalanan menuju ke puncak, ke salah satu tujuan kami melakukan pendakian ini. Karena lokasi camp kami yang berbeda dengan rencana awal, sepertinya waktu pendakian kami juga akan mengalami kemoloran. Terlebih, dari kami tidak ada satu pun yang mengetahui jalur seperti apa yang akan kami lalui. Begitu pula dengan Bang Geger, yang kemarin menyatakan baru pertama kali juga mendaki Gunung Salak. Walau masih mengantuk, kami segera bergegas keluar tenda, memakai sepatu, dan packing peralatan yang akan kami bawa menuju ke puncak. Seperti rencana awal. Setiap kami membawa daypack atau entah tas berukuran kecil sejenisnya yang berisi logistik-logistik penting yang pastinya akan berguna apabila kami berada di kondisi survival. Hauling set di carrier Mas Bayu juga ikut kami bawa untuk berjaga apabila terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan.

Pukul lima pagi lebih sedikit. Mungkin mendekati setengah enam pagi, kami telah siap untuk kembali melangkahkan kaki. Doa kami panjatkan kepada Tuhan sebelum memulai pendakian. Memohon diberikan kekuatan, kelancaran, keselamatan, dan hal-hal baik lainnya, serta agar camp kami aman dari segala gangguan ketika kami tinggalkan. Pos Haji Solomod kami tinggalkan dan kami memulai pergerakan menuju Pos Ksatria Beuheung Awi, pos yang semula menjadi rencana kami mendirikan camp. Perjalanan ini cukup ringan menurutku. Jalanan yang tidak terlalu curam dan tidak terlalu banyak tanjakan. Tidak seperti kemarin waktu kami menuju Pos Haji Solomod ini, yang beberapa titik membutuhkan tenaga ekstra untuk melewatinya karena tanjakan yang tinggi atau untuk mengatur keseimbangan tubuh akibat jalur yang licin dan berlumpur. Perjalanan kami menuju ke pos ini tidak terlalu lama. Dengan perjalanan bertempo konstan dan sedikit istirahat ditambah dengan medan yang tidak terlalu curam, kami hanya memakan waktu sekitar 30 menit saja.

Pos Ksatria Beuheung Awi adalah pos yang menjadi rekomendasi basecamp sebagai area camp sebelum menuju ke puncak. Tidak heran dengan pernyataan seperti itu. Tempat ini luas, mungkin sekitar 100 meter persegi dan tentu saja, datar. Lokasi yang sangat didambakan oleh pendaki-pendaki pada masa kini. Namun, pemandangan dari tempat ini cukup tertutup oleh lebatnya vegetasi yang ada. Samar-samar bisa terlihat bayangan suatu kota nun jauh disana. Entah kota apa itu, namun lagi-lagi, tak lama kemudian kabut kembali menyelimuti cakrawala. “Beuheung Awi artinya apa, Bang?”, tungkas Viola kepada Bang Geger.

“Beuheung itu leher, awi itu bambu. Mungkin artinya ksatria leher bambu”, jawabnya.

Aku tak paham maksud dari nama pos ini, – sialnya, aku juga tak menanyakan juga sewaktu kepulangan kami dari sini kepada Kang Surya– begitu pun yang lainnya. Kami berhenti sejenak di pos ini. Sedikit istirahat, banyak mengabadikan momen. Begitulah yang terjadi di tempat ini karena tenaga yang kami miliki masih cukup banyak.

“Puncak Fajar Kencana berapa jam lagi?”, tanya Hakim kepada Al.

“Kalau di skenario sekitar dua jam-an”, jawabnya.

Aku cukup tertegun mendengarnya. Sepertinya, apabila di kira-kira, jarak dari pos ini ke puncak mungkin satu hingga dua kilometer. Dengan medan dan kondisi jalan yang entah seperti apa.

Kami terus melakukan perjalanan menembus belantara Salak. Perjalanan ke Puncak Fajar kencana kami lalui dengan sedikit kepayahan. Jalanan yang mulai menanjak, licin, dan tentunya membutuhkan konsentrasi ketika melewatinya. Walau begitu, pemandangan menakjubkan terus menerus menemani perjalanan kami sedari pos tiga tadi. Tebing-tebing dari gunung ini yang sangat terjal seakan mengingatkan kami untuk terus berkonsentrasi pada jalur yang ada di depan mata. Perjalanan kami sempat terhenti sejenak, karena ada jalur yang tegak berdiri di hadapan kami. Kami tertegun sejenak melihat ketinggiannya, mungkin sekitar dua meter dan tentunya licin serta membutuhkan kehati-hatian yang tinggi saat akan naik ke atas. Dimulai dari Bang Geger hingga terakhir Mas Angga berhasil melintasi rintangan yang cukup sulit ini, Bahkan Maulida dan Viola bisa melewatinya walaupun agak lama karena kondisi fisiknya.

“Sebentar lagi sampai”, gumanku,

Di atas kami, langit mulai bisa terlihat dengan jelas. Tajuk pohon yang dari tadi menghalangi pandangan kami untuk melihat langit mulai berkurang sedikit demi sedikit, menandakan akan keberadaan kami mendekati salah satu titik tertinggi di gunung ini. Dan, ya, memang benar. Kami tiba di suatu puncak yang memiliki luasan area cukup kecil dan berlatar jurang yang sangat dalam membentang ke tebing di seberang kami. Entah berapa kedalaman pastinya, mungkin sekitar 500 meter.

Langit saat itu tidak secerah biasanya. Memang sejak awal pendakian kemarin kami selalu diselimuti oleh halimun, awan hitam, dan hujan. Sangat jarang kami dicumbu oleh mentari. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak, beristirahat dan tentunya mengambil beberapa dokumentasi karena telah mencapai puncak, walau bukan puncak yang tertinggi. Kami tersadar bahwa waktu pendakian sangat molor. Pada skenario korlap, seharusnya di waktu ini kami sedang berada di Puncak Salak II hingga pukul 09.00, tetapi pada kenyataannya kami baru saja duduk di atas Puncak Fajar Kencana. Terjadi diskusi singkat di antara kami tentang kelanjutan dari pendakian ini. Apabila turun, kami akan memiliki cukup waktu untuk kembali ke Jakarta karena KRL terakhir berangkat dari Stasiun Bogor kurang lebih pukul 18.00. Apabila terus menuju ke Puncak Salak II maka kesempatan kami menaiki KRL memiliki kemungkinan hilang. Waktu seakan terhenti sejenak, apabila kami tidak menuju ke puncak maka salah satu misi kami dalam kegiatan ini tidak selesai, sedangkan apabila kami terus menuju puncak maka kemungkinan kami akan tertinggal kereta dan kembali ke Yogyakarta dengan menggunakan bus. Diskusi yang membingungkan ini terhenti ketika Al memiliki sebuah solusi yaitu masih ada KRL yang menuju Jakarta, tetapi tidak ke Stasiun Pasar Senen dengan waktu keberangkatan maksimal adalah pukul 21.00. Kami cukup lega mendengarkan hal tersebut, lega karena Puncak Salak II akan kami tapaki.

bersambung ke Episode ketiga Cerita Tapak Bumi Pasundan

Jeffy Emanuel G., Tim Gladimadya Gunung Hutan: Tapak Bumi Pasundan, 2022


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.