Menyusuri jalanan Ibukota di kala malam

Jam di teleponku hampir menyentuh angka 23.00. Dengan perubahan rencana yang kami lakukan akibat waktu yang molor selama di pendakian, Rencana awal kami adalah menaiki KRL dari Stasiun Bogor dan langsung menuju Stasiun Pasar Senen. Tetapi KRL yang menuju ke stasiun tersebut berakhir pukul delapan kurang, tentunya sudah terlewat cukup lama. Hingga akhirnya kami naik KRL lain dengan tujuan akhir Stasiun Gondangdia. Setelahnya? Kami tidak tahu harus naik apa, sehingga Al dan Mas Angga mewanti-wanti kami bahwa sepertinya kegiatan long march harus kami lakukan. Keluar dari Stasiun Gondangdia, kami beristirahat sejenak di dekat tangga, dekat pintu keluar stasiun. Roti tawar yang beroleskan selai blueberry dan selai coklat cukup menggugah selera kami sehingga tidak ada yang tidak makan dengan lahap waktu itu.

Perut kami telah terisi. Waktu terus bergerak. Bau hujan masih menyelimuti teras Stasiun Gondangdia. Aspal yang basah tampak memantulkan kerlap-kerlip lampu gedung pencakar langit. Maulida dan yang lain tampak sibuk, aku tidak tahu mereka sedang membahas apa. Pastinya, kami akan menuju ke Stasiun Pasar Senen. Namun aku tidak tahu akan mampir kemana terlebih dahulu sebelum ke tempat tersebut.

“Ayo jalan”, ucap Al yang masih memangku jabatan sebagai koordinator lapangan.

Kami berdiri, menggendong carrier basah kami dan berbaris menyusuri trotoar di depan stasiun menuju ke arah yang aku tidak tahu. Mengandalkan aplikasi google maps, akhirnya aku tahu kemana perjalanan long march ini. Kami akan melakukan tes swab terlebih dahulu sebagai persyaratan untuk melakukan perjalanan dengan kereta api. Waktu yang hampir menunjukkan tengah malam ini cukup menyulitkan kami. Di Jakarta, lokasi tes swab antigen cukup jarang ditemui. Tidak seperti di Yogyakarta yang tersebar dimana-mana. Aku masih tidak tahu kemana tempat yang akan kami datangi untuk melakukan tes tersebut. Hanya terus melangkah dan mengusap keringat yang sedikit bercucuran dari kening dan leherku. Di pinggiran jalan, dekat gedung MNC Tower, ada sekelompok orang tua yang sedang kongkow entah membicarakan apa.“

Mau kemana, Mas?”, tanya seorang dari mereka kepadaku yang membuat langkahku terhenti sejenak.

“Oh, ini habis turun dari Salak, Pak”, sahutku.

“Oh asal mana, Mas?”, tanyanya kembali

“Dari Yogya, Pak. Ini nanti mau ke Stasiun Pasar Senen”, balasku.

“Loh, kok ke arah sana?”, bapak tersebut menatapku sambil bertanya-tanya.

“Oh iya, ini mau swab dulu di daerah sana”, kataku sambil menunjuk ke arah tujuan kami,

“Oh. Ya, ya. Ke Bumame ya berarti?”, tanyanya kembali memastikan.

“Kurang tahu, Pak. Itu teman-teman yang tahu. Saya ikut-ikut saja”, jawabku kembali sambil sedikit tersenyum karena tidak mengerti tujuan kami.

“Bumame berarti. Hati-hati di jalan, Mas”, kata bapak itu sambil mengangkat tangan kanannya.

“Siap, Pak. Saya lanjut dulu”, balasku sambil melempar senyuman perpisahan kepadanya.

Cukup jauh kami berjalan dari Stasiun Gondangdia melintasi jalanan Jakarta. Waktu terus berteriak kepada kami, seakan-akan menuntut kami untuk berhenti berjalan dan pergi tidur. Tetapi, perjalanan kami belum usai. Rasa lelah dan kesal menyelimuti raga kami malam itu. Di perempatan jalan, jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, kami berhenti sejenak. Tidak peduli mata para pengendara motor melihat kami ataupun tatapan aneh dari pekerja proyek yang entah kami tak tahu itu proyek apa. Ini adalah kali pertamaku menginjakkan kaki di ibukota, berjalan hingga tengah malam pula. Tidak pernah terbesit pada waktu kami melakukan manajemen, bahwa setelah pendakian akan ada long march seperti sekarang demi mendapatkan selembar kertas berstempel ‘negative’. Aku cukup senang, melihat bangunan-bangunan kementerian, kantor pusat, dan – tentu saja – monumen nasional, walaupun hanya terlihat puncaknya saja, dari perempatan tersebut. “Ayo lanjut”, ucap Al kepada kami semua. Dengan rasa malas, aku harus kembali menggendong carrier yang berat ini dan melanjutkan perjalanan menuju lokasi tujuan kami, Bumame farmasi.

Jalanan Jakarta tidak seperti kata orang-orang. Malam itu sepi, sangat sepi. Hanya beberapa motor berlalu-lalang untuk menemani perjalanan sembilan orang aneh yang bergerak tengah malam sambil membawa beban lebih dari 15 kilogram. Kami bergerak kurang lebih satu hingga dua kilometer lagi melewati trotoar yang gelap, licin, dan agak basah hingga akhirnya aku melihat Al dan Maulida yang berada di depan berbelok masuk ke suatu kompleks bangunan yang terang. Dan ternyata kami telah tiba di tujuan, Bumame Farmasi, tempat kami melakukan tes usap antigen sebelum melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta menggunakan kereta api. Kami langsung menyasar tempat duduk kosong yang ada di lokasi tersebut. Sembari menunggu Maulida mengurus pembayaran, aku membuka teleponku dan menyadari bahwa sudah hampir pukul satu. Hampir saja aku terlarut dalam kantuk, Maulida mulai memanggil satu per satu dari kami untuk melakukan pendaftaran pribadi karena untuk melakukan tes di tempat tersebut dibutuhkan satu akun untuk satu orang. Mulai dari Maulida sendiri, kemudian Mas Angga, Al, kemudian giliranku. Melihat tingkah Al yang sepertinya merasakan rasa nyeri di kedua lubang hidungnya, aku pun bertanya “loro-lorone po?”. Al hanya mengangguk sambil menekan hidungnya dengan kertas tissue. Ya, memang benar, di tempat tersebut tes usap dilakukan pada kedua rongga hidung, bukan hanya satu. Rasanya agak nyeri memang, berbeda dengan beberapa tes yang aku pernah lakukan di Yogyakarta. Well, ngga ada masalah karena tidak setiap hari harus menjalani colok-colok hidung ini.

Beberapa menit berlalu, aku terduduk di kursi tunggu. Memejamkan mata, berusaha untuk tidak mendengar apa-apa dan mengembalikan staminaku yang hilang karena pikirku mungkin setelah ini kami akan berjalan kembali ke Stasiun Pasar Senen. “Jeff, Jeff”, panggil Mas Angga membangunkanku. Dengan setengah seperempat sadar aku membuka mata dan menyadari bahwa hasil dari tes tersebut sudah keluar. Maulida menginstruksikan kepada kami melalui grup untuk mengirimkan bukti pembayaran yang dikirim oleh Bumame Farmasi ke WhatsApp kami masing-masing sebagai arsip bendahara.

Ngko numpak opo e?”, kataku kepada Alam yang duduk di sebelahku.

Mbuh, koyone Go-Car”, jawabnya.

Cukup senang aku mendengar kata ‘Go-Car’ yang artinya kami tidak perlu lelah berjalan lagi menuju stasiun yang jaraknya terpaut jauh apabila melihat titik lokasinya di maps. Memang benar, Maulida dan Mas Angga telah memesan dua unit mobil melalui aplikasi dan dengan sekejap, kedua mobil itu telah tiba di halaman parkir gedung ini. Aku, Alam, Hakim, Cika dan yang lainnya, berdiri dengan rasa malas dan kantuk yang menyelimuti, namun kami harus tetap sigap untuk segera bergerak menuju tujuan terakhir kami di Tanah Pasundan sebelum kembali ke Yogyakarta, Stasiun Pasar Senen.

Malam di Jakarta berbeda 180° dengan keadaan malam di Yogyakarta. Sekilas hampir tidak ada lokasi yang terlihat sepi, kecuali gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran yang mana hanya terlihat satu dua orang merokok di depan gerbang berselimut seragam satpam bersama dengan beberapa orang yang mungkin adalah pedagang malam. Aku duduk di mobil pertama, di sebelah pengemudi. Kami berdua di depan sedikit berbincang-bincang, pak sopir – aku lupa menanyakan nama beliau – sedikit menjelaskan tentang arah ke lokasi-lokasi strategis di Jakarta, seperti Monas, tugu Pancoran, dan lain-lain. Sempat juga aku sedikit berbasa-basi untuk mengulik informasi dari beliau, seperti pekerjaan harian lain dan tempat tinggalnya. Beliau orang yang menurut saya ramah dan sepertinya memiliki anak yang mungkin berumur sama dengan kami semua.

Tak lama berselang, jalanan mulai bertambah ramai. Tampak keramaian yang tidak asing bagiku, ramai pasar di malam hari. Perjalanan singkat kami telah sampai di kawasan Pasar Senen. Terlihat di sebelah kiri jalan hiruk pikuk pedagang dan pembeli yang entah mereka sedang memperbincangkan apa. Beberapa meter setelah keramaian pasar terlewat, kami telah tiba di depan Stasiun Pasar Senen, tempat yang menjadi akhir dari kegiatan kami di Tanah Pasundan. Mobil yang kami tumpangi sempat putar balik di ujung jalan karena lokasi stasiun berseberangan dari lokasi kami datang. Kami turun persis di depan Stasiun Pasar Senen, melihat kembali stasiun ini membuatku kembali mengulang waktu saat kedatangan beberapa waktu lalu ke tempat ini. Memang, waktu datang kami tak sempat menikmati kawasan ini. Tapi sekarang, karena waktu lebih panjang, aku pikir kami bisa sedikit melepas penat setelah perjalanan panjang. Kami menurunkan carrier dengan hari-hati dari bagian bagasi mobil. Pak sopir yang aku lupa menanyakan namanya itu tersenyum ramah dan berpesan agar hati-hati di jalan pada waktu kembali ke Yogyakarta. Tak lupa, kami juga berterima kasih atas jasanya mengantarkan kami dengan aman hingga kesini.

Langkah kaki kami perlahan memasuki stasiun ini,. Terlihat tulisan Pasar Senen dan logo KAI  yang cukup besar memandangi sembilan orang yang terlihat agak kumuh memasuki ruang tunggu stasiun dengan carrier yang berukuran besar. Yang lebih membuat lucu lagi, kami belum berganti seragam sejak di turun tadi. Kami terlihat seperti gerombolan anak panti yang sedang melakukan darmawisata ke suatu tempat dengan seragam yang senama. Keadaan Stasiun Pasar Senen di waktu malam sepertinya sama dengan keadaan waktu pagi hingga siang hari, mungkin frekuensi pengguna layanan hanya berkurang sedikit. Mata kami memandang ke segala arah, mencari tempat duduk yang dirasa nyaman untuk beristirahat karena keberangkatan kereta kami yang masih lama. Tempat duduk di deret tengah dan dekat dengan jalan akhirnya kami pilih karena nyaman dan dekat dengan akses jalan keluar. Beberapa menit setelah duduk dan beristirahat, beberapa dari kami mulai diliputi rasa lapar dan bosan. “Mlaku-mlaku yo”, celetuk Al memecah keheningan di kelompok kami. Aku, Hakim, Alam, dan Shela menimpali dengan setuju. Akhirnya, kami berempat pergi berjalan keluar stasiun menuju seberang jalan. Cukup bingung akan makan apa, hingga terlihat ada mie ayam yang menggiurkan. Memang kondisi warung di pinggir jalan itu menurutku tidak begitu higienis. Tapi kami yang sudah begitu lapar merasa bodo amat dengan kondisi itu. “Harganya berapa, Kang?”, tanyaku. “Udah habis, A”, timpal penjualnya. Mendengar hal itu, kami memutuskan untuk bergeser ke gerobak sebelahnya, penjual soto. Lagi-lagi aku menanyakan harga dari semangkuk soto itu, “Harganya berapa, Kang?”. Aku lupa jawabannya, tapi kalau tidak salah berada di sekitar 12.000 rupiah. Kami pun memesan empat porsi soto untuk dimakan malam itu. Rasanya biasa saja, kuah yang berwarna bening mengingatkanku pada soto seger ala Boyolali. Walaupun porsinya tidak terlalu banyak, satu mangkuk soto cukup mengganjal rasa laparku untuk hari ini. Hal yang cukup mengagetkan kami adalah ketika kami akan membayar makanan ini dan kembali ke stasiun. Harga dari semangkuk soto masih 12.000 rupiah, tetapi harga dari satu gelas es teh ataupun jeruk adalah 9.000 rupiah. Kami terkejut dan sedikit mengumpat di dalam hati, tetapi mau bagaimana lagi. Memang kesalahan kami tidak menanyakan harga secara lengkap terlebih dahulu, karena di benak kami harga di Jakarta dan Yogya tidak terpaut begitu jauh. Ya, suatu pelajaran ketika bepergian di daerah yang baru.

Waktu menunjukkan hampir pukul 01.00 dini hari. Malam itu tidak terlalu dingin, berbeda dengan di Yogyakarta yang mana hawa dingin menyelimuti ketika hampir sepertiga malam. Kami yang telah selesai makan kembali menuju ruang tunggu penumpang untuk beristirahat. KA Bengawan, yang menjadi sarana kami untuk menuju ke Yogyakarta baru datang sekitar pukul 06.00 pagi. Kami masih punya setidaknya empat hingga lima jam untuk beristirahat, ya, walaupun tidak sesuai SOP tapi menurut kami tidur bisa kami lanjutkan di kereta api. Seperti perjalanan awal kemarin, perjalanan ini akan berlangsung kurang lebih delapan hingga sembilan jam. Malam itu, kami bergantian berjaga karena barang bawaan kami yang banyak dan keadaan stasiun yang cukup ramai. Tentunya, kami tidak ingin kehilangan barang-barang yang kami bawa. Hari ini terasa cukup panjang. Mulai dari kami turun dari Puncak Salak II, kemudian mengejar KRL hingga berjalan beberapa kilometer menyusuri ibukota dan berakhir dengan makan soto mahal di Pasar Senen.

 

Pulang

Pagi itu, Al sudah bangun terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah salat. Ia yang kemudian membangunkan satu per satu dari kami untuk bersiap-siap karena waktu keberangkatan tidak lama lagi. “Ngga pada mandi dulu?”, tanyanya. “ngga deh”, timpalku. Yang lainnya pun menjawab dengan hal yang sama. Memang pagi itu rasa gatal dan gerah akibat keringat sudah tidak ada lagi. Baju kami pun tampak bersih, tidak seperti kemarin sewaktu baru turun dari Gunung Salak. Mungkin yang sedikit gatal hanya rambut, karena satu minggu lebih tidak keramas. Hal yang lumrah ketika berkegiatan lapangan dengan Mapagama. Mas Angga yang baru bangun langsung mengumpulkan nyawa dan berdiri menuju tempat pencetakan tiket untuk mencetak tiket yang telah kami pesan sebelumnya melalui aplikasi. Tak perlu waktu lama, Mas Angga segera kembali dan menghampiri kami untuk memberikan tiket dalam bentuk cetak kepada masing-masing dari kami. Tiket berwarna oranye yang bertuliskan nama, nomor kursi, serta kode-kode yang kurang aku mengerti ini akan mengantarkan kami kembali pulang ke rumah.

Kami berdiri, menggendong carrier dan bawaan kami, setelah menerima tiket. Perjalanan menuju peron stasiun terasa ringan dan berat. Ringan, karena kami akan segera mengakhiri perjalanan lapangan ini dan kembali bertemu teman-teman di Yogyakarta setelah hampir dua minggu tidak bertemu. Berat, karena disini kami juga telah menemukan banyak kawan baru, dari Lawalata IPB maupun Rimpala Fahutan IPB. Termasuk juga anak-anak yang kami ajar di Sebersy sewaktu melakukan kegiatan pengabdian. Mungkin aku dan kami bisa mendaki kembali ke Gunung Salak, bertamu dan menginap di Lawalata IPB, maupun mengajar anak-anak di Sebersy lagi. Tetapi, tentu dengan feeling atau suasana yang berbeda. Menurutku, pengalaman selama rangkaian gladimadya ini adalah hal yang tidak akan bisa aku ulang lagi. Tetapi aku akan kembali lagi ke Gunung Salak, entah kapan waktunya, untuk mengenang perjalanan ini atau istilahnya adalah “napak tilas”.

KA Bengawan tampak bersih dan kokoh di depan kami. Langit yang cerah pagi itu seperti melepas kepergian kami dari tempat ini. Satu per satu dari kami naik dan masuk ke dalam gerbong kereta ini dengan berhati-hati. Tempat duduk kami sama seperti waktu keberangkatan kemarin, pojok dekat dengan pintu keluar dan juga toilet. Memang tempat yang bagus untuk kami yang memiliki banyak barang bawaan dengan ukuran yang besar. Cukup ribet ketika kami menata carrier kami, harus muat, aman, dan tidak mengganggu penumpang lainnya. Setelah kami selesai, klakson kereta berbunyi dengan nyaring, keberangkatan menuju Yogyakarta sudah dimulai dan kami, sembilan orang, meninggalkan Tanah Pasundan dan kembali pulang. Pulang menuju Yogyakarta, kembali ke Universitas Gadjah Mada, kembali ke Sekretariat kami. Sekretariat Mapagama.

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.