Kami bangun pukul tujuh pagi, sesuai dengan SOP tidur di Mapagama yakni enam jam. Selepas sarapan bersama kami berbincang di teras bersama Pak Zul dan supirnya. Salah satu topik yang kami bincangkan adalah maraknya pencurian motor pada satu tahun yang lalu di daerah Perampuan, Kabupaten Lombok Barat yang merupakan lokasi kegiatan kami. Dari perbincangan inilah kami juga diperkenalkan dengan sebuah rokok yang mana perlu waktu lebih dari satu jam untuk menghabiskannya. Perbincangan kami berakhir setelah Mas Hafiz tiba pada pukul sepuluh pagi. Mas Hafiz adalah rekan Mas Pandu selama dulu ia berdinamika di Palapsi (Mapala Fakultas Psikologi UGM). Mas Hafiz akan menemani kami sekaligus menjadi tour guide lokal selama kami berada di Lombok. Setelah melakukan briefing kami berangkat menuju lokasi tujuan masing-masing menggunakan sepeda motor sewaan yang telah diantarkan oleh pihak persewaan. Sebelumnya kami berangkat menuju SPBU terdekat untuk mengisi bahan bakar, dari sanalah kami mulai berpencar. Aku bersama Gaby akan menuju sekretariat Wapala UNRAM (Warga Pencinta Alam Fakultas Hukum Universitas Mataram), di sana kami akan berjumpa dengan Bang Arif yang akan menemani mengantarkan surat izin kegiatan ke kepala desa dan kepala dusun Perampuan, Lombok Barat. Intan dan Jacinda akan pergi ke Polsek Labuapi untuk menyerahkan surat pemberitahuan. Andhika dan Isma akan pergi ke Badan Otorita Pura Gunung Pangsung sekaligus pergi ke Pelabuhan Lembar bermaksud membeli tiket kepulangan. Sedangkan Mas Pandu dan Mas Hafiz akan pergi ke Puskesmas Perampuan lalu survei di area Tebing Pengsong.

Aku dan Gaby tiba di Wapala UNRAM tatkala mendekati waktu Zuhur. Di sana ternyata sedang diadakan kegiatan pembukaan rapat umum Wapala UNRAM yang turut dihadiri oleh mapala-mapala lainnya di Universitas Mataram. Kami berkenalan dan berbincang sembari menunggu kehadiran Bang Arif. Perbincangan ini sekaligus kugunakan untuk mengulik informasi terkait Tebing Pengsong. Tebing Pengsong merupakan bagian dari Gunung Pengsong. Meskipun Gunung Pengsong sebenarnya adalah bukit, tapi warga sekitar sering menyebut dengan nama Gunung Pengsong. Di puncak Gunung Pengsong terdapat Pura Gunung Pengsong yang merupakan pura pertama dan tertua di Lombok. Namun tebing yang akan kami panjat memiliki sisi yang berlawanan dengan arah sisi pendakian menuju Pura Gunung Pengsong. Apabila sedang cerah, Gunung Rinjani tampak menjulang tinggi dari hadapan tebing ini. Selepas Bang Arif tiba, kami berangkat menuju basecamp Tebing Pengsong bersama anggota tambahan yakni Sam yang merupakan anggota Wapala UNRAM. Setibanya di basecamp Tebing Pengsong kami berkenalan dengan Mas Rama, selaku penjaga basecamp. Kami akhirnya ditemani oleh Sam dan Mas Rama dalam mengantarkan surat.

Kami tim MCE sepakat berkumpul kembali selepas urusan surat-menyurat selesai untuk makan siang bersama. Namun dikarenakan aku dan Gaby terlambat, teman-teman yang lain sudah berangkat menuju kantor drg. Arbain Ishak (Ketua Kagama Lombok Barat). Aku dan Gaby memutuskan untuk makan di lokasi teman-teman sebelumnya. Menu makan siang kami yakni sate rembiga. Sate rembiga merupakan sajian khas Lombok yang terbuat dari daging sapi yang memiliki cita rasa pedas yang khas. Sate ini biasanya disajikan bersama lontong atau ketupat. Selain menu sate sapi, terdapat juga sate ayam yang juga dibumbui bumbu rembiga. Selepas makan barulah aku dan Gaby menyusul ke kantor Dinas Pemuda dan Olahraga untuk menjumpai Pak Arbain.

Kami memilih untuk meluangkan waktu berkunjung ke Pantai Ampenan selepas kunjungan kami ke Pak Arbain. Disana kami memandangi pantai, bermain game, serta menikmati senja hingga pukul setengah tujuh. Saat kami tiba di kediaman Bu Eka ternyata kami sudah ditunggu oleh Bang Aziz, seorang senior Mapagama yang berjasa dalam divisi climbing. Kami diajak ke Taman Sangkareang untuk berbincang sekaligus melakukan briefing dengan teman-teman Sampala (Sispala SMAN 2 Mataram) yang akan kami beri materi terkait artificial climbing. Intan, dan Isma tidak ikut dikarenakan terdapat keperluan mengembalikan salah satu motor sewaan kami yang mengalami mogok siang tadi. Obrolan kami mengalir hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sudah saatnya kami mengakhiri obrolan dan kembali ke rumah Bu Eka. Kami melakukan evaluasi dan briefing sembari menikmati makan malam kemudian bersih diri dan istirahat.

Pukul 07.15 WITA kami dibangunkan oleh Intan selaku penanggung jawab bangun. Kudengar suara air hujan yang jatuh di atas genting semakin deras dibandingkan 30 menit yang lalu saat aku pertama kali terbangun. “Sial. Padahal hari ini adalah hari pemanjatan” gumamku. Selepas menghimpun sukma, kami beranjak ke ruang tengah untuk sarapan. Sarapan sudah tersedia di meja makan, namun kami masih menunggu Mas Hafiz. Mas Hafiz tiba tatkala Gaby dan Jacinda sedang membeli konsumsi untuk makan siang. Menu sarapan kami yakni nasi, telur dadar, tahu, sempol ikan, dan bumbu khasnya. Selepas bersiap, kami berdelapan berangkat menuju Tebing Pengsong pada pukul 09.20 WITA. Kami berangkat dengan plottingan kendaraan aku dan Gaby, Jacinda dan Intan, Andhika dan Isma serta Mas Pandu dan Mas Hafiz. Plottingan kendaraan ini kami gunakan selama berada di Lombok.

Kami tiba di basecamp Tebing Pengsong pada pukul 10.30 WITA. Kemudian selepas 15 menit tracking, kami tiba di ground pemanjatan blok atas Tebing Pengsong. Ground ini terbilang sempit, hanya memiliki lebar sekitar satu sampai dua meter saja. Tebing Pengsong sendiri memiliki 2 blok tebing yakni blok bawah dan blok atas. Blok bawah terdiri dari empat jalur pemanjatan. Jalur yang ada di blok bawah merupakan jalur lama. Sedangkan blok atas terdiri dari 7 jalur dan sebagian besar dibuat setelah kegiatan Gladian Nasional XIII Pencinta Alam se-Indonesia yang diadakan di Tebing Sekotong pada tahun 2009. Dari sebelah kiri ke sebelah kanan terdapat jalur dengan grade-nya berdasarkan Yosemite Decimal System yakni:

Celeng Rock: 5.9

Blood Stone: 5.8b

Undercut: 5.9b

Perampuan: 5.8

Horny 21 (multipitch): 5.8b

Hanging Start: 5.12a

Nganan: 5.11

Tebing ini memiliki keunikan tersendiri. Jikalau Lombok memiliki julukan Pulau Seribu Masjid, maka tebing ini layak dijuluki Tebing Seribu Diplopoda (kaki seribu). Di mana banyak sekali dijumpai kaki seribu disana, terdapat dua jenis kaki seribu di Gunung Pengsong ini. Kaki seribu Asia (Orthomorpha coarctata) yang banyak dijumpai di sekitar tebing dan banyak menempel di tebing. Serta Spirostreptus (kaki seribu yang berukuran besar) yang memiliki warna abu-abu yang mudah ditemukan di semua area Gunung Pengsong. Selain kaki seribu banyak dijumpai juga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang bergelantungan di pohon mengintai dan menunggu kami lengah untuk mengambil beberapa bungkus nasi yang kami bawa.

Di ground Tebing Pengsong kami berbagi tugas di antaranya menyiapkan dan melakukan checklist logistik, memasang flysheet, membuat instalasi single rope untuk vertikal dokumentasi, dan menyiapkan peralatan pemanjatan. Kami berencana memanjat semua jalur diawali dari jalur sebelah kiri. Kami yakin dapat menyelesaikan semua jalur blok atas dalam dua hari yang telah dianggarkan dengan asumsi kondisi cuaca yang cerah. Setelah melakukan orientasi medan pada jalur, kami memutuskan jalur pertama, ketiga, kelima, dan ketujuh akan kupanjat. Sedangkan jalur kedua, keempat, dan keenam akan dipanjat oleh Andhika. Selepas Gaby memulai ascending untuk mendokumentasi kegiatan pemanjatan, aku turut bersiap untuk mulai memanjat. Aku dan Andhika melakukan buddy check kemudian membuat instalasi pengaman untuk belayer nantinya. Pemanjatan jalur Celeng Rock dimulai. Jalur ini terdiri dari 5 runner hingga top dengan kemiringan hampir 90 derajat. Bentuk tebingnya menyerupai terasering terbalik dengan pegangan yang minim. Crux jalur ini terletak di antara runner ketiga menuju runner keempat karena pegangan yang semakin minim. Aku sempat terjatuh hingga runner kedua saat hendak meraih runner keempat. Sensasi lain yang kurasakan tatkala memanjat jalur ini adalah banyaknya mata yang melihat kegiatan pemanjatan. Hal ini karena penjelasan materi yang diberikan oleh Mas Pandu telah usai sehingga perhatian dari teman-teman Sampala beralih ke pemanjatan. Selepas top dan melakukan berbagai dokumentasi, aku turun untuk berganti menjadi belayer.

Andhika melakukan pemanjatan di jalur Blood Stone. Pada jalur ini terdapat sebuah crack besar yang mengarah ke sebelah kiri. Crux pada jalur ini menurut Andhika yakni dari runner kedua menuju runner ketiga saat melewati crack dikarenakan kurangnya penguasaan teknik lay back sehingga perlu waktu yang cukup lama bagi Andhika untuk melewati crux ini. Selain itu saat Andika sampai di area crack, terdengarlah suara tokek dari sekitar crack tersebut yang membuat kami terperangah diam dan berhenti memanjat untuk sekejap. Sebelum memanjat memang ada tokek besar di dalam crack tapi sudah berpindah ketika kami menyinari area crack menggunakan laser. Namun sepertinya tidak hanya ada satu tokek yang tinggal di dalam area crack wkwkwk. Selepas top dan mengambil berbagai dokumentasi, Andhika dan Gaby turun.

Kami semua melakukan ishoma selama satu jam sedari pukul setengah dua siang. Menu makan siang kami yakni nasi balap lombok yang berisikan ayam suwir, telur goreng, ayam goreng, kering tempe, sayur buncis, bihun, dan sambal. Sempat kami kecolongan oleh monyet, dia berhasil membawa satu buah nasi bungkus utuh dan nasi bungkus sisa yang tak habis kami makan saat kami tengah duduk santai membahas jalur pemanjatan. Untungnya hanya satu buah nasi bungkus utuh yang sirna sehingga masih aman-aman saja karena Gaby dan Jacinda memang makan satu bungkus untuk berdua. Selepas makan siang, kami memulai kembali persiapan untuk melanjutkan pemanjatan. Namun sayang, dikarenakan cuaca yang tak mendukung, pemanjatan terpaksa kami akhiri pada pukul tiga sore. Tak apalah pikirku, masih ada hari esok untuk memanjat jalur lainnya. Kami beranjak turun selepas melakukan cleaning alat dan packing logistik pribadi dan tim ke dalam carrier masing-masing.

Gerimis menemani kami selama perjalanan menuju basecamp Tebing Pengsong. Tak lama setelah kami sampai di basecamp, hujan turun dengan derasnya. Kami meneduh di gazebo depan basecamp bersama tiga orang teman dari Mapala Grahapala Rinjani yang tadi juga melakukan kegiatan pemanjatan di tebing. Di sela hujan kami menghabiskan waktu dengan mengobrol sembari menikmati teh hangat dan kerupuk yang disajikan oleh Mas Rama selaku penjaga basecamp. Hujan turun cukup lama, cukup untuk membuat beberapa dari kami tertidur nyenyak karena hawa dingin di sekitar. Setelah cukup reda kami semua pulang menuju tujuan masing-masing. Sesampainya di rumah Bu Eka kami kemudian ishoma dan bersih diri hingga pukul 20.00 WITA. Malam ini kami sepakat untuk melakukan evaluasi dan briefing di luar sembari mengeksplorasi Kota Mataram. Kedai Giyong adalah tempat yang dipilih oleh Mas Hafiz selaku pemandu kami. Kedai ini bertema outdoor, di mana terdapat pula sebuah toko outdoor dalam satu lingkup. Dan terlihat pula bahwa sebagian besar pengunjung yang datang adalah anggota organisasi kepencintaalaman. Usai evaluasi dan briefing kami pulang kembali ke rumah Bu Eka untuk beristirahat.

 

bersambung ke Part 3 Surga Tersembunyi di Pulau Seribu Masjid

Muhamad Daffa Aditya Eka Pratama, Tim Gladimadya Panjat Tebing: Mapagama Climbing Expedition “Tulaq Jok Lombo'”, 2023.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.