(Episode ketiga dari Cerita Gama Agastya Agung)

Terdengar suara gaduh di luar tenda. Karena malas dan masih mengantuk, aku hanya mendengarkan saja dari dalam. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 04.00 WITA. Tanpa berpikir panjang aku melanjutkan tidur. Lumayan pikirku masih ada 1 jam lali dari waktu bangun yang telah kami sepakati. Pukul 05.00 WITA alarm berbunyi. Agenda selanjutnya masak, makan, packing, pemanasan, dan briefing. Dengan ditemani kabut yang lumayan tebal kami tetap melanjutkan aktivitas, sementara keadaan di basecamp sedang diterpa hujan deras. Kami mempercepat packing, di tengah-tengah itu terdapat rombongan yang datang dari arah Puncak Tertinggi Bali. Rombongan itu berjumlah sekitar 10 orang dengan ditemani guide. Maklum, untuk mendaki Gunung Agung via Pura Pasar Agung sangat disarankan ditemani oleh guide atau setidaknya seseorang yang sudah pernah mendaki di via jalur tersebut. 

Sang guide membuka obrolan dan menyarankan kepada kami untuk menyegerakan pergerakan sebelum cuaca bertambah buruk. Lalu setelahya rombongan tersebut turun. Selesai briefing, kami tancap gas untuk mencapai puncak tertinggi Bali. Puncak Sejati. Medan yang kami lalui bertambah terjal dari hari sebelumnya. Pasir dan bebatuan bercampur menjadi satu menjadikan kami mudah tergelincir. Oleh sebab itu, kami harus ekstra hati-hati apalagi dengan kondisi berkabut. Hingga sampailah kami di percabangan, yang mana ke kanan menuju Puncak Selat sementara ke kiri menuju Puncak Sejati. Di percabangan tersebut kami istirahat sebentar sambil mengabadikan pemandangan sekitar. Bayu sebagai PJ komunikasi di lapangan tidak lupa mencari sinyal untuk menghubungi Mba Intan. Kabut mulai memudar, terik matahari mulai menyengat. Pergerakan berlanjut dengan mengikuti tanda yaitu pylox berwarna putih.

Pylox yang dijadikan patokan itu agak samar. Wajar saja apabila disarankan untuk didampingi oleh guide. Kami yang baru pertama kali mendaki di Gunung Agung bisa mengatakan bahwa pendakian ini tidak mudah, apalagi dengan membawa carrier full pack. Maka dari itu, bukan hanya manajemen yang bagus serta fisik yang matang yang harus dipersiapkan, melainkan mental juga. Yang benar saja, pergerakan semakin melambat. Tenaga mulai terkuras. Apalagi kondisi Mba Shela yang memburuk menjadikannya sering meminta rest. Meskipun demikian, satu sama lain tetap saling menguatkan. Bisa, pasti bisa. 

Dikarenakan medan yang memang terjal, menjadikan kami beberapa kali harus memakai bantuan webbing. Dengan kerja sama dan saling bantu kami tidak putus asa untuk terus melangkah. Agak pelan namun pasti. Di tengah perjalanan, kami bertemu anjing yang awalnya berada di basecamp. Anjing tersebut seperti mengarahkan kami menuju jalur yang benar. Ketika fokus memperhatikan langkah, ada suatu kejadian yang mengejutkan. Ziyad tergelincir. Untung saja dia tidak terjatuh ke jurang. Sikunya tergores dan mengeluarkan darah. Meskipun tidak enak hati melihatnya aku tetap menawarkan diri untuk mengobati. Namun Ziyad menolak dan mengatakan akan mengobati sendiri. 

Sudah hampir 7 jam kami melakukan pergerakan. Ditemani terik mentari serta langkah yang dipaksakan kami tetap bergerak. Rapalan doa tidak henti kuucapkan supaya tim diberi kemudahan. Aku sering menanyakan kapan kami tiba di puncak, namun jawaban “sebentar lagi” yang kudapatkan. Rasanya aku sudah tidak sanggup melangkah lagi, tapi apa daya, balik juga bukan pilihan yang bisa kuambil saat itu. Dengan tekad yang sedari awal kutanamkan dalam hati, kumantapkan kembali untuk melangkah. Melihat yang lain juga sudah terkuras tenaganya, yang bisa kulakukan saat itu hanya memberi semangat. Bisa, pasti bisa. Semangat, all!

bersambung ke Episode Terakhir Cerita Gama Agastya Agung.

Tsaqifa Meftananda A., Tim Gladimadya Gunung Hutan: Gama Agastya Agung, 2022


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.