Mulut gua jaran terlihat memanjang di depan Saya, mungkin sekitar 5 sampai 10 meter mulut gua ini memanjang mengikuti aliran semacam sungai kering yang sudah tidak berair itu. Wah tingginya sekitar 10 meter nih, ungkap salah satu rekan rigging saya, enggar.

foto oleh Tulus Wichaksono

Langsung saja saya memulai menyiapkan rigging set ketika enggar kembali setelah melakukan survey anchor di ujung lorong sana. “piye nek dhewe nggago lorong negingsor wae?” usul dari pemuda asal bantul dengan logat jawanya. “yo wes, aku manut kowe wae mas” sahutku ketika sesaat sebelum memulai rigging.

Terus terang saya belum begtu percaya diri ketika memulai rigging dari lorong bawah ini, dari foto dan artikel internet yang saya baca, kebanyakan “caver” lain menggunakan mulut gua bagian atas untuk rigging, berbeda dengan tempat saya memasang anchor sekarang dimana saya harus memasuki sebuah celah yang hanya selebar satu langkah orang dewasa. Tentu saja ini sediit menyulitkan saya dan mas tulus yang sama-sama berbadan tambun.

Akan tetapi ketika melihat banyaknya lubang tembus dan beberapa batu tanduk di dalam, ketidak percaya dirian saya sedikit mengendur, “wah nek iki sih kepenak” kataku dalam hati. tidak lama saya berada di tempat ini, mungkin sekitar sepuluh menit, tentu dengan kewajiban membuat lintasan yang sudah selesai sampai pitch pertama tentunya.

Di tempat ini hanya ada cahaya dari atas sana, terlihat samar ketika kepala saya tertabrak oleh kelelawar penghuni luweng ini, mungkin itu cara mereka menyambut saya. Sedikit binggung ketika harus mencari jalan kearah mana saya harus melanjutkan membuat lintasan. Saya teringat obrolan dengan pak kadus kemarin ketika rombongan kami berkunjung ke rumahnya. “nek mpun dughi sumuran pertama, mangke ngiri mawon mas” . kalau sudah sampai dasar sumur pertama nanti kekiri saja mas, kurang lebih begitu kalau di bahasa indonesiakan.

Pilihanya saat itu hanya ada dua, kekiri atau kekanan saya, saya coba lepaskan tacke bag yang berat ini, dengan carrabiner snap saya masukan ke tali lintasan, dan segera saya melanjutkan perjalanan ke kanan, mecoba mengikuti intitusi saya yang ternyata salah hari itu. Benar saja, tidak ada apa-apa selain lorong kecil yang tentu saja badan saya pun tidak akan muat melewatinya. Alhasil beralihlah saya dengan mengambil arah berlawanan, ada dua lorong di depan saya, yang satu buntu yang satu kemungkinan ini lorong menuju pitch kedua di gua terpanjang di Indonesia ini.

Kembali saya mengulur tali karmantel dari tackle bag kuning ini, lepas dari lorong yang memuat saya harus merunduk, saya melihat sebuah chamber besar ukuranya saya perkirakan 15 meter lebarnya, dan panjangnya mungkin panjang sekali, hal ini Karena sinar dari headlamp saya tidak bisa melihat ujung dari lorong gua ini. “ asemik, guedhe buanget loronge, njuk headlampku rak tekan neh” itu yang saya ucapkan sesaat seltelah saya menyadiri ini lah ujung pitch pertama gua ini.

Berbeda dengan ketika saya membuatkan lintasan di lorong awal tadi, di pitch ini saya banyak menemukan lubang tembus, akan tetapi saya tidak menemukan lubang tembus yang letaknya tepat di ujung pitch seperti yang saya mau, setelah sedikit memutar otak, saya putuskan untuk menggunakan lubang tembus yang jaraknya paling dekat dengan ujung picth, konsekwensinya saya mengulur webbing panjang sampai menggantung dan menghindarii friksi dengan ujung pitch.

Saat sedang menggantung, saya teringat dengan tali karmantel yang saya bawa. “iki cukup po ora yo?”, saya membawa tali sepanjang 110 m, perkiraan saya sampai ujung pitch ini butuh paling tidak 30 meter. Saya mencoba berhitung dan memantapkan hati saya bahwa tali ini masih cukup sampai di bawah nanti. Suara yang timbul dar capstain simple saya memuat saya sedikit tegang, krek, krek, kreeekk, semakin panjang saya mengulur tali dari tacke bag, semakin panjang pula bunyi yang keluar. Saya  benci dengan situasi seperti ini, situasi dimana tingkat sentifitas saya terhadap bunyi-bunyian aneh sangat peka.

Kaki saya menapak di sebuah batu besar di dasar gua ini, terlihat dari tempat saya di ujung anchor sana sudah bersiap fadhlih, rekan satu tim rigging bersama saya, dan sontak saya berterikan “rope free” ketika tubuh saya sudah tak terkait dengan tali lintasan. Setidaknya sampai saat itu tugas saya menyediakan lintasan bagi rekan saya yang lain telah usai. Dan saat itu Saya teringat dengan perkataan salah seorang senior saya saat pertama kali harus rigging, “rigging itu seni, tiap orang punya caranya sendiri” (Fahmy)


1 Comment

fadhlih akbar · April 12, 2011 at 12:06 am

Mantaaap .. 4 jempol buat mas fahmi .. hehehehhee

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.